Secara historis, kita semua sepakat bahwa Al-quran tidak turun dalam sekali tempo. Ia diturunkan secara gradual bergantung pada peristiwa atau konteks yang melingkupinya. Dalam rentang waktu 23 tahun, sebagian ayat Al-Quran turun di Makkah dan sebagian lainnya turun di Madinah setelah hijrah, sebagian turun sewaktu Nabi saw tinggal di suatu tempat dan sebagian lainnya turun sewaktu beliau di perjalanan.
Terlepas dari semua itu, horizon tentang mana ayat yang turun di Makkah (Makkiyah) dan Madinah (Madaniyah) diperoleh berdasar jalur riwayat dari para sahabat dan tabi’in, bukan berdasar pada penjelasan Nabi Saw. Demikian itu dapat dipahami karena umat Islam di zaman Nabi Saw – dalam hemat Abad Badruzaman – tidak memerlukan penjelasan mana ayat Makkiyah dan mana ayat Madaniyah. Mereka adalah orang-orang yang musyahadah (menyaksikan langsung) wahyu; bagaimana, di mana, kapan, dan berkenaan hal apa ayat-ayat Al-Quran diturunkan.
Diskursus Makkiyah dan Madaniyah
Di dalam buku ini, Abad Badruzaman mengetengahkan setidak-tidaknya tiga pendapat mengenai perbedaan antara Makkiyah dan Madaniyah. Pertama, pertimbangan waktu. Jika ditilik dari segi waktu, Makkiyah adalah ayat atau surah yang turun sebelum hijrah sekalipun Nabi Saw tidak di Makkah. Sedang Madaniyah adalah ayat atau surah yang turun setelah hijrah walaupun tidak turun di Madinah. Ayat atau surah yang turun setelah hijrah, walaupun diturunkan di Makkah atau Arafah, berdasar pertimbangan ini, tetap dinamai Madaniyyah, seperti ayat yang turun pada waktu fathul makkah (Q.S. An-Nisa’ [4]: 58), termasuk juga ayat yang turun saat haji wada’ (Q.S. Al-Maidah [5]: 3). Dibanding dua pendapat setelahnya, pendapat ini dinilai paling sahih karena ringkas dan mencakup; singkat tetapi padat (Manna’ Qathan, Mabahits fi Ulum Al-Quran, hal. 61)
Kedua, pertimbangan tempat. Berdasarkan pertimbangan ini, maka ayat yang turun di Makkah disebut ayat Makkiyah dan ayat yang turun di Madinah disebut ayat Madaniyah. Pendapat ini, menurut Abad, memiliki beberapa kelemahan, salah satunya adalah pemilahannya tidak tegas dan kurang mencakup. Seperti misalnya, akan dinamai ayat atau surah apa yang turun di perjalanan atau di Tabuk atau di Baitul Muqaddas? Bukan Makkiyah, bukan pula Madaniyah. Yang jelas, berdasar pertimbangan ini, ayat yang turun di Makkah meski setelah hijrah tetap dinamai Makkiyah.
Ketiga, pertimbangan mukhatab (audiens). Berlainan dengan kedua pendapat di atas, jika mengacu pada pendapat yang ketiga, maka ayat Makkiyah adalah ayat atau surah yang ditujukan kepada penduduk Makkah dan sekitarnya, dan demikian pula ayat Madaniyah. Dalam pendapat mereka yang memegangi pendapat ketiga ini, jika sebuah ayat diawali dengan seruan ya ayyuhan nas (wahai sekalian manusia) maka ia Makkiyah. Sedangkan jika sebuah ayat diawali dengan seruan ya ayyuhal ladzina amanu (wahai orang-orang yang beriman, maka ia Madaniyah. Menurut hemat Abad, pandangan ketiga ini tidak mencakup sebab kebanyakan surat-surat Al-Quran tidak dibuka dengan ya ayyuhan nas atau ya ayyuhal ladzina amanu, dan semacamnya.
Kontekstualisasi Makkiyah-Madaniyah dan Asbabun Nuzul
Tidak berhenti pada tataran teoritis saja, Abad Badruzaman juga berusaha mengkontekstualisasikan pemahaman Makkiyah-Madaniyah dan asbabun nuzul dalam beberapa surah di Alquran. Salah satu yang ia ulas adalah Surah Al-Ma’un. Secara tematik, Surah Al-Ma’un mengandung dua tema; keharuan adanya pemahaman dan pola perilaku keberagamaan yang holistik dan manifestasinya dalam kehidupan sosial.
