Oleh: Mahli Zainuddin Tago
Jogja dua minggu menjelang Ramadan 2015. HP saya berdering. “Mahli, mau berangkat umroh?” Suara jelas terdengar dari seberang telepon. Saya terpana. Ini tawaran yang serius dan datang tiba-tiba. “Tapi saya mau berangkat haji tahun ini,” jawab saya spontan. “Anggap saja latihan persiapan haji. Siapkan saja paspor dan pakaian umroh. Yang lainnya sudah dicukupkan oleh yang mengundang.” Dilaog singkat ini berakhir dengan jawaban saya, “Siap. Sami’na wa atha’na.” Maka tiga hari kemudian saya sudah mendarat dengan pesawat Saudia di bandara internasional Madinah al-Manawwarah. Saya menjadi salah satu dari puluhan undangan dari berbagai ormas Islam di tanah air yang diberangkatkan oleh Kerajaan Saudi Arabia. Itulah sepenggal dialog di antara banyak percakapan lainnya yang membuat saya merasa dekat dengan Uda Yun. Beliau memang biasa saya panggil dengan Uda Yun. Nama lengkap beliau adalah Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A.
Awal Perkenalan dengan Uda Yun
Saya mengenal Uda Yun pertama kali pada medio 1985.Setamat dari SMA Muhi Jogja, krisis ekonomi melanda keluarga saya. Dari pada pulang kampung, saya memilih untuk survive di Jogja. Nasib kemudian membawa saya menjadi staf admin di Madrassah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Ini terutama atas kebaikan ustaz Hamdan Hambali, yang akan saya ceritakan pada kesempatan lain. Di sinilah saya berkenalan untuk pertama kali dengan Uda Yun. Beliau guru baru di sini sebagai alumni Timur Tengah yang harus mengabdi pasca memperoleh gelar Lc. Ketika bertemu, saya memulai perkenalan dengan kalimat pendek “urang awak.” Dua kata primordial ini mendekatkan kami. Perkenalan ini berlanjut menjadi semacam persahabatan antara kakak dan adik. Setidaknya, itulah yang saya rasakan. Sebagai remaja perantau yang berjuang merintis masa depan, saya merasa menemukan semacam saudara tempat berlindung dari beban hidup. Sedangkan beliau mungkin berasa iba melihat anak muda aktivis yang sedang seperti anak ayam kehilangan induk itu.
Selama setahun bekerja di Muallimin, tentu saja saya banyak bergaul dengan Uda Yun. Di kantor maupun di luar kantor. Saya beberapa kali diajak ke rumah kontrakan beliau di kampung Karanganyar, dekat Karang Kajen. Saya kemudian juga kenal dengan adik Uda Yun, yaitu Uda Im, yang saat itu kuliah di UII. Di sana juga saya sempat berkenalan dengan Uni Lis yang baru menikah dengan Uda Yun. Periode ini tentu saja ditandai dengan beberapa kali saya ditraktir makan oleh Uda Yun di rumah makan Padang. Dalam hal selera makan, sesuatu yang unik dari Uda Yun ini adalah bahwa selera dasarnya tidak pernah berubah. Dimanapun beliau makan makan, termasuk di rumah, masakan kesukaannya adalah masakan Padang. Belakangan, pada suatu kesempatan di kantor, kami sengaja menguji beliau dengan menghidangkan masakan pecel lele dengan sayur daun kemangi dan kenikir. Dengan nada bercanda, beliau berucap, “apa ini, makanan rumput. Mana nasi Padang.”
Kedekatan dalam Hubungan Profesional
Sejak 1992, nasib baik membawa saya kembali dekat dengan Uda Yun. Sebelumnya, selama lima tahun saya berada di kota berbeda dengan beliau. Saya kuliah di Solo. Setamat UMS, saya diterima menjadi dosen baru di UMY. Maka saya makin dekat dengan Uda Yun. Ini karena beliau telah lebih dahulu menjadi dosen di UMY. Dalam berbagai interaksi, saya tetap menganggap beliau seperti kakak sendiri. Kedekatan hubungan personal ini tercermin dari cara kami saling memanggil. Di luar forum resmi, saya tetap memanggil beliau dengan Uda Yun. Sedangkan beliau selalu memanggil saya dengan Mahli, tanpa kata “bapak”. Bahkan ketika kemudian saya menjadi dekan di FAI UMY di mana beliau menjadi dosen homebase disana. Orang lain yang selalu dipanggil nama langsung oleh beliau, bahkan juga dalam forum formal, adalah sahabat saya yaitu ustaz Syakir Jamaluddin si penulis terkenal itu. Dalam hal ini, ustaz Syakir sangat senang dan bangga dipangil Uda Yun dengan panggilan “Kir, Kir.”
