Kemarin saya membaca artikel dari Ilham Sopu tentang merasakan keberadaan Tuhan yang ditulis di situs yang sama, yakni IBTimes.ID. Jauh membacanya sampai akhir, saya menyepakati gagasan dari Ilham Sopu, bahwa sebenarnya manusia bisa merasakan Tuhan dengan dekat.Â
Meski demikian, saya merasa bahwa tidak mudah manusia untuk merasakan kehadiran Tuhan dengan dekat dalam kehidupan. Sebab, sebelum manusia bisa merasakan kehadiran Tuhan dengan dekat, maka manusia terlebih dahulu harus meyakini tentang keberadaan Tuhan. Persoalannya adalah tidak mudah untuk menjelaskan secara rasional perihal keberadaan Tuhan. Itu sebabnya banyak manusia yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan.
Secara komprehensif, penyebab manusia tidak mempercayai keberadaan Tuhan akibat diri-Nya tidak hadir secara fisik dalam pengamatan manusia. Ketidakmampuan manusia untuk menangkap keberadaan Tuhan, membuat manusia mengambil kesimpulan bahwa Tuhan tidak ada.
Tidak Semua harus Teramati
Itu menjadi rasional ketika menilik dari perspektif filsafat materialisme dan positivisme. Filsafat positivisme dan materialisme menilai bahwa kebenaran realitas berasal dari objek yang mampu teramati.
Padahal, dalam kehidupan, tidak selamanya kebenaran harus mampu teramati. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang hakikatnya tidak harus teramati. Misalnya saja, proses masuknya makanan dari mulut ke organ pencernaan. Manusia tidak bisa mengamati secara langsung masuknya makanan dari mulut ke organ pencernaan. Namun, kenapa manusia begitu yakin jika makanannya akan masuk ke organ pencernaan?
Sebab, manusia mengalami sosialisasi pengetahuan bahwa saat manusia makan, makanannya akan melalui proses pencernaan dengan masuk ke organ pencernaan. Dan manusia akan mengingat kembali sosialisasi pengetahuan tersebut, sehingga manusia menjadi yakin.
Begitu juga dengan cara untuk menghadirkan keberadaan Tuhan. Sebenarnya, untuk menghadirkan keberadaan Dia tidak harus teramati secara pasti. Sebab, untuk menghadirkan keberadaan Tuhan, manusia bisa menggunakannya dengan ingatan tentang masa lalu. Namun, tidak sekadar terhenti pada ingatan masa lalu saja, melainkan juga menggunakan proses refleksi.
Pengalaman Menghadirkan Keberadaan TuhanÂ
Menghadirkan keberadaan Tuhan dengan masa lalu secara reflektif merupakan cara yang pernah saya lakukan. Semenjak beranjak dewasa, saya sulit untuk mengakui bahwa Tuhan itu ada. Saya berasumsi bahwa segala pencapaian saya bisa terjadi karena kemampuan dan kekuatan pribadi. Atau sesuatu yang tercipta di muka bumi bisa dijelaskan dengan menggunakan ilmu pengetahuan. Misalnya, terbentuknya planet, dalam ilmu Geografi banyak teori tentang pembentukan planet.
Hingga suatu ketika saya mulai menyadari bahwa Tuhan memang ada dalam kehidupan. Kesadaran akan keberadaan Tuhan terjadi manakala saya mengingat masa lalu kehidupan. Pun ketika mengingat masa lalu, ternyata banyak sekali peristiwa janggal yang tidak mampu dijawab oleh akal dan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana masa lalu saya saat membangun hubungan dengan perempuan. Saya teringat bahwa mantan-mantan saya memiliki kemampuan luar biasa perihal hitung-hitungan Sedangkan, saya tidak handal dalam hitung-hitungan. Saya juga tidak pernah merencanakan harus punya kekasih yang pandai berhitung. Apalagi saat membangun hubungan dengan perempuan, saya tidak pernah bertanya dahulu, apakah kamu pandai berhitung atau tidak.
Dengan posisi saya yang tidak pandai hitung-hitungan, akhirnya membuat saya sulit saat mengerjakan tugas yang penuh dengan rumus dan hitungan. Mirisnya lagi, saat saya membeli barang, terkadang saya kesulitan menghitung jumlah kembalian dengan tepat. Tetapi, semua kesulitan akibat saya tidak pandai hitung-hitungan, bisa tertutupi dari keberadaan perempuan-perempuan yang pernah menjadi kekasih saya yang pintar hitung-hitungan.
***
Kisah lainnya hadir dari cerita kawan saya. Dia bercerita bahwa selama menikah jarang sekali bertemu dengan suaminya. Penyebabnya adalah suaminya bekerja di luar kota dengan jarak ratusan kilometer. Dengan terpaut jarak jauh, membuat dirinya dengan suaminya sulit untuk bertemu. Dilematisnya lagi, suaminya jarang sekali bertemu dengan anaknya yang masih belia.
Singkat cerita, kawan saya mengalami kesedihan akibat suaminya meninggal. Meski mengalami kesedihan, kawan saya tidak terlalu sedih. Sebab, anaknya yang masih belia juga tidak terlalu mencari ayahnya, sehingga sekarang dirinya tidak terlalu kebingungan untuk mencari alasan ketika anaknya bertanya ayahnya ada di mana.
Menurutnya, dia bisa mengambil hikmah dari peristiwa suaminya yang bekerja jauh, sehingga sulit bertemu dengan keluarga. Dengan begitu, anaknya tidak memiliki ikatan emosional terlalu mendalam dengan ayahnya.
Refleksi dari Ingatan Masa Lalu: Kehadiran Tuhan
Dari berbagai kilas balik memori masa lalu di kehidupan saya, saya mulai merefleksikannya. Saya berasumsi bahwa tidak mungkin begitu saja terjadi tentang perempuan yang hadir di kehidupan saya pandai hitungan-hitungan semua. Dalam asumsi saya, bahwa semuanya sudah ditakdirkan oleh zat maha kuasa.
Pun sama dengan kisah dari kawan saya. Tidak mungkin terjadi begitu saja tentang nasib keluarganya yang sulit bertemu suaminya. Tentunya, peristiwa kawan saya juga ditakdirkan oleh zat maha kuasa.
Siapakah zat maha kuasa? akal saya menjawab adalah Tuhan. Sebab, tidak mungkin manusia mampu mengatur kehidupan begitu sempurna dan indahnya. Selama membaca buku tentang kisah kehidupan seorang Kiai, saya menemukan satu pengetahuan tentang Tuhan dan kehidupan. Manusia menjalankan kehidupan berdasarkan akalnya, sedangkan garis kehidupannya telah diatur oleh Tuhan, lantaran Dia lebih mengetahui yang terbaik untuk ciptaannya.
Dengan demikian, pada dasarnya untuk menghadirkan keberadaan Dia tidak selalu memerlukan jawaban logis dan ilmiah. Lantaran Tuhan sudah ada dalam lintasan waktu kehidupan masing-masing manusia. Maka, coba carilah keberadaan Tuhan dengan cara mengingat peristiwa masa lalu dalam kehidupan yang tidak mampu dipahami secara logis dan ilmiah. Mungkinkah?
Editor: Soleh