Salah satu mufassir yang membahas mutasyabih yaitu Mahmud bin Hamzah Al-Kirmani atau biasa disebut al-Kirmani. Beliau membahas tentang ayat-ayat Mutasyabih dalam kitabnya yaitu Al-Burhan fi Taujih Mutasyabih Al-Qur’an atau biasa dinamakan Asrar al-Tikrar fi Al-Qur’an.
Biografi Singkat Al-Kirmani
Al-Kirmani dalam pembahasan ini bukanlah al-Kirmani dalam Syarah Shahih al-Bukhari, melainkan Taj al-Qurra’ Mahmud Ibn Hamzah Ibn Nasr al-Kirmani. Hal ini tertuang dalam kitab Mu’jam al-Udaba’ karya Yaqut.
Dalam kitab tersebut disebutkan bahwasannya al-Kirmani adalah seorang ulama yang faqih juga cerdas, memiliki banyak karya, dan termasuk ulama yang sangat teliti dan pandai dalam beristinbat.
Selain itu, al-Kirmani juga dikenal sebagai ulama yang ahli nahwu, mufassir, dan sufi yang bermazhab Syafi’i. Gelar al-Kirmani diambil dari nama tempat tinggalnya yaitu Karman atau Kirman, Iran. Beliau juga dikenal sebagai seseorang yang menganut aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Mahmud al-Kirmani lahir dan hidup pada masa kebangkitan pemikiran Islam, yakni tahun 1065-1067 M (464-467 H). Az-Zarkali dalam kitabnya Al-A’lam menyebutkan bahwa al-Kirmani wafat sekitar tahun 1110 M/505 H.
Adapun karya-karya al-Kirmani yang termasuk dalam bidang tafsir:
- Al-Burhan fi Taujih Mutashabih Al-Qur’an Lima fih Min al-Hujjah wa al-Bayan atau dikenal dengan Asrar al-Tikrar fi Al-Qur’an.
- Gharāib al-Tafsir wa ‘Ajaib al-Ta’wil.
- Lubāb al-Tafasir, atau yang dikenal dengan judul Lubab al-Tafsir.
Mengenal Kitab Tafsir Al-Burhan fi Taujih Mutasyabih Al-Qur’an
Mahmud bin Hamzah bin Nasr al-Kirmani muncul pada akhir abad ke-4 H dengan karyanya, al-Burhan fi Taujih Mutasyabih Al-Qur’an. Kitab ini merupakan penjelasan sekaligus kritikan terhadap karya al-Khatib al-Iskafi.
Al-Kirmani menulis dan mengarang kitab al-Burhan dilatarbelakangi oleh banyak ulama yang membatasi keterangan ayat-ayat mutasyabih saja tanpa menyebutkan dasar permasalahan, perbedaan, dan persamaan antara kedua ayat. Juga beberapa hal yang dianggap musykil dan tidak dapat dijelaskan kecuali dengan taufîq Allah SWT.
Selain alasan tersebut, al-Kirmani juga memiliki alasan lain. Yaitu keyakinan teologis bahwa Al-Qur’an mempunyai mukjizat dan keutamaan, serta memberikan kebaikan terhadap orang yang mempelajarinya.
Namun, kitab ini tidak lagi populer di kalangan para ulama kontemporer, karena mereka mengartikan makna mutasyabihat sebagai suatu ayat yang samar atau ragu.
Metode dan Sumber Penulisan Kitab
Al-Kirmani menyusun kitabnya dengan tartib mushafi. Kemudian memfokuskan dan hanya mencantumkan serta membahas ayat-ayat yang masuk dalam kategori redaksi mirip.
Metode yang digunakan oleh Khatib al-Iskafi dalam menjelaskan setiap ayat-ayat mutasyabih al-lafẓ, yakni dengan mencantumkan satu ayat yang terdapat dalam satu surah yang kemudian diikuti dengan menyebutkan ayat lain yang berada dalam satu surah yang sama ataupun surah yang berbeda, yang berarti menggunakan metode muqaran.
Dalam penulisannya, al-Kirmani mendahului pembahasannya dengan menyebutkan penggalan ayat yang merupakan pokok masalah, setelah penggalan ayat dicantumkan, kemudian al-Kirmani menjawabnya dengan jawaban yang relatif lebih singkat dan langsung masuk pada pembahasan mengapa dan apa saja yang menjadikan ayat-ayat tersebut termasuk dalam kategori ayat-ayat yang beredaksi mirip.
Adapun sumber yang digunakan oleh al-Kirmani sebagai penunjang dalam penulisan kitab Al-Burhan fi Taujih Mutasyabih Al-Qur’an:
- ‘Ulum Al-Qur’an
- Kitab Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Ta’wil
- Ilmu qira’at
- Ilmu bahasa dan nahwu
- Kitab Lubab al-Tafsir.
Contoh Penafsiran Al-Kirmani
Contoh dari ayat berulang yang dibahas oleh al-Kirmani dalam surah al-Fatihah [2]: 1 dan 3, Al-Kirmani memulai pembahasannya dengan membahas pengulangan yang terdapat dalam Q.S. al-Fatihah ayat 1{ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم} dan 3 { الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ}. Dalam pembahasannya, al-Kirmani mencantumkan dua ulama yang berpendapat terkait terulangnya lafaz di atas.
Pendapat pertama diambil dari Ali ibn Isa yang mengatakan bahwa tujuan dari pengulangan lafaz di atas adalah sebagai ta’kid atau penguat.
Sedangkan pendapat kedua diambil dari Qasim ibn Ḥabib yang menjelaskan bahwa tujuan dari pengulangan tersebut adalah karena untuk memberikan makna bahwa pujian itu wajib bagi Allah karena Allah betul-betul Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Al-Kirmani berpendapat bahwa pengulangan tersebut terjadi karena adanya rahmah. Maksud dari rahmah ini adalah pemberian nikmat kepada yang membutuhkan.
Yang disebutkan pada ayat pertama hanya pemberi nikmatnya saja {المنعم} yakni Allah swt. dan tanpa menyebutkan yang diberi nikmat {المنعم}.
Maka adanya pengulangan {الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ} pada ayat ke-3 yakni untuk menyebutkan yang diberi nikmat dengan menyebutkannya pada ayat sebelumnya {رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ الرَّحْمٰنِ}.
Maksudnya di sini adalah Allah yang Maha Pengasih {الرَّحْمٰنِ} ditujukan umum bagi umat di seluruh alam dengan memberikan kenikmatan dan rizqi kepada mereka.
Sedangkan {الرَّحِيْمِ} khusus ditujukan untuk orang-orang mukmin di akhirat pada hari pembalasan akan diberikan kenikmatan yang berupa ampunan dosa bagi mereka.
Kesimpulan
Al-Kirmani mengarang dan menuliskan banyak kitab, salah satunya adalah al-Burhan fi Taujih Mutasyabih Al-Qur’an atau dikenal dengan Asrar al-Tikrar fi Al-Qur’an yang berisi mengenai ayat mutasyabihat.
Namun, kitab ini tidak lagi populer di kalangan para ulama kontemporer. Mereka menganggap dan salah mengartikan makna mutashabihat yang digalang al-Kirmani. Mereka mengartikan suatu ayat yang samar atau ragu. Padahal, yang dimaksudkan al-Kirmani yaitu ayat yang memiliki pengulangan atau keserupaan.
Editor: Soleh