Dalam hubungan profesional saya mencoba melayani beliau sebagai senior yang memiliki keilmuan yang luar biasa. Dalam hal ini, saya berhasil memprovokasi para senior, terutama Uda Yun dan almarhum Pak Dr. Said Tuhueley, untuk peduli pada jabatan akademik. Sebelumnya, dua orang meski dikenal dengan kedalaman ilmu dan keluasan pergaulan, mereka tidak mau terbelit oleh tetek bengek adminsitrasi kepangkatan yang dianggap kurang substantif itu. Secara diam-diam saya mengurus kepangkatan akademik dan setelah berhasil baru saya laporkan kepada beliau.
Ternyata jabatan akademik saya melampuai dua senior yang saya hormati itu. Mereka kaget dan kemudian menyerahkan dokumen-dokumen akademik mereka kepada saya untuk diuruskan kepangkatan akademik mereka. Khusus untuk Uda Yun, ternyata angka kredit yang beliau miliki melebihi kebutuhan untuk Lektor Kepala. Uda Yun layak untuk menjadi Guru Besar. Singkat cerita, kami berhasil mengantar beliau meraih predikat akademik tetinggi yaitu Guru Besar atau Profesor. Tentu saja sepadan dengan kapasitas ilmu dan karya-karya yang beliau miliki.
Kedekatan yang Terus Berlanjut
Kedekatan dengan Uda Yun terus berlanjut baik malalui profesional maupun jalur persyarikatan. Ketika Uda Yun menjadi dekan Fakultas Agama Islam UMY pada periode 2003-2007, saya diminta beliau mendampinginya menjadi pembantu dekan tiga. Bagi saya, ini melanjutkan tanggung jawab sebelumnya menjadi pembantu dekan yang bertugas mengurusi urusan kemahasiswaan. Tentu ini bukan tugas yang ringan. Karena pada era ini, dunia kemahasiswaan sedang bergolak. Jogja menjadi semacam ibukota mahasiswa Indonesia. Dan salah satu pusat pergolakan mahasiswa di Jogja adalah kampus UMY.
Pada jalur persyarikatan, ketika Uda Yun menjadi ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, beliau mengajak saya menjadi wakil sekretaris majelis ini. Dalam Mejelis Tabligh ini, secara khusus saya banyak fokus mengurus program Rihlah Dakwah, berkunjung dari satu PDM ke PDM yang lain. Terkait program ini, juga saya pernah diajak mendampingi Uda Yun rihlah ke Batam. Kegiatan ini menjadi menarik karena berlanjut dengan rihlah ke Muhammadiyah Association di Singapura. Saya bahkan diajak Uda Yun untuk menghadiri wisuda kakak kandung beliau, yaitu ustaz Suhairy Ilyas pada program Doktor di UKM, Malaysia. Ini sangat berkesan bagi saya, karena merupakan perjalanan pertama saya ke luar negeri.
Motivasi Akademik dari Uda Yun
Pada 2006, saya melanjutkan sekolah ke program doktor. Sebagai pembantu dekan dimana Uda Yun menjadi dekan, saya meminta nasehat beliau. Beliau lalu mengajak saya untuk berhitung. Terkait dengan motivasi beliau berhasil meyakinakan saya. Saya tidak begitu bersemangat studi lanjut. Karena khawatir nanti setelah menjadi doctor, tetapi ilmu tidak sepadan dengan gelar akademik yang disandang. Uda Yun meyakinkan saya bahwa justu dengan gelar dokor itu akan meningkatakan motivasi untuk selalu menambah ilmu.