Dalam Surah Al-Ma’un, Allah menggambarkan begitu dramatis bagaimana Ia mengecam mereka yang hanya fokus pada ibadah ritual, namun mengabaikan – bahkan menafikan – ibadah sosial. Seperti yang diketahui, di awal abad ke-7, bangsa Quraisy menjadi bangsa yang besar. Kebesaran bangsa ini dibarengi dengan paradigma kapitalisme akut yang menjangkitinya sehingga dalam pandangan mereka kekayaan dan kapitalisme adalah juru selamat bagi mereka. Mereka tidak segan membunuh dan menghabisi satu sama lain demi merebut dominasi kekuasaan dan kekayaan. Mereka juga mengeksploitasi harta anak yatim dan kaum tertindas serta menempatkan wanita tidak lebih sebagai objek seksual mereka.
Hal ini tentu saja memantik Nabi Muhammad Saw untuk bersikeras memperjuangkan hak-hak kaum tertindas dan mengangkat derajat wanita layaknya manusia merdeka dan mempunyai kebebasan. Di sinilah Islam tumbuh dan berkembang, tidak hanya menghapus berhala sebagai sesembahan, akan tetapi menjunjung nilai kemanusiaan. Dalam bahasa yang sederhana, Islam menekankan taat ritual sekaligus saleh sosial.
Tiga Isu Sentral
Ada tiga permasalahan utama yang hendak dikaji dalam buku ini. Pertama, konsep Makkiyah-Madaniyah dan asbab al-nuzul dalam literatur Ulum Alquran, baik yang klasik maupun yang mutakhir. Pada bagian ini, Abad Badruzaman mengeksplorasi sejauh mana konsep Makkiyah-Madaniyah dan asbab al-nuzul dalam sejumlah literatur. Pengkajian pada bagian ini meliputi; definisi, objek kajian, ruang-lingkup, pendapat ulama, dan sub-sub lain seputar isu tersebut.
Kedua, revitalisasi atau pengembangan pemahaman tentang Makkiyah-Madaniyah dan asbab al-nuzul dalam konteks kekinian. Upaya ini dilandasi oleh pengetahuan yang didapat pada bagian pertama. Dan ketiga, implementasi pendekatan sosiologis-historis dalam tafsir. Secara praksis, pada bagian ini Abad mengintrodusir beberapa ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah, serta asbabun nuzulnya.
Pentingnya Ilmu Makkiyah dan Madaniyah
Bagi Abad Badruzaman, ilmu Makkiyah-Madaniyah merupakan salah satu cara terbaik mengetahui perjalanan dakwah Nabi Saw, perjalanan kedewasaan umat Islam dan perjalanan hukum Islam. Dua tipologi ayat yang kemudian dapat kita amati dalam ayat-ayat Alquran menggambarkan perjalanan-perjalanan itu. Jadi, dua tipologi itu tidak bisa diartikan begitu saja tanpa mengaitkannya dengan dua fase kesejarahan dalam rentang wahyu Alquran dalam membimbing, memantau dan menavigasi dakwah Nabi saw.
Lewat ilmu Makkiyah-Madaniyah, pembacaan dan pengkajian atas ayat-ayat atau surah Alquran dengan tinjauan sosiologis-historis – menurut Abad – bukan hanya mungkin, tetapi sebuah keharusan. Tidak mungkin mengetahui tafsir Alquran tanpa pengetahuan makki-madani cum kisah-kisah dan penjelasan-penjelasan lain menyangkut proses nuzul-nya.
Tanpa mengurangi keistimewaan buku ini, buku ini jelas masih memerlukan kajian-kajian lanjutan sebagai bagian pengembangan dari kajian makki-madani dan asbabun nuzul. Kajian lanjutan yang dimaksud tidak hanya mengulas topik tersebut, melainkan diperluas pemahaman dan horizonnya sesuai dengan tema-tema aktual dan konteks kekinian. Selain itu, kontekstualisasi beberapa surah dan ayat yang terdapat dalam buku ini harus diakui masih terbilang terbatas. Sehingga perlu pematangan dan pengayaan perspektif lebih lanjut, terutama dalam hal pendekatan sosiologis-historis dan analitis.
Daftar Buku
Judul Buku : Dialektika Langit dan Bumi: Mengkaji Historisitas Al-Quran melalui Studi Ayat-Ayat Makki-Madani dan Asbab al-Nuzul
Penulis : Dr. Abad Badruzaman
Penerbit : Mizan
Terbit : 2018
Tebal : 304 Halaman
ISBN : 978-602-441-080-3
Editor: Soleh