Oleh: Fajar Riza Ul Haq
-IBTimes.ID- Pada pagi hari di tanggal 25 Desember 2018, saya mengirimkan pesan ucapan selamat Natal dan tahun baru ke Pak Merle C. Ricklefs sambil mendoakan agar beliau diberi kesembuhan. Tidak lama, Pak Merle mengirim balasan, “Banyak terimakasih, Mas Fajar! Dan selamat tahun baru 2019 untuk Anda bersama keluarga”. Tiap Natal dan akhir tahun saya selalu menyapa beliau. Begitu juga Natal kemarin. Rabu lalu, saya menyampaikan hal serupa. Namun, kali ini pesan itu tidak berbalas. Hingga akhirnya, siang ini saya mendapat kabar duka, Sejarawan terkemuka itu telah pergi. Sebuah kehilangan besar untuk dunia akademis, kontribusinya sangat besar untuk studi sejarah Islam di Indonesia.
Sekitar September 2005, saya dipanggil untuk menjalani wawancara di Kampus Paramadina. Saat itu, saya masih bergiat di Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta. Atas nasehat dan rekomendasi Mbak Yayah Khisbiyah yang menjadi bos dan mentor saya kala itu, saya melamar Program Pertukaran Pemimpin Muda Muslim Indonesia dan Australia (Muslim Excange Program). Panitia seleksi telah memanggil saya karena lolos seleksi tahap pertama. Tahap berikutnya adalah wawancara. Saya tiba di Kampus Paramadina pada pagi hari. Itulah kesempatan pertama saya berjumpa dengan Prof. M.C. Ricklefs dan Prof. Virginia Hooker. Nama kedua sarjana ini sangat dikenal di kalangan sarjana dan aktivis di Indonesia. Sungguh beruntung saya bisa bertemu muka dengan beliau-beliau.
Pada kesempatan itulah saya mendapat “kemewahan”. Berkesempatan memperlihatkan dan memberikan buku “Muhammadiyah dan Purifikasi di Pantai Utara Jawa” (2003) yang diterbitkan PSB-PS Universitas Muhammadiyah Surakarta kepada semua pewawancara. Buku itu merupakan hasil penelitian yang dikerjakan bersama oleh Asykuri Ibn Chamim, Syamsul Hidayat, Sayuti, dan saya. Tak sangka, mereka sangat tertarik mendalami isinya, tidak terkecuali Pak Merle. Ada perasaan nervous dan bangga saat menjelaskan kepada beliau-beliau, terlebih Pak Merle yang sangat menguasai seluk-beluk sejarah purifikasi Islam di tanah Jawa.
***
Sejak itulah, saya berkomunikasi dengan Pak Merle. Tentu, via email. Saat itu belum dikenal WA. Saat beliau sedang merampungkan penelitian utk buku “Islamisation and Its Opponents in Java”, Pak Merle mengundang saya ke Yogya. Ada beberapa intelektual juga yang diundang, diantaranya Mas Paryanto. Kami berdiskusi dengan beliau di kamarnya di satu hotel dekat Malioboro. Ia mencatat dengan telaten apa-apa yang kami diskusikan, pertanyaan-pertanyaannya yang tajam kian memperdalam tema diskusi. Saya pun banyak belajar dari cara beliau menggali permasalahan penelitian.
Pak Merle pun bermurah hati memberikan supervisi terhadap tesis saya di CRCS UGM mengenai Jamaah Gumuk. Ada banyak masukan penting dari beliau. Pesannya kala itu, agar tesis tersebut diterbitkan mengingat memuat banyak informasi penting mengenai gerakan Islam di Solo di era Orde Baru. Ia pun mendorong saya agar melanjutkan kajian untuk level doktoral. “Saya akan bantu Anda nanti”, ucapan yang berharga buat saya. Sayangnya, pesan beliau ini belum sempat saya tunaikan….
Pada satu waktu, pada tahun 2012, saya hendak menuju Yogyakarta. Mampir ke toko buku di bandara, sambil menunggu jam penerbangan. Wajah saya sumringah saat mendapati cover buku berwarna hijau tua dengan nama penulisnya sangat jelas : M.C. Ricklefs! Itulah buku “Islamisation and Its Opponents in Java. Tanpa pikir panjang, saya langsung membelinya. Dalam penerbangan menuju Yogyakarta, saya mulai membaca buku tersebut. Sebagai seorang yang masih harus banyak belajar dan membaca, sungguh saya tersanjung dan sangat terharu.
***
Ilmuwan kelas dewa seperti Pak Merle ini tak sungkan untuk mengutip tesis saya dan memberikan kredit luar biasanya di akhir bukunya dengan menuliskan nama saya sebagai orang yang pernah membantu penelitian lapangannya. Padahal, tidak ada kontribusi penting saya kepada karya beliau tersebut. Pak Merle juga banyak menyebut nama-nama yg dianggapnya berjasa dan membantu proses penelitiannya. Mencerminkan jiwa besar seorang akademisi sejati.
Sesampainya di Yogya, buku itu saya hadiahkan ke Buya Syafii Maarif. Dengan agak bergaya, saya bilang beliau, “Buya, ini buku Pak Ricklefs terbaru, ada nama juga lho disini”. Buya pun tersenyum-senyum.
Di tengah kesibukannya mengajar di National University of Singapura, saya masih suka “mengganggunya”. Seorang senior saya, Mas Sukidi yang saat itu masih sebagai mahasiswa doktoral di Universitas Harvard, pernah bilang, bahwa M.C. Ricklefs merupakan nama besar di dunia akademik. Senior saya ini pelit pujian, jadi kalau sekali dia memuji berarti memang sarjana tersebut benar-benar kelas dewa levelnya. Pak Merle ini pribadi sangat rendah hati dan sangat membantu. Beliau pernah bersedia menulis untuk Jurnal MAARIF, jurnal yang belum berstandar. Heran juga, mengingat ada beberapa sarjana (di Jakarta dan sekitarnya) kalau disuruh menulis selalu bertanya duluan, ada honornya ndk? Sudah terakreditasi belum?
Saya tidak pernah menjadi mahasiswa formal Pak Merle. Namun, saya sangat beruntung pernah mendapat bimbingan jarak jauhnya saat menulis tesis. Beliau pernah bilang dalam emailnya, “Anda boleh menganggap saya sebagai external supervisor”. Kehormatan besar pula saya dianggap punya kontribusi (kecil) dalam karyanya. Masuk dalam buku pentingnya yang dirujuk banyak peneliti.
Selamat jalan, Pak Merle. Karyamu abadi. Murid-muridmu akan selalu mencontoh daya tahan intelektualitasmu yang luar biasa….
Semoga Bapak damai di sisi-Nya.