Review

Mengkritik dan Membela Musnad Imam Ahmad

6 Mins read

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), ahli hadis terkenal yang hidup di era Mamluk, menulis buku yang berjudul al-Qaul a-Musaddad fi al-Dzabbi ‘an Imam Ahmad. Buku ini disusun untuk membela kitab hadis terkenal berjudul Musnad yang disusun oleh Imam Ahmad (w. 241 H). Kitab yang disebut terakhir ini dikritik oleh Ibnu al-Jauziy (w. 597 H) dalam kitabnya yang berjudul al-Maudluat karena dianggap memuat sejumlah hadis maudu’ (palsu).

Karya Ibnu Hajar selain pembelaan terhadap Ibnul Jauzi juga dapat disebut sebagai jawaban untuk karya guru Ibnu Hajar sendiri, yaitu al-Hafiz Zainuddin al-Iraqi (w. 806 H), ahli hadis ulung yang men-takhrij (melacak asal usul dan meneliti kesahihan hadis) kitab Ihya Ulumiddin karya al-Ghazali (w. 505 H).

Al-Iraqi, guru Ibnu Hajar, bercerita bahwa latar belakang penulisan karyanya adalah peristiwa yang terjadi pada tahun 750 H di Kairo. Al-Iraqi ditanya oleh Syaikh Alauddin yang datang dari Alexandria Mesir. Syaikh Alauddin bertanya apakah dalam Musnad Ahmad ada hadis-hadis daif. Al-Iraqi menjawabnya ya, bahkan mengatakan banyak.  

Alauddin kemudian menceritakan fakta bahwa para pengikut fanatik Imam Ahmad menolak dengan keras bahwa di dalam Musnad Ahmad terdapat hadis-hadis palsu. Mereka mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa hadis-hadis palsu dalam kitab tersebut adalah tambahan yang tidak ditulis langsung oleh Imam Ahmad atau anaknya, Abdullah, tetapi oleh mukharrij lain yang menyempurnakannya, yaitu Abu Bakar al-Qathi’iy (w. 368 H), yang hidup satu abad lebih setelah Imam Ahmad.

Penelitian Lebih Jauh Al-Iraqi terhadap Musnad Ahmad

Laporan Syaikh Alauddin tentang sikap fanatik para pengikut Ahmad tersebut mendorong al-Iraqi untuk membuat penelitian lebih jauh tentang penilaian yang dilakukan oleh sebagian ulama, terutama Ibnu al-Jauzi, tentang kepalsuan beberapa hadis dalam Musnad Ahmad. Ia merasa bahwa ia memiliki tanggungjawab untuk menulis tentang topik ini. Maka lahirlah karya tulis singkatnya yang tidak diberi judul yang kemudian dimuat oleh muridnya Ibnu Hajar dalam al-Qaul al-Musaddad.

Al-Iraqi mengklaim bahwa dalam menyusun karyanya, ia membuang jauh-jauh sikap fanatik yang merupakan ciri masyarakat jahiliyah. Artinya, ia meneliti hadis dengan mengedepankan standar obyektif metode kritik hadis.

Al-Iraqi menemukan bahwa ada sembilan hadis Musnad Ahmad yang dihukumi palsu oleh Ibnu al-Jauzi.  Dari sembilan hadis itu, ada sejumlah hadis yang memang benar-benar maudu’, tetapi sebagian besar dari hadis-hadis tersebut tidak sampai pada derajat itu. Dalam banyak kasus, Ibnul Jauzi menurutnya terlalu jauh membawa pernyataan para ulama kritikus hadis terdahulu tentang kelemahan seorang perawi menjadi maudu’.

Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa posisi al-Iraqi terhadap Ibnul Jauzi adalah mendukung dan mengkritik sekaligus. Ia mengakui bahwa ada banyak hadis daif dalam Musnad Ahmad dan ada sejumlah kecil hadis maudu’, tetapi jumlahnya berbeda dengan yang diklaim oleh Ibnul Jauzi.

Baca Juga  Thomas W. Arnold: Orientalis yang Adil Ketika Menilai Islam

Hadis maudu’ pertama yang dikutip oleh al-Iraqi dari kitab al-Maudu’at karya Ibnul Jauzi adalah riwayat berikut ini:

“Saudara laki-laki Ummu Salamah, istri Rasulullah, baru mempunyai anak laki-laki. Keluarganya menamainya “al-Walid”. Nabi kemudian bersabda: kenapa kalian menamakan bayi itu dengan nama Firaunnya umat ini? Akan ada di tengah umatku, orang yang dinamai al-Walid. (Kelakuannya) kepada umat ku lebih buruk daripada kelakuan Firaun (di zaman Nabi Musa) kepada umatnya”.

Menurut Ibnul Jauzi hadis ini maudu’ karena ada perawi yang bernama Ismail ibn Ayyash. Mengomentari hal ini, al-Iraqi mengatakan bahwa Ibnul Jauzi sebenarnya adalah orang yang pertama yang menghukumi hadis ini dengan maudu’. Sebelumnya, hadis ini hanya dihukumi daif oleh Abu Hatim.

Dari sini lah Ibnu Hajar kemudian mengambil peran. Tanpa mengesampingkan fakta bahwa al-Iraqi adalah gurunya yang sangat ia hormati, ia memiliki perbedaaan pendapat dengannya tentang vonis maudu’ hadis-hadis dalam Musnad Ahmad.

Kritik Ibnu Hajar kepada Al-Iraqi dan Ibnul Jauzi

Ibnu Hajar membagi kritiknya kepada al-Iraqi dan Ibnul Jauzi ke dalam dua kategori, yaitu general dan spesifik. Kritiknya yang bersifat general adalah sebagai berikut:

Tidak ada satu pun hadis-hadis yang dipermasalahkan kesahihannya dalam Musnad Ahmad terkait dengan hukum halal dan haram. Sembilan hadis yang disebut oleh al-Iraqi adalah terkait dengan persoalan etika (fadail) dan ramalan masa depan. Sementara itu, melonggarkan kriteria hadis di luar persoalan hukum dan tidak menjelaskan status kontroversialnya merupakan satu hal yang umum di kalangan ahli hadis. Ini dilakukan bukan hanya oleh Imam Ahmad.  

Kritik Ibnu Hajar yang bersifat spesifik cukup panjang dan tidak memungkinkan untuk diuraikan satu persatu dalam tulisan ini. Secara umum kritik Ibnu Hajar terhadap al-Iraqi dan Ibnul Jauzi dapat dirangkum sebagai berikut:

Pertama, seorang peneliti perlu memerinci tingkat kedaifan (kelemahan) seorang perawi. Perawi tidak mutlak atau tidak selamanya menjadi daif. Ada kalanya laporannya ditolak, tapi ada kalanya laporannya reliable. Dalam hal ini, al-Iraqi dan Ibnul Jauzi menurut Ibnu Hajar kurang berhati-hati.

Ismail bin Ayyash, seorang perawi yang disebut lemah dalam hadis pertama misalnya, adalah sosok yang perlu dilihat secara detail. Menurut banyak kritikus hadis, ia lemah jika meriwayatkan hadis dari perawi di luar Syam, namun kuat jika hadisnya ia terima dari penduduk Syam. Ada juga yang melihat faktor usia. Hadis Ismail ibn Ayyash diterima dan kuat jika ia meriwayatkannya saat ia masih muda, tapi lemah saaat ia sudah tua.

Baca Juga  Memahami Tiga Garis Besar dalam Seni Merayu Tuhan
***

Kedua, sebelum mengklaim satu hadis lemah, seorang peneliti perlu menemukan syawahid (koroborator) yang mendukung kekuatan hadis. Jika satu jalur lemah, bisa jadi ada jalur lain yang menguatkannya. Dalam hadis pertama, katakanlah Ismail ibn Ayyash adalah perawi yang lemah, tetapi jalurnya tidak berdiri sendiri. Ada jalur lain atau perawi lain yang menguatkannya. Ibnu Hajar menemukan koroborator Ibn Ayyash dalam kitab al-Mustadrak karya Imam al-Hakim dan Dalail an-Nubuwwah karya al-Baihaqi.

Berangkat dari dua hal ini, Ibnu Hajar seolah ingin mengingatkan bahwa seorang peneliti tidak boleh memvonis sebuah hadis palsu sebelum melakukan penelitian yang utuh dan mendalam. Istiqra (induksi) dengan mengumpulkan riwayat lain yang satu teman adalah suatu prosedur lazim yang harus ditempuh dalam pengkajian hadis. 

Selain membela sembilan hadis yang telah disebut oleh al-Iraqi, Ibnu Hajar juga menambahkan 15 hadis lain yang dihukumi maudu’ oleh Ibnul Jauzi. Singkatnya, Ibnu Hajar berkesimpulan bahwa kitab Musnad tidak memuat satupun hadis dengan derajat maudu’.

Al-Suyuthi (w. 911 H) ahli hadis pasca Ibnu Hajar juga menambahkan 38 hadis untuk mengkritik Ibnu al-Jauziy dalam kitabnya yang berjudul al-Nukat al-Badi’at ‘ala al-Maudluat. Sibghatullah al-Mudarisi (w. 1280), seorang ahli hadis dari India, menambahkan 22 hadis lain untuk Ibnu Hajar.

