Feature

Guru Sejati adalah Guru Kehidupan

3 Mins read

Oleh Mahli Zainuddin Tago

Di antara guru SD yang sangat berkesan bagi saya adalah Bu Has. Nama lengkapnya Hasniati. Beliau berasal dari Sungai Penuh, ibukota Kabupaten Kerinci-Jambi. Walau mengajar di SD Pulau Sangkar, desa yang berjarak 33 km dari kotanya, Bu Has sangat mencintai profesinya sebagai guru. Salah satu bentuk kecintaan itu adalah kasih sayang beliau kepada murid-muridnya.

Suatu waktu, dalam rangka mengikuti lomba siswa teladan tingkat kecamatan, saya bersama seorang siswa lainnya masuk ‘asrama’ selama beberapa hari. Asrama di sini hanyalah dua kamar tempat Bu Has dengan Bu Darni temannya –sesama guru- indekos di desa kami. Di asrama itu kami memperoleh pendidikan yang tidak sempat diberikan di sekolah. Dan, tentu saja yang juga penting bagi kami pada waktu itu adalah makanan kecil dan makanan besar. Peristiwa 30 tahun yang lalu itu menimbulkan kesan yang mendalam, karena bagi saya –sebagai siswa SD- diberi pelajaran plus makanan tambahan oleh seorang guru adalah suatu kebanggaan yang luar biasa.

Setelah tamat SD saya melanjutkan studi ke Jogja. Seiring dengan berjalannya waktu, Bu Has pindah tugas ke tempat-tempat lain yang tidak lagi dekat dengan desa saya. Sesuatu yang pasti adalah setiap pulang kampung saya selalu berusaha mendatangi Bu Has di tempat-tempat tugasnya yang baru itu. Bagi saya Bu Has tidak hanya mengajar pelajaran di depan kelas. Beliau telah mendidik saya di kelas maupun di rumah beliau dengan penuh kasih sayang.

Guru Ketika SMP

Ketika SMP saya terkesan dengan Bu Swa. Nama lengkapnya Ny. Swabandilah Poerwandi, B.A. sebagaimana tertulis dalam buku raport dan STTB saya. Bu Swa di samping sebagai guru kelas, juga memang kepala SMP saya.

Baca Juga  Keterbatasan

Singkat cerita, setelah tamat SMP saya bertemu lagi dengan Bu Swa dua puluh tahun kemudian. Saya mengikuti wisuda Pasca Sarjana di UGM, dan salah satu peserta wisuda itu adalah menantu Bu Swa. Sesudah wisuda saya menemui Bu Swa. Serta merta Bu Swa yang sudah pensiun itu memeluk saya. Dengan berlinangan air mata beliau berucap, “Ibu bangga denganmu nak. Dari dulu ibu selalu yakin kau akan berhasil.”

Bagi saya, sebagai seorang guru dari dulu Bu Swa tidak hanya mengajar di depan kelas, tapi juga mendidik kami –murid-murid beliau- agar berprestasi dan bangga dengan prestasi itu.

Guru Saat SMA

Tentu saja saya tidak bisa melupakan guru-guru SMA saya. Salah seorang dari mereka adalah H.M. Syukri Fadholi, S.H. Kami biasa memanggil beliau Pak Syukri. Pada waktu saya menjadi siswa di SMA Muhammadiyah 1 Jogja –yang populer dengan nama SMA Muhi- beliau adalah wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Sebagai siswa yang cukup aktif di organisasi kesiswaan maka saya sering bertemu dengan Pak Syukri.

Suatu saat pada jam istirahat saya menghadap Pak Syukri di kantornya. Belum sempat saya berbicara apa-apa, Pak Syukri langsung bertanya, “Mahli, kamu sudah sarapan?” “Belum pak,” jawab saya dengan jujur. “Sekarang kamu pergi sarapan, nanti kita ngobrol.” Dengan wajah penuh keikhlasan Pak Syukri lalu menyodorkan selembar uang dua puluh ribu rupiah. Saya menolak uang itu. Tetapi Pak Syukri ‘berfatwa’, “ Mahli, ini bukan persoalan saya kasihan dengan kamu. Ini adalah masalah hak dan kewajiban. Saya tahu masalah-masalah kamu. Sekarang saya wajib membantu kamu. Suatu saat kalau kamu berada di posisi saya dan saya berada di posisi kamu, maka kamu yang harus membantu saya atau orang lain yang berada pada posisi saya itu. Dan itu semua harus dengan ikhlas.”

Baca Juga  Iman, Toleransi dan Kebangsaan: Belajar dari Kasman Singodimedjo

Dengan demikian saya tidak bisa lagi menjawab selain mengucapkan alhamdulillah dan, tentu saja, terima kasih.

Di samping Pak Syukri di SMA saya merasa memiliki banyak guru yang selain mengajar di kelas juga memberi pendidikan tentang keikhlasan, semangat juang dan perlindungan. Secara teoritis maupun praktis. Itu sangat penting bagi seorang siswa. Terutama bagi siswa seperti saya sebagai anak rantau yang sekolah di Jogja hanya bermodalkan ‘semangat juang 45’ sehingga sering mengalami ‘krisis moneter.’

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Termasuk dalam pengertian guru di sini adalah guru TK, guru sekolah, dosen, guru besar, bahkan juga tuan guru. Sebagai pahlawan mereka bukan sekedar mengajar di depan kelas. Jasa mereka menjadi tak terlupakan, terutama karena ajaran dan amalan mereka tentang kasih sayang, kebanggan berprestasi, keikhlasan, semangat juang dan perlindungan.

Dalam situasi dunia pendidikan yang tengah bergelut dengan berbagai persoalan seperti tawuran antar siswa, narkoba, dan lemahnya semangat juang, maka hadirnya guru-guru seperti Bu Has, Bu Swa dan Pak Syukri, terasa sangat mendesak. Mereka adalah para guru yang tidak sekedar memberi pelajaran di depan kelas. Mereka mengajarkan nilai-nilai kehidupan dalam teori dan praktek. Mereka layak dikenang, karena mereka adalah guru kehidupan.

Sumber: http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/14629

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *