Hingga abad ke-21 ini, cerita manusia tidak jauh berkisar dari penaklukan bumi. Dimulai dari usaha sederhana seperti membuat kapak genggam (chopper) yang ditemukan Von Koenigswald (1935) di Pacitan, hingga senjata nuklir yang dimulai sejak fisikawan Albert Einstein menyurat kepada Presiden AS Franklin D. Roosevelt bahwa reaksi rantai nuklir yang tidak terkontrol punya potensi besar menjadi senjata pembunuh massal.
Usaha menaklukkan bumi dengan segenap yang ada di dalamnya juga telah terlihat dari olah pikir manusia. Setidaknya sejak mereka berteduh dari tantangan alam di gua karst berusia 40.000 tahun di Maros, hingga optimalisasi ruang sekaligus bukti ketinggian peradaban manusia yang terlihat gagah dari gedung pencakar langit setinggi 828 meter (2.171 kaki), Burj Khalifa, di Dubai.
Tak ketinggalan, ekspedisi dan “kolonisasi ruang” ke luar angkasa juga bagian dari itu.
Penjelajahan Manusia
Dari Barrow Street, lingkungan Greenwich Village di Manhattan New York, sejarawan-cum-jurnalis Belanda-Amerika, Hendrik Willem van Loon menulis buku berjudul The Story of Mankind. Tahun 1920 waktu itu. Pada bab 41, “penemuan-penemuan besar”, Van Loon bercerita tentang masih rendahnya pengetahuan manusia di abad pertengahan.
Dia cerita, bahwa pelayaran Magellan ke timur–mencari “the spices island” (kepulauan rempah-rempah), Maluku. Pelayaran itu membawa 20 sampai 50 orang yang tinggal di bilik-bilik kotor; konsumsi makanan yang kurang matang karena dapurnya yang sangat buruk, ditambah dengan tidak ada api yang dinyalakan setiap kali cuaca buruk tiba. Ketika itu, mereka baru tahu membuat acar ikan dan ikan kering. Tapi belum ada ilmu membuat makanan kalengan–yang bisa bertahan lebih lama.
Air yang mereka bawa dari Portugis ditaruh di tong-tong kecil. Lama-lama airnya rusak, keruh, dan banyak timbul kuman. Absennya pengetahuan tentang kuman di zaman itu, membuat para awak kapal mengonsumsi saja air itu. Dampaknya jadi buruk. Banyak kena tiphus. “Kematian di kapal-kapal pada pelayaran navigasi paling awal sangat mengerikan,” tulis Van Loon.
Pada pelayaran 1519 yang bertolak dari Seville, Magellan ditemani oleh sekitar 200 pelaut. Tapi, hanya 18 orang yang kembali dengan nama. Ketika itu, orang belum banyak tahu bahwa ada “musuh tersembunyi” (invisible enemy) yang bisa muncul secara evolusioner dalam tong-tong air yang kita punya dan kalau dikonsumsi bisa berdampak fatal bagi tubuh manusia.
Wabah dan Virus
Pada bulan Maret 1520, masih di tahun yang berdekatan, seorang budak yang ikut bersama 900 tentara Spanyol yang bertolak dari Pulau Kuba, mendarat di Meksiko. Francisco de Egula, namanya. Dia sendiri tidak tahu bahwa dalam tubuhnya itu ada triliunan sel yang bisa jadi bom biologis dalam bentuk virus cacar.
Zaman itu, tulis Yoval Noah Harari di laman Time (15 Maret 2020), Amerika Tengah belumlah punya kereta, bus, atau bahkan keledai yang memungkinkan wabah tersebar dengan cepat (bandingkan dengan kita sekarang yang terhubung kemana-mana). Sembilan bulan setelah kehadiran de Egula, penyakit cacar (smallpox) itu membunuh sepertiga dari populasi mereka.
Dalam Homo Deus (2015), sejarawan lulusan PhD dari Universitas Oxford pada 2002 itu menulis: “Francisco yang menggigil ditidurkan di rumah seorang keluarga Amerika di kota Cempoallan. Dia menulari para anggota keluarga, yang kemudian menulari tetangga-tetangganya. Dalam 10 hari Cempoallan menjadi sebuah lahan kuburan. Para pengungsi menyebarkan penyakit itu dari Cempoallan ke kota-kota terdekat. Setelah satu demi satu kota takluk pada wabah itu, gelombang-gelombang baru pengungsi yang ketakutan membawa penyakit itu ke seluruh Meksiko dan menyebar keluar.”
Suku Maya di Semenanjung Yukatan bilang: penyakit itu gara-gara tiga dewa jahat, yaitu Ekpetz, Uzannkak, dan Sojakak. Terbang dari satu desa ke desa lainnya pada malam ini untuk kemudian menulari manusia. Sedangkan suku Aztec yakin, itu ulah dewa Tezcatlipoca, dewa malam yang punya garis-garis hitam di wajah dan membawa cermin obsidian, dan dewa Xipe Totec, dewa yang mengenakan kulit manusia yang mengelupas (seram, ya?).
Ada juga yang yakin, itu sihir hitam dari orang-orang kulit putih–semacam tuduhan konspiratif dan rasial yang muncul juga pada wabah Covid-19.
Bersatu untuk Menang
Ketika itu, manusia belum tahu tentang kuman dan virus yang tidak terlihat itu. Manusia awalnya hanya berfokus pada “musuh-musuh yang terlihat” (visible enemy), tapi lalai dengan “musuh-musuh yang tidak terlihat.” Para dokter dan tabib telah berusaha sebenarnya, tapi usaha itu kadang tidak berhasil dalam waktu cepat.
Tapi kita beruntung jadi manusia. Manusia dibekali akal dengan kemampuan eksperimen yang tidak terbatas. Satu cara mentok, mereka cari cara lain. Satu obat kalah, mereka cari obat lain. Satu vaksin gagal, mereka produksi vaksin lain. Itu sesuatu yang paling kita syukuri dalam takdir kita sebagai manusia.
Dalam situasi yang serba tidak menentu, sudah saatnya para ilmuwan bergiat untuk mencari tahu apa sebenarnya virus baru yang dinamakan covid-19 itu. Pertukaran informasi antar ilmuwan sudah saatnya dilakukan, baik dari China, Amerika, dan negara-negara lainnya yang terdampak oleh virus berbentuk mahkota tersebut.
Di sini, tugas ilmuwan menjadi sangat penting untuk “winning the war on pathogens“, mengutip Harari. Untuk bisa jadi “the winner” tentu saja butuh kerja sama internasional dan sikap saling percaya–dua hal yang di-highlight oleh Harari–yang sangat penting dalam konteks sekarang. Tidak bisa lagi satu negara berpikir sempit.
Mereka harus bersatu, karena serangan virus ini sejatinya bukan serangan kepada satu dua orang, atau satu dua negara, tapi ini serangan global terhadap manusia.
Pengetahuan dan Pola Hidup Sehat
Waktu jadi relawan salah satu komunitas, saya pernah mendapat tugas untuk membantu pasien dari Gebe, Halmahera Tengah yang dirawat di Ternate. Dokter mengatakan, berdasarkan pemeriksaan terhadap feses (kotoran), dalam tubuh pasien ada banyak cacing yang kehadiran mereka mengganggu tubuh anak tersebut. Akibatnya, bakteri baik kalah terhadap bakteri jahat; tubuhnya pun jadi kurus banget.
Informasi yang saya kumpulkan tiba pada simpulan bahwa ini tidak lepas dari minimnya pengetahuan atau informasi tentang kesehatan dan pola hidup sehat. Anak tersebut berasal dari keluarga miskin yang tinggal di pinggir pantai. Setiap hari ia buang air besar di pantai, dari situ bakteri dan kuman pada masuk.
Pola hidup yang tidak sehat itu tidak berdiri sendiri. Ada banyak faktornya. Bisa jadi karena kemiskinan yang membelit keluarga tersebut (pemerintah harus serius mengurangi angka kemiskinan, tentu saja). Sinergi antara kemiskinan dan ketidaktahuan biasanya menyebabkan sikap acuh tak acuh, cuek, dan kalaupun berusaha–untuk berobat–tidak sampai pada level maksimal.
Maka, dibutuhkan solidaritas sosial. Jika ada tetangga yang sakit, tetangga terdekat harus membantu semaksimal mungkin. Minimal dengan menghubungi otoritas terdekat atau “otoritas jauh” (pusat) via media sosial yang saat ini begitu mudah untuk dijangkau. Solidaritas inilah yang akan menguatkan “ketahanan sosial” agar tidak mudah ambruk oleh berbagai masalah yang datang mendera.
Manusia Harus Menang
Setelah berperang sekian lama dengan cacar dan ditemukannya vaksin, manusia pun jadi pemenang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1979 menyatakan: manusia telah menang dan cacar telah diberantas (Harari, 2020). Pada tahun 2019, lanjut Harari, tidak ada satu pun orang yang terinfeksi atau dibunuh oleh cacar.
Keberhasilan itu merupakan kolaborasi dari sekian banyak faktor, terutama adanya vaksinasi, antibiotik, peningkatan kebersihan, dan infrastruktur media yang jauh lebih baik. Tak ketinggalan, faktor manusia yang semakin sadar akan pentingnya pola hidup sehat.
Belajar dari keberhasilan itu, berarti manusia punya kans untuk menang jika mereka bersatu dalam hati, pikiran, dan tindakan. Kesatuan hati berarti niat mereka adalah untuk perang bersama-sama terhadap virus. Pikiran yang sehat juga diperlukan yang dibarengi dengan tindakan yang berorientasi pada tujuan yang sama. Kurangi perbedaan, perkuat persamaan. Demi kemanusiaan.
Kemenangan menaklukkan virus adalah kemenangan manusia yang lahir dari proses sejarah. “Those who do not remember the past are condemned to repeat it,” kata George Santayana, filsuf kelahiran Madrid, Spanyol (1863). Mereka yang tidak belajar dari masa lalu, maka akan dihukum untuk mengulangi kesalahan yang sama.
Maka, kita pun harus belajar dari tragedi anak buah Magellan yang pulang tinggal nama karena lemahnya pengetahuan tentang kesehatan dan ketidaktahuan orang Meksiko atas masuknya virus cacar ke kampung mereka.
Memang, makin kita modern, virus yang datang juga mengalami mutasi dalam berbagai varian yang kadang sulit dikalkulasi. Saatnya ilmuwan bersatu mengenali virus itu secara detail–kekuatan dan kelemahannya–dan kemudian memproduksi vaksin lebih cepat agar meminimalisasi jatuhnya jumlah korban.
*) Antropolog Universitas Khairun, Mahasiswa Program Doktor Antropologi FISIP UI, Pendiri Rumah Produktif Indonesia.
Editor: Nabhan