Terkait dengan biaya hidup, karena studi lanjut, berarti melepas jabatan pembantu dekan, beliau mengajak saya berhitung. Sebagai orang Minang yang rasional, beliau ahli dalam hal ini. Saya diminta menghitung berapa pemasukan yang berkurang dan berapa pengeluaran yang bertambah bila saya studi lanjut. Di ujung cerita, beliau memberikan komitmen.
Kalau selama studi nanti saya kesulitan keuangan, maka jangan segan-segan untuk datang ke beliau kapanpun. Beliau siap mengulurkan tangan. Tentu ini menjadi salah satu penguat motivasi saya untuk sekolah lagi. Meskipun dari awal, saya sudah berprinsip bahwa demi menuntut ilmu harus siap miskin. Sebelumnya, prinsip ini sudah saya buktikan ketika memilih tidak pulang kampung dan bertahan di Jogja untuk survive setamat SMA dulu.
Selamat Tinggal Uda Yun
Pada periode berikutnya, belaiu sudah menjadi anggota tiga belas besar Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang terpilih melalui Muktamar. Dengan ini, persinggungan melalui progam persyarikatan antara saya dengan beliau agak berkurang. Ini karena saya berada di majelis yang tidak berada di bawah koordinasi beliau langsung. Pada periode 2015-2020 saya berada di Lazismu, sebuah lembaga yang juga tidak berada di bawah koordinasi beliau sebagai ketua PP Muhammadiyah dan bahkan berkantor di Jakarta. Maka , Tidak ada lagi rihlah dakwah bersama atau menami beliau ber-tabligh ke berbagai penjuru. Meskipun demikian, beliau nampaknya masih menganggap saya sebagai adiknya. Percakapan melalui telepon yang berujung pada keberangkatan saya menjadi tamu Kerajaan Saudi pada awal cerita ini, menjadi salah satu buktinya. Pada sisi lain saat pernikahan dua anak saya, Uda Yun memberikan khutbah nikahnya dan pada dua pernikahan anak Uda Yun saya masih diminta menjadi panitia khusus sebagai among tamu.
Pinggiran Selatan Jogja, Jumat Dinihari 3 Januari 2020
Malam sangat dingin di tengah musim hujan yang sudah menjelang. HP saya berdering dengan keras. Setengah sadar saya mengangkat HP dan membaca tulisan yang muncul di layar hape, “Syakir memanggil.” Kantuk saya seketika hilang. Sahabat saya, ustaz Syakir, yang biasa dipanggil Uda Yun dengan panggilan akrab “Kir, Kir” itu, berbicara lemah di seberang telepon. Kekhawatiran akan munculnya panggilan darurat tengah malam seperti ini pada hari-hari Uda Yun dirawat di RS Sarjito menjadi kenyataan. “Ustaz meninggal baru saja. Kita ke Sarjito bersama sekarang ya” ujar ustaz Syakir lemah. Saya terduduk lemas di tempat tidur untuk beberapa waktu. Perasaan campur aduk menghampiri saya. Berbagai memori tentang Uda Yun kembali muncul. Dan tanpa terasa air mata saya mengalir di pipi.
Dalam perjalanan menuju RS Sarjito, saya dan ustaz Syakir lebih banyak terdiam. Kami larut dalam perasaan masing-masing. Iya, kami harus menerima kenyataan bahwa Uda Yun telah berpulang. Pulang mendahului kami untuk selamanya. Pada satu sisi, tentu saya sedih kehilangan beliau. Ada begitu banyak kebaikan yang telah saya dapatkan dari senior yang saya anggap seperti kakak kandung sendiri ini. Tetapi, melihat banyaknya para pelayat yang hadir, mulai dari di ruang jenazah di RS Sarjito dini hari itu, saat disemayamkan di kantor PPM Cikditiro, apalagi saat di Masjid Gedhe Kauman, saya harus berlapang dada, mengikhlaskan kepergian beliau.
Ribuan pelayat hadir untuk meberikan penghormatan terakhir. Mereka mensalatkan jenazah, mendoakan, dan menghantarkan beliau ke tempat peristrirahatan terakhir di Karangkajen. Uda Yun dimakamkan tidak jauh dari makam Kiai Dahlan dan makam Pak Said Tuhuleley, sahabat karib beliau. Tempat yang lebih baik telah tersedia untuk Uda Yun di akhirat sana. Insya Allaah. Aamiin…
.
Editor: Yahya FR