Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru melalui Kementerian Penertiban Aparatur Negara membentuk tim khusus yang bertugas memperbaiki nasib guru. Tim tersebut bahkan punya kewenangan untuk menyelediki aparat yang mempersulit status kepegawaian guru.
Tim itu dibentuk karena sebelumnya kesejahteraan ekonomi guru sangat memprihatinkan. Gaji guru begitu rendah. Pengangkatan status kepegawaian juga begitu sulit. Padahal, saat itu Orde Baru begitu gencar membangun SD Inpres di berbagai tempat. Akibatnya, tak banyak orang yang mau jadi guru. Banyak sekolah kekurangan guru.
Tahun berganti tahun, orde baru berganti reformasi. Bagi guru, terutama guru madrasah, tidak banyak bedanya. Kesejahteraan guru madrasah jauh di bawah kata layak. Tak perlu jauh-jauh kita melihat, cukup melihat madrasah-madrasah di sekitar kita.
Hingga saat ini, masih ada madrasah yang gurunya mendapatkan upah sebesar 50 ribu rupiah. Ini yang ekstrim sekali. Ada juga yang gajinya 250 ribu, 350 ribu, hingga 500 ribu. Guru-guru madrasah yang telah menghabiskan masa pendidikan sarjana setidaknya selama 3,5 tahun itu digaji jauh lebih rendah daripada buruh pabrik yang lulusan SMA/SMK.
Guru adalah pendidik masyarakat. Pendidik peradaban. Ialah yang melahirkan peradaban itu sendiri. Perannya dalam pembangunan bangsa begitu agung dan luhur. Tanpanya, kondisi bangsa Indonesia akan jauh lebih buruk dari sekarang.
Di lembaga pendidikan Islam, guru tidak hanya berperan sebagai tukang transfer pengetahuan. Tapi juga mentor dalam kehidupan, termasuk dalam hal keagamaan. Guru merupakan suluh penerang bagi kehidupan anak didik. Yang mengajarkan hitam putih kehidupan pada anak didik. Guru adalah penyampai nilai-nilai kehidupan dan penjaga gawang moralitas anak bangsa.
Namun, penghargaan terhadap guru rasanya sangat tidak layak. Pemerintah melalui berbagai media telah mengakui hal ini. Namun, rasa-rasanya, mereka tidak dapat berbuat banyak. Melalui Kementerian Agama, pemerintah beberapa kali menyalurkan insentif untuk guru madrasah. Sayang, besarannya hanya sekitar 250 ribu rupiah per bulan.
Jika seorang guru mendapatkan gaji 250 ribu rupiah per bulan, ditambah 250 ribu rupiah intensif dari pemerintah, maka dalam satu bulan ia hanya mendapatkan 500 ribu rupiah. Lalu bagaimana dengan yang mendapatkan upah 50 ribu rupiah itu tadi?
Bagaimana seorang guru madrasah bisa fokus mengabdikan kehidupannya pada anak bangsa jika periuk nasinya saja belum terisi?
Guru yang belum selesai dengan kondisi perekonomiannya tidak bisa memberikan kontribusi secara maksimal pada anak didik. Ia menjadi tidak fokus menjalani profesi yang begitu luhur. Pikirannya terbelah antara mengabdi di sekolah dengan upaya bertahan hidup keluarga.
Upaya untuk memastikan peningkatan kesejahteraan guru madrasah dari segi ekonomi harus menjadi upaya serius bersama. Ia tidak boleh hanya menjadi slogan ketika kampanye atau gimmick ketika memerintah. Upaya peningkatan kesejahteraan guru madrasah sama dengan upaya memajukan peradaban bangsa itu sendiri. Sehingga tidak boleh dilakukan dengan asal-asalan.
Jika dilihat secara lebih jauh, sejatinya kesejahteraan guru madrasah tidak hanya pada sebatas aspek ekonomi saja. Ada kesejahteraan psikologis guru madrasah yang jarang dilihat apalagi diperbincangkan. Kesejahteraan psikologis guru penting karena ia berpengaruh pada tingginya kualitas mengajar, hasil belajar siswa, dan efektivitas regulasi pemerintah di bidang pendidikan.
Sementara, di Indonesia, jangankan dibahas secara serius, terdengar istilahnya saja jarang sekali. Pemerintah dan juga organisasi guru serta masyarakat begitu asing terhadap istilah tersebut. Di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang, riset tentang kesejahteraan psikologis guru dilaporkan secara rutin setiap tahun.
Sebagaimana dilansir dari Harian Kompas (15/9/2022), kesejahteraan psikologis guru adalah kemampuan guru untuk mengelola kemampuan kognisi dan emosinya untuk menilai keadaan yang dihadapi sehari-hari secara positif sehingga guru dapat berkembang optimal dan bahagia. Pemicunya dapat dari faktor internal dan faktor eksternal, utamanya seperti pengalaman selama pendidikan, tuntutan mengajar secara konstruktivis, dan suasana kerja di sekolah.
Banyak ahli mensinyalir bahwa dewasa ini, guru-guru di Indonesia, termasuk di dalamnya guru madrasah, terlalu disibukkan dengan tugas-tugas administratif. Hal ini dapat mengurangi waktu yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas seorang guru. Di satu sisi, guru dituntut untuk dapat mengajar dengan baik. Namun, waktunya harus dihabiskan untuk tugas-tugas administratif.
Faktor suasana kerja di sekolah juga cukup menentukan. Beban kerja yang begitu berat membuat kesejahteraan psikologis menurun. Menurut penelitian, kelelahan emosi linier dengan rendahnya kualitas pembelajaran (Mardigan dan Kim, 2021). Artinya, semakin lelah seorang guru, semakin rendah kualitas pembelajaran.
Pendapatan penghasilan jelas berpengaruh pada kesejahteraan seseorang. Namun, pendapatan bukan satu-satunya faktor kesejahteraan. Maka, mekanisme untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis sekaligus kesejahteraan ekonomi perlu diupayakan secara lebih serius. Keduanya harus berjalan secara simultan.
Peningkatan gaji dan intensif menjadi hal yang harus segera dicarikan solusinya. Sementara peningkatan kesejahteraan psikologis juga harus segera ditingkatkan melalui regulasi yang bijak dan arif. Hal ini dilakukan dalam rangka menghargai jasa guru.
Bagaimana peradaban kita menjadi maju jika kita tidak menghargai sosok yang melahirkan peradaban itu sendiri?
Editor: Saleh
*) Artikel ini diterbitkan dalam rangka Peringatan Hari Guru tanggal 25 November bertema “Berinovasi Mendidik Generasi” oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.