Mengucapkan salam, selamat (greeting, atau tahiyyah), merupakan salah satu karakteristik hidup bermasyarakat di semua negeri dari dulu hingga sekarang. Namun, bagi banyak komunitas Muslim pengikut Nabi Muhammad, masih belum selesai boleh tidaknya mengucapkan selamat kepada mereka yang dianggap non-Muslim, apakah ahlul kitab, kafir, atau musyrik.
Ketika banyak umat beragama dan non-agama menganggap ucapan selamat sebagai masalah etika, atau bahkan etiket sopan santun, banyak ulama dan komunitas Muslim berkeyakinan ucapan selamat adalah masalah keyakinan dan ritual agama (“aqidah” dan “ibadah”), bukan sekedar etika hubungan sosial atau mu’amalah.
Fatwa MUI Jawa Timur
Fenomena terakhir, taushiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur terkait dengan Fenomena Pengucapan Salam Lintas Agama dalam Sambutan-sambutan di Acara Resmi, ditandatangani KH Abdusshomad Buchori dan H. Ainul Yaqin, S.Si, M.Si. Apt. tanggal 8 November 2019.
Di dalam himbauan itu, MUI ingin menjaga kerukunan hidup antar umat beragama, tanpa “merusak kemurnian ajaran agama”. Menurut mereka, pengucapan salam pembuka bukan sekedar basa basi tapi do’a, dan do’a merupakan aqidah dan ibadah yang bersifat eksklusif bagi pemeluknya. Prinsip toleransi bukan menggabungkan, menyeragamkan, atau menyamakan yang berbeda.
Himbauan ini mengutip ayat-ayat Al-Qur’an tentang tidak adanya paksaan dalam agama (Al-Baqarah:256); “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (Al-Kafirun:6); interaksi dan berbuat baik dalam mu’amalah (Al-Mumtahanah:8); dan berlaku adil kepada siapapun (Al-Ma’idah:8).
Poin selanjutnya, ucapan Assalamu’alaikum merupakan do’a kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa. Salam dalam agama Budha, “Namo Buddaya”, Terpujilah Sang Buddha, terkait erat dengan keyakinan mereka tentang Sidarta Gautama. Om Swastiastu, dalam agama Hindu, ditujukan kepada Sang Yang Widhi (“Semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan keberkahan”). MUI berfatwa, mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid’ah, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari. Oleh karena itu, umat Islam cukup mengucapkan kalimat “Assalamu’alaikum Wr. Wb.”
Tulisan singkat berikut ini tidak untuk mengatakan bahwa fatwa MUI di atas adalah pasti salah dan karena itu ditolak siapapun, tapi untuk menawarkan pemahaman alternatif, karena ternyata ada cukup banyak pendapat dan fatwa di kalangan ulama dan masyarakat Muslim sendiri, dan kita bisa cari pandangan yang lebih kuat secara dalil dan argumen.
Makna Ucapan Salam: Ibadah, atau Etika?
Mengucapkan salam memiliki makna yang berbeda bukan hanya bagi umat yang berbeda agama, tapi juga bagi umat yang seagama. Tidak ada satu makna ketika seseorang Muslim mengucapkan selamat baik kepada sesama muslim yang lain, dan dalam banyak kasus kepada non-Muslim juga. Masalah aqidah, ibadah, atau mu’amalah, seringkali tidak bisa dipisahkan bagi banyak orang.
Bagi banyak Muslim, setiap ucapan dan perilaku adalah ibadah. Tapi bagi Muslim yang lain, mengucapkan selamat lebih masuk kategori etika, akhlak, adab, atau bahkan etiket sopan santun yang bersifat situasional, tergantung tempat, waktu, dan di kalangan siapa. Adab atau etiket ini bagi mereka bisa menjadi bagian dari ibadah jika niat baik dan maslahat kebaikan, dan bisa jadi mengurangi nilai ibadah jika niat buruk (seperti riya ingin dilihat dan dipuji orang) dan mudharat yang didapat.
Makna sebuah ucapan pun berbeda antara yang mengucapkan dan yang menerima ucapan. Misalnya, assalamu’alaikum kepada seorang presiden atau pejabat, dan assalamu’alaikum kepada teman atau tetangga biasa, bisa punya makna dan dampak yang berbeda.
Niat dan maksud sang pengucap pun bisa berbeda dengan maksud pembalas ucapan meskipun lafaznya sama. Seorang Nasrani dalam suatu majlis ketika ada seorang Muslim mengucapkan Assalamu’alaikum Warahmatulahi wabarakatuh, bisa saja merasa risih dan bingung bagaimana menjawabnya.
Seorang Muslim yang mengucapkan Selamat Natal kepada kawan Kristiani biasanya dijawab dengan Terima Kasih, Semoga Damai di Bumi, dan jawaban lain yang diharapkan tidak membuat jangkal sang Muslim dalam menanggapi.
Salam Belum Tentu Ibadah dan Akidah
Tidak semua ucapan selamat hari raya diyakini seorang Muslim sebagai aqidah atau ibadah, bahwa ia berarti pasti menerima dan mengakui keyakinan Kristen tentang Yesus Anak Tuhan. Ia mengucapkan Selamat Natal dengan tulus untuk ikut merasakan kebahagiaan lahirnya Yesus bagi umat Kristiani, tanpa harus meyakini Yesus adalah anak Tuhan (keyakinan mana banyak Kristiani pun berbeda pendapat tentang arti dan perwujudannya).
Dan khusus tentang Yesus Kristus ini, Muslims pun memiliki kesamaan-kesamaan keyakinan dan penghormatan agung terhadapnya yang di-Arabkan menjadi Isa Al-Masih, dan keluarbiasaan kelahiran, kematian, dan kebangkitan kembali Yesus, dan keluarbiasaan Maryam dan ruh qudus, yang diakui Al-Quran (Maryam: 15 dan 33).
Pertanyaan boleh atau tidak (lebih khusus lagi: wajib, mandub/sunnah, mubah, makruh, atau haram) seorang Muslim mengucapkan Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Sejahtera, atau Selamat Natal kepada para penganut agama lain, memang kompleks dan memiliki banyak dimensi, tekstual, dan kontekstual, keagamaan dan bukan keagamaan.
Begitu kompleks juga pertanyaan, bolehkah seorang Muslim menjawab ucapan selamat hari raya Waisyak Umat Buddha atau Natal umat Kristiani. Pertanyaan boleh tidak seringkali lebih bersifat fiqih yang bersifat lahiriyah, meskipun perkaranya diyakini sebagai masalah aqidah bagi sebagian Muslim.
Ada dimensi-dimensi lain: spiritual, moral, kultural, sosial, politik, bahkan ekonomi bagi sebagian lainnya. Misalnya, banyak kalangan yang menganggap ucapan dan perayaan natal adalah lebih bersifat kultural yang dirayakan bukan hanya Kristian yang taat, tapi juga semua Kristen, banyak orang Yahudi, juga Muslim, Hindu, Buddhist, dan bahkan ateis di negeri-negeri Barat.
Jika demikian maka soal aqidah versus mu’amalah menjadi samar dan tidak jelas batas-batasnya. Itulah salah satu sebab mengapa ucapan selamat Natal dan ucapan selamat di acara-acara dimana masyarakatnya sangat majemuk dan sudah terbiasa, tidak menjadi sekontroversial di kalangan sebagian Muslim yang hidup sebagai minoritas dan ataupun sebagai mayoritas. Bersambung!