Sebelum membahas hadis misogini yang memuat diskriminasi gender, kita perlu memahami terlebih dahulu tentang kesetaraan. Narasi tentang kesetaraan hingga saat ini masih menarik untuk dibicarakan. Terutama tentang kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Menggemanya suara tentang kesetaraan gender tentunya dilatar belakangi oleh realitas kehidupan yang menciptakan gap antara peran perempuan dan laki-laki. Gap tersebut memiliki banyak faktor, baik itu sosial, budaya, agama maupun politik.
Adapun gap tersebut membuat perempuan tersubordinasi atau bahkan tertindas. Adanya ketimpangan gender itu, mengilhami pemikir perempuan membuat gagasan-gagasan tentang kesetaraan gender, dan membuat gerakan secara progresif untuk menciptakan tatanan sosial yang ideal, egaliter, dan demokratis. Berbicara mengenai pemikir perempuan, salah satu tokoh yang menarik perhatian penulis adalah Fatima Mernisi. Ia banyak mengulas tentang hadis yang memuat diskriminasi gender.
Fatima Mernisi
Fatima Mernisi adalah tokoh feminisme Islam yang sangat progresif dalam menyuarakan hak-hak perempuan. Fatima Mernisi lahir di Maroko pada tahun 1940. Ia merupakan alumnus dari pendidikan khusus permpuan yang dimiliki pemerintah Prancis pada tahun 1957, kemudian ia mempelajari ilmu politik di Sorbonne dan menuntaskan program doktornya di Brandeis University.
Pandangan feminis Mernisi lahir dari kegelisahannya, karena pada tiga fase perkembangan hidupnya yakni kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Transformasi pendidikan disekitarnya cenderung tekstual dan diskriminatif terhadap perempuan. Beriringan dengan fase tersebut, awalnya mernisi emosional dalam kegelisahannya. Seiring meningkatnya pendidikan, mindset Fatima Mernisi kemudian berkembang menjadi pendekatan akademis dan ilmiah.
Analisis Epistimologis Mernisi tentang Penyebab Ketidakadilan Gender
Dalam karya tulis Daisy Hilse Dwyer yang berjudul “Women, Sufism, and Decision Making in Moroccan Islam in Women in the Muslim World,” ada tiga persoalan yang menyebabkan ketidakadilan gender, sehingga perempuan tertindas. Pertama, perempuan menjadi penanggung jawab utama dengan tegaknya Islam di rumah atau bisa disebut dengan domestifikasi peran perempuan. Hal itu memuarakan pendidikan perempuan sebatas bekal untuk pembinaan keluarga.
Kedua, dominasi laki-laki terhadap penafsiran teks-teks keagamaan yang mengakibatkan teks keagamaan tersebut menjadi diskriminatif terhadap perempuan. Pandangan Mernisi terhadap tafsir kitab suci al-Qur’an maupun Hadis yang etnosentris melahirkan dogma yang melegitimasi kesuperioran laki-laki terhadap perempuan. Adanya hal tersebut mengakibatkan ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki.
Ketiga, legitimasi teologi yang diciptakan laki-laki, sehingga laki-laki mempunyai ruang yang lebih besar untuk memegang otoritasnya. Karenanya, perempuan lebih terpinggirkan terutama dalam hal otoritas politik. Pandangan Marnisi mengacu fenomena politik yang ada di Maroko pada tahun 1977, saat pemilihan wakil rakyat Maroko. Pada saat itu delapan calon perempuan tidak memperoleh suara yang signifikan dari 6,5 juta pemilih. Kuatnya pandangan teologi patrialkal menyebabkan keengganan memilih perempuan di pentas politik.
Pandangan Kritis Mernisi terhadap Hadis Misogini
Banyak sekali hadis yang cenderung memarginalkan perempuan yang merangsang Fatimah Mernisi meninjau ulang hadis tersebut dengan kritis. Dapat dijumpai juga hadis-hadis yang cenderung menempatkan perempuan sebagai sumber utama yang menyebabkan dosa. Tentu hal tersebut mendapat bantahan yang keras dari Fatimah Mernisi.
Dalam Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry (1991) Fatima Mernisi menulis bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa, “Seorang perempuan masuk neraka karena ia membiarkan kucing betina kecil kehausan.” Lantas, adanya hal tersebut membuat Aisyah gusar dan mengkritiknya. Aisyah mengatakan “Lain kali kalau menyampaikan hadis lebih hati-hati.”
Tidak mengherankan Abu Hurairah, membela seekor kucing karena dilatar belakangi kepribadiannya yang suka sekali terhadap kucing. Di sisi lain Aisyah juga membela diri dikarenakan ia tidak menerima karena ada narasi perempuan yang dijadikan objek membiarkan kucing kehausan. Aisyah juga tidak senang dengan hadis lain yang mengatakan bahwa salat seseorang tidak sah karena melihat perempuan, keledai, dan anjing hitam lewat.
Hadis dengan Diskriminasi Terhadap Perempuan
Mernisi juga menulis dalam karya akademisnya yang berjudul The Forgotten Queen Of Islam yang menerangkan kekuasaan perempuan dalam memimpin. Mernisi dalam buku tersebut menyatakan bahwa data historis menunjukan masyarakat yang menunjuk perempuan sebagai pemimpin, ternyata mengalami kesejahteraan. Pernyataan itu tentunya bertolak belakang dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah menyatakan bahwa sebuah masyarakat yang menyerahkan kepemimpinananya kepada perempuan niscaya akan mengalami kehancuran.
Hadis yang diriwayatkan Abu Bakrah menurut Mernesi perlu dikaji kembali. Karena sosok Abu Bakrah adalah sosok orang yang mengutamakan kepentingan politis dalam meriwayatkan hadis. Apalagi hadis tersebut hanya bersumber dari Abu Bakrah atau bisa disebut dengan Hadis Ahad. Dengan demikian hadis tersebut tidak dapat dijadikan rujukan atau hujjah keagamaan.
Dengan adanya pandangan analisis tersebut, Pakar hadis ternama di Amerika, Jonathan Brown, dalam Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (2009) mengatakan bahwa Mernesi menggunakan Psikoanalisis Historis dalam membaca data yang dikumpulkan dari sumber kritik riwayat Hadis.
Mernesi berusaha membangun wawasan teologi praksis, kontekstual dan melihat fakta empiris, dalam menafsirkan hadis-hadis. Sehingga teks-teks yang dimuat tidak dipahami secara diskriminatif. Dengan hal itu Mernisi menegaskan bahwa hadis-hadis misogini adalah hadis-hadis ahistoris (bertentangan dengan data empiris). Yang tidak bisa dijadikan rujukan.
Dengan hal itulah Fatimah Mernisi berpendapat, “Jika hak-hak perempuan merupakan masalah bagi sebagian kaum laki-laki modern. Hal itu bukan karena Al-Quran atupun Nabi, bukan pula karena tradisi Islam melainkan karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum elite laki-laki.”
Demikian ulasan tentang Fatima Mernisi dan pandangan kritisnya terhadap hadis-hadis dengan diskriminasi gender, yang kerap mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan.
Editor: Nabhan