Bagi yang pernah membaca novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata atau menonton versi layar lebarnya, barangkali masih ingat dengan Ibu Muslimah dan Pak Harfan. Mereka merupakan guru di SD Muhammadiyah di Desa Gantong, Belitung. Latar kisah ini adalah bagian kecil pengalaman hidup sang novelis bersama dengan guru Muhammadiyah. Muslimah Hafsari adalah figur nyata dari karakter fiksi Ibu Muslimah yang digambarkan tekun, ulet, gigih, dan ugahari.
Tahun 2008, atas dedikasinya bagi perkembangan pendidikan, Ibu Muslimah diganjar penghargaan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhono. Potret perjuangan Ibu Muslimah sebagai guru sekolah Muhammadiyah merupakan pengalaman sehari-hari guru-guru Muhammadiyah di seantero Indonesia. Muhammadiyah punya ribuan sekolah yang tidak cuma tersebar di area perkotaan, tapi pedesaan hingga pesisir.
Pengalaman Ibu Muslimah identik dengan banyak guru-guru Muhammadiyah yang ada di kawasan Timur Indonesia. Kita bisa membagi para guru Muhammadiyah berdasarkan latar belakang mereka. Guru-guru Muhammadiyah sebelum era 80-an pada umumnya merupakan guru agama, pendiri pondok pesantren, atau mubaligh Muhammadiyah yang sengaja didatangkan dari Yogyakarta. Setelah era itu, guru-guru Muhammadiyah banyak berasal dari pendidikan perguruan tinggi.
Perjuangan Guru Muhammadiyah
Sekolah-sekolah Muhammadiyah sebelum meruncingnya konflik ideologi antara para guru dengan latar belakang organisasi sayap internal Muhammadiyah (biasa diakronimkan dengan Ortom atau Organisasi Otonom) dan aktivis Ikhwanul Muslimin, bersifat sangat terbuka. Sekolah-sekolah Muhammadiyah terbiasa menerima guru dari latar belakang non-Muhammadiyah. Beberapa guru terdidik dalam tradisi mahzab Syafi’iyah yang ketat. Sedangkan dalam manhaj Tarjih Muhammadiyah, tata cara beribadah sudah diatur berdasarkan keputusan resmi organisasi. Perbedaan itu kadang memicu masalah, kendati kebanyakan berlangsung harmonis.
Tapi persoalan-persoalan ideologis dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah tidak selalu disikapi secara reaktif. Guru-guru Muhammadiyah punya cara tersendiri dalam membentuk lingkungan yang positif atas perbedaan pemahaman keagamaan, bahkan di antara sesama mereka sekalipun. Itulah yang membuat sekolah-sekolah Muhammadiyah dengan berbagai problemnya bisa berkembang luas dan bertahan hingga satu abad lebih.
Guru-guru Muhammadiyah pada umumnya merupakan pengurus organisasi. Ada yang aktif sebagai ketua, sekretaris, anggota majelis, atau aktivis Ortom. Jadi mereka punya kegiatan rutin selain mengelola operasional sekolah saja. Belum lagi, ada yang turut serta dalam asosiasi atau organisasi guru di luar Muhammadiyah, majelis pengajian di kampung, bahkan jadi tokoh agama.
Para guru Muhammadiyah punya satu etos umum. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, tapi penting disampaikan. Guru Muhammadiyah biasanya terbiasa “patungan” untuk menanggulangi biaya-biaya insidental. Mereka akan memeras otak supaya gaji guru tetap bisa dibayar sementara kas sekolah menipis. Lebih-lebih lagi, kepala sekolah, biasanya bertanggungjawab menanggulangi biaya sekolah murid yang menunggak.
Kisah di Laskar Pelangi bukan fiksi. Pengalaman Ibu Muslimah mendedikasikan waktu, tenaga, dan uang pribadinya untuk sekolah, bukan tindakan asing bagu guru Muhammadiyah. Karena begitulah mereka menghidupi sekolah sebagai amal usaha Muhammadiyah (AUM).
Guru Muhammadiyah barangkali termasuk pekerja Muhammadiyah yang bertahan dengan nasehat KH. Ahmad Dahlan. “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.