Maroko merupakan negara Arab yang memiliki garis pantai yang panjang di samudra Atlantik dan laut Mediterania. Negara yang beribu kota di Rabat ini memiliki wilayah gurun yang luas dan pegunungan yang relatif terjal, bahkan pemerintahan Maroko mengklaim bahwa gurun Sahara Barat merupakan bagian dari provinsi di Selatan Maroko.
Terdapat beberapa kota-kota besar dan terkenal di negara ini seperti Casablanca, Marrakesh, Tangier, Tetouan, Salé, Fes, Agadir, Meknes, Oujda, Kenitra, dan Nador. Bahasa resmi yang digunakan di negara ini adalah bahasa Arab dan bahasa Berber. Bentuk pemerintahan negara tersebut adalah kerajaan, dengan sistem yang diterapkan yaitu monarki-semi konstitusional (Abun-Nasr: 1987). Sampai saat ini, Maroko dipimpin oleh raja Muhammad VI.
Pemerintah kerajaan Maroko atau dikenal dengan Mamlakah Magribiyah memiliki kekuasaan mutlak baik eksekutif maupun legislatif, bahkan memiliki kuasa penuh dalam ranah kemiliteran. Oleh karena kondisi kerajaan yang monarki-otoriter setiap perintah dari pihak kerajaan harus dipatuhi oleh rakyatnya. Pihak keluarga kerajaan sendiri merupakan keturunan nabi Muhammad SAW, sudah barang tentu menganut keyakinan Islam.
Mayoritas masyarat Maroko juga beragama Islam. Secara kebudayaan masyarakat negara ini terdiri dari budaya Arab, Eropa, dan Berber. Dalam tatanan kehidupan sosial bernegara dan berkeyakinan, keterpengaruhan antara keduanya sudah merupakan hal yang tiudak dapat dipisahkan.
Tradisi Amdah, Meperingati Kelahiran Nabi
Di Maroko sendiri ada sebuah praktek yang menyangkut antara tradisi kebudayaan dan tradisi keagamaan yang diakulturasikan, yakni tradisi Amdah. Tradisi Amdah adalah sebuah perayaan yang dilakukan untuk memperingati hari kelahiran nabi Muhammad SAW yang sudah dilaksanakan setiap tahun turun temurun dari raja-raja sebelumnya (Waugh: 2005).
Hal unik yang menjadi sorotan dalam tradisi Amdah di Maroko adalah bagaimana masyarakat serta pihak kerajaan merayakan peringatan hari kelahiran nabi Muhammad SAW/Amdah. Bagi mereka momen perayaan maulid nabi Muhammad SAW merupakan sebuah euforia tahunan yang sangat ditunggu-tunggu, bahkan mereka menganggapnya sebagai hari raya ketiga setelah idul fitri dan idul adha, mereka menyebutnya dengan ‘idul maulid atau ‘idul maulidin nabi.
Beberapa hari menjelang hari peringatan tersebut, masyarakat di sana melakukan berbagai persiapan. Biasanya pasar-pasar sudah dipenuhi orang-orang yang hendak melengkapi persiapan untuk tradisi Amdah tersebut. Umumnya masjid-masjid di Maroko menggelar acara dzikir bersama, membaca shalawat, dan pujian-pujian kepada nabi Muhammad SAW pada malam peringatan Amdah (Burdah, wawancara: 2021).
Pada praktiknya, prosesi tradisi Amdah dilaksanakan oleh sekelompok orang yang dipimpin oleh seorang imam untuk memandu jalannya acara tersebut. Para jamaah akan diberikan berupa selebaran/buku panduan yang akan dibaca selama acara Amdah berlangsung.
Bacaan-bacaan yang dilantunkan berupa lirik-lirik syair yang berisi sanjugan dan pujian-pujian kepada baginda nabi Muhammad SAW. Jika dibandingkan dengan Indonesia, tradisi Amdah hampir mirip dengan tradisi burdahan.
Setelah acara lantunan syair-syair dan pujian-pujian selesai dikumandangkan, acara berikutnya adalah doa bersama. Doa bersama tersebut dipimpin oleh salah seorang dari pihak kerajaan.
Dalam pelaksanaannya, para jamaah memakai jubah dan penutup kepala. Mereka munutup kepala dengan “Tarbus”. Tarbus adalah songkok penutup kepala berbentuk silindier yang identik dengan warna merah, terkadang rumbai melekat di tarbustersebut.
***
Shoim menjelaskan tarbus merupakan penutup kepala khas Maroko, seperti halnya di Indonesia yang menggunakan peci hitam sebagai penutup kepala. Tarbus berasal dari kata “طربوش” yang diadopsi dari bahasa Persia “سربوش” yang berarti penutup kepala (Hans Wehr, 649). Tarbus sendiri berasal dari suku Moor(Amazigh) dan dianggap sebagai warisan leluhur kuno.
Tradisi Amdah dilaksanakan di dalam sebuah ruangan yang luas. Saat pelaksanaannya berlangsung ruangan tersebut diasapi dengan wangi-wangian. Wangi-wangian tersebut berasal dari rempah yang dibakar yang kemudian disebar ke seluruh sudut ruangan.
Hampir serupa dengan tradisi yang kita temui di Indonesia, yang membedakan hanyalah medianya, dimana di Indonesia saat shalawatan memperingati maulid nabi, yang disebar adalah wangi-wangian yang dioleskan langsung dari parfum yang khas.
Ajang Berbaur Bagi Raja
Tradisi Amdah bukan hanya sekedar ajang memperingati kelahiran nabi. Bagi pihak kerajaan, Amdah menjadi ajang untuk berbaur dengan berbagai lapisan elemen masyarakat. Tradisi Amdah mendapat dukungan penuh dari pihak kerajaan, tidak hanya sampai disitu, raja setiap tahunnya ikut serta dalam pelaksanaannya.
Raja Muhammad VI tidak melaksanakan Amdah tidak hanya di lingkungan kerajaan saja, melainkan setiap tahunnya raja Muhammad VI melaksanakan Amdah berpindah dari satu kota ke kota yang lainnya. Tentunya, bagi raja dan masyarakat hal semacam ini menjadi ajang untuk mempererat hubungan emosional, juga agar raja bisa melihat lebih intens realita sosial yang berlaku di negaranya.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa peringatan maulid nabi/tradisi Amdah tentunya menuai penolakan dari kelompok-kelompok tertentu. Meskipun menuai penolakan, tradisi tersebut tetap terlaksana tanpa hambatan.
Adanya campur tangan dari pihak kerajaan menjadikan penolakan-penolakan terebut tidak berarti apa-apa. Terlebih lagi negara tersebut menganut sistem pemerintahan monarki-semi konstitusional. Sudah barang tentu dengan sistem pemerintahan yang seperti itu menjadikan raja memiliki hak dan kuasa penuh di seluruh aspek yang ada di negara tersebut. Baik itu dari aspek kebijakan sosial, ekonomi, militer, bahkan kebijakan agama sekalipun.
Editor: Dhima Wahyu Sejati