Perspektif

Mengunggah Foto Jenazah di Media Sosial: Patutkah?

4 Mins read

Sebuah foto jenazah pasien Covid-19 yang diunggah oleh fotografer National Geographic, Joshua Irwandi melalui instagram pribadinya, menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Pasalnya Anji, mantan vokalis Drive, mengomentari unggahan foto tersebut yang menurut sudut pandangnya memiliki banyak kejanggalan. Banyak netizen mengecam komentar suami Wina Natalia ini, karena dianggap merendahkan profesi dan kinerja fotografer Indonesia dan tenaga medis.

Walaupun demikian, pelantun “Bidadari Tak Bersayap” ini telah memberikan klarifikasi lewat akun twitter. “Tipiskan Ketakutan, Selalu Jaga Kesehatan”, itulah pesannya untuk kita semua.

Saya termasuk mendukung komentar dari Anji, tapi tidak 100%. Kalau pemilik akun @duniamanji ini berkomentar masalah unggahan tersebut, polanya mirip dengan influencer atau buzzer. Kalau saya pribadi, lebih ke arah patutkah foto seorang jenazah yang diabadikan dan diunggah ke media sosial, terlebih masih dalam ruang lingkup rumah sakit.

Seperti yang diketahui, foto yang diunggah Joshua Irwandi tersebut merupakan foto jenazah pasien akibat Covid-19 yang sudah terbujur kaku di ruang perawatan. Sudah dibungkus oleh plastik. Ini sesuai dengan prosedur tetap (Protap) Protokol Kesehatan Covid-19 dengan alasan keamanan.

Mengunggah Foto Jenazah Bertentangan dengan UU

Menurut saya, hal diatas bertentangan dengan UU No. 44 Tahun 2014 tentang Rumah Sakit. Pasal 32 huruf i menyebutkan “Setiap Pasien mempunyai hak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya”. Unggahan tersebut menyebutkan, bahwa jenazah itu adalah pasien penderita Covid-19. Walau tidak menyebutkan identitas dan wajah pasien, namun tentang kerahasiaan penyakit ini juga hak pasien untuk tidak dipublikasikan.

Selain itu, ada nilai-nilai kemanusiaan yang tidak boleh dilanggar dalam masyarakat, salah satunya, yaitu mempertontonkan kondisi jenazah di media sosial. Sekalipun tujuannya baik mengenalkan “Ini lho bahayanya Covid-19”. Walaupun sudah dibungkus kain kafan. Akan tetapi, rasanya kurang tepat untuk dipublikasikan di masyarakat, apalagi disebarluaskan di media sosial.

Baca Juga  "Insya Allah" yang Meragukan

Pengambilan gambarnya pun dilakukan di ruangan perawatan rumah sakit. Ruang perawatan, ICU, ruang operasi, dan ruangan yang menyangkut tindakan medis adalah ruangan yang bersifat privat. Sangat steril dari orang lain selain pasien, keluarga pasien, dan tenaga medis yang bertugas.

Menurut Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dalam seminar “Etika Pengambilan Foto/Video di Lingkungan RS” pada tanggal 15 Februari 2018. Pengambilan gambar pasien di Rumah Sakit harus memperhatikan privasi pasien, keluarga pasien, dan tenaga medis.

Hal ini menyangkut masalah perizinan dari pihak yang akan diambil gambarnya. “Dalam konteks pengambilan gambar untuk kebutuhan penelitian dan pembelajaran, ahli etika dan hukum RS menyebut hal tersebut bukan merupakan pelanggaran privasi sepanjang risikonya minimal.” Hal tersebut tertuang pada CIOMS 2016 Pedoman 10.

Jika digunakan untuk penelitian, jelas ini menyangkut tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bisa berupa pengembangan penyakit, pengembangan obat, maupun teknologi perawatan medis. Kalau untuk pembelajaran, maka hal ini digunakan untuk keperluan akademik di kelas. Tentu saja diperbolehkan dengan catatan harus berizin dengan pihak terkait.

Pada gambar yang diunggah fotografer Joshua, tidak ada penjelasan secara spesifik apakah sudah mendapatkan izin dari pihak Rumah Sakit, pasien, dan keluarga pasien, atau belum? Jelas ini menimbulkan pertanyaan besar.

Seorang Fotografer Profesional

Melihat biografinya, Joshua Irwandi adalah fotografer profesional. Sudah berpengalaman dan malang melintang di dunia fotografi. Mulai dari proses perizinan sampai hasil akhirnya. Akan tetapi, jika menyangkut masalah kondisi jenazah pasien di rumah sakit, kemudian diunggah ke media sosial, pasti akan menimbulkan pro-kontra. Terlebih dalam caption unggahan tersebut tidak ada kejelasan terkait perizinan.

Saya berdebat masalah ini dengan teman via twitter dan instagram. Fokus pokoknya adalah “Etika Mengunggah Foto Jenazah di Media Sosial”. Teman saya berpendapat bahwa ini dilakukan demi edukasi bagi masyarakat secara luas. Terlebih topik utamanya adalah mengenalkan bahaya Covid-19. Secara etika dan aturan memang dibenarkan untuk mempublikasikan kondisi pasien maupun jenazah yang sudah terbujur kaku. Asalkan ada penjelasan terkait perizinan yang ketat mengenai kegunaan foto tersebut diambil. Salah satunya untuk edukasi ke masyarakat.

Baca Juga  Ibadah Ritual dalam Ruang Virtual

Akan tetapi, di era keterbukaan informasi saat ini, alangkah baiknya untuk tidak mengedukasi masyarakat dengan cara mengunggah foto jenazah di media sosial. Hal ini bisa berakibat fatal, Manakala sebagian masyarakat ada yang tidak paham proses pengambilan gambar ini. Bahkaln lebih jauh, yakni mengikuti tindakan tersebut, mengunggah foto jenazah di kamar rumah sakit di media sosialnya

Tidak hanya pada jenazah, pada pasien yang masih bernyawa pun tidak boleh diambil gambarnya di dalam ruangan privat Rumah Sakit. Terkadang masih ada yang menengok teman atau kerabat di rumah sakit, kemudian berfoto dan dibuat instastory atau unggahan dengan caption “GWS ya!” atau “Cepat Sembuh Ya!”. Selain itu, keluarga pasien dan tenaga medis yang sedang bertugas pun tidak boleh didokumentasikan seenaknya.Untuk itu, seluruh rumah sakit terdapat tanda “Dilarang Mengambil Gambar atau Video di Rumah Sakit”. Hal ini demi menjaga kerahasiaan kondisi pasien tersebut.

Banyak Cara untuk Edukasi

Saya pun mengerti betapa sulitnya para akademisi, tenaga medis, maupun virolog menjelaskan tentang bahaya Covid-19 ini. Inilah tantangan yang harus dihadapi bagi tenaga medis untuk kuat dalam menghadapi masyarakat majemuk. Ada yang paham, kurang paham, bahkan tidak paham sama sekali.

Dalam agama pun disebutkan untuk tidak menyebarkan sifat-sifat lemah dari saudaranya sendiri. Entah dalam keadaan sakit maupun meninggal dunia. Saat hidup dan sehat biasanya berpakaian bagus, segar, dan terlihat ceria. Saat sakit tampak lusuh, lemah, dan terlihat pucat. Jangan sampai sifat kelemahan saudaranya saat sakit atau meninggal dunia diumbar melalui media sosial. Karena bisa jadi penyebaran foto maupun video saat sakit atau meninggal dunia, akan berdampak pada tersebarnya aib si pasien.

Baca Juga  Surat Terbuka untuk Walikota dan Wakil Walikota Cilegon, Banten

Foto atau video pasien yang disebar akan menambah kesedihan bagi keluarganya. Mungkin ada juga yang mendapatkan izin dari pihak terkait. Akan tetapi, manusia juga memiliki