Celah Penelitian

Dialektika atau kritik mengkritik di antara para ulama hadis adalah tradisi yang sangat mengakar dalam sejarah intelektual Islam. Tradisi ini sudah ada sejak periode klasik dan masih terus berlanjut sama abad modern. Di zaman modern misalnya kita mengetahui debat antara pengikut Nashiruddin al-Albani dan Hasan al-Saqqaf.

Hemat penulis, topik ini masih menjadi gap (ruang kosong) untuk penelitian. Belum banyak yang melihat dialektika metodologis antara para kritikus hadis ini.

Selain itu, sisi lain yang masih juga menarik untuk didiskusikan adalah sejauh manakah Ibnu Hajar dan ulama-ulama lainnya dalam mengotentikasi hadis-hadis dalam Musnad Ahmad juga menggunakan kriteria kritik matan. Artinya, bagaimana pendekatan interdisipliner digunakan oleh para ulama hadis terdahulu.

Misalnya, raksasa hadis ini dengan analisis sanad (kritik eksternal hadis) an sich menerima riwayat tentang “al-Walid” sebagai Firaun pada umat Nabi Muhammad. Pertanyaan kritis yang muncul terkait hadis ini adalah, mungkinkah hadis ini difabrikasi oleh kelompok-kelompok oposisi Dinasti Umawiyah, mengingat al-Walid adalah khalifah yang memimpin secara otoriter dan dikenal dengan akhlak yang buruk? Jika katakanlah Nabi Muhammad memiliki prophecy atau ilmu ghaib tentang masa depan, mengapa secara spesifik nama al-Walid yang disebut? Bukankah ada nama-nama pemimpin diktator dan Firaunik lainnya selain nama al-Walid?

Baca Juga  Messiah: Penyelamat yang Dikira Dajjal di Era Kekacauan Informasi

Pertanyaan lainnya adalah bagaimana hadis ini konsisten dengan hadis lain yang menyebut bahwa Firaun umat ini adalah Abu Jahal? Apakah keduanya sahih?

Contoh lain terkait kritik matan adalah pembelaan Ibnu Hajar terhadap hadis kelima. Hadis ini menyebut bahwa seorang muslim yang hidup sampai umur 40 tahun akan terbebas dari kegilaan dan penyakit kusta. Jika ia mencapai 50 tahun, Allah akan memudahkan hisabnya, dan seterusnya, sampai ia berumur 90 tahun.

Pertanyaan yang muncul tentang hadis ini adalah apakah matan hadis ini konsisten dengan prinsip ilmu kedokteran? Juga, apakah konsisten dengan hadis-hadis lain tentang makna usia manusia?

Kontinuitas Ilmu

Fakta dialektika para ulama di atas menunjukkan kepada kita beberapa hal.

Pertama, ilmu hadis sebagai disiplin telah membangun budaya kontinuitas dialog antara para ulama dari periode ke periode.

Coba perhatikan fakta berikut ini. Kitab Musnad disusun oleh Imam Ahmad pada abad ke-3. Kemudian ditambahkan riwayatnya oleh al-Qati’i pada abad ke-4. Kitab ini kemudian dikritik sanadnya oleh Ibnul Jauzi dari abad ke-6.

Selanjutnya, ia dibela secara metodologis oleh Ibnu Taimiyyah pada abad ke-8. Dibela dan dikritik pula oleh al-Iraqi pada abad ke-9. Kemudian dibela lagi oleh Ibnu Hajar dari abad ke-9. Karya Ibnu Hajar ini selanjutnya diriwayatkan oleh al-Sakhawi (murid Ibnu Hajar) pada abad ke-10. Kemudian disempurnakan oleh al-Suyuthi dari abad ke-10 dan oleh al-Mudarisi pada ke 12 Hijriyah dari India.   

Kedua, karya ilmiah adalah suatu yang living (senantiasa hidup) dalam memori ulama hadis. Tidak ada istilah outdated atau topik yang usang. Walaupun terpisah ratusan tahun, para ulama hadis masih mengapresiasi karya yang ditulis jauh sebelum periode mereka. Ini juga menunjukkan bahwa mereka tidak memandang sejarah atau tradisi masa lalu sebagai suatu periode yang statis dan kelam. Bagi mereka masa lalu, terutama yang terkait dengan Nabi Muhammad, selalu bersifat etis.

Ketiga, ilmu hadis juga membangun budaya kritik yang konstruktif. Seorang murid juga bisa mengkritik guru. Artinya, dalam disiplin ini kritik bukan merupakan suatu yang tabu. Kritik bisa menyempurnakan bangunan keilmuan. Kritik mendorong lahirnya metodologi yang lebih utuh dan kokoh.

Adalah tugas kita semua melanjutkan kerja keras para ulama terdahulu membangun tradisi berfikir metodologis dalam bidang ilmu hadis. Wallahu a’lam bis shawab.

Editor: Yahya FR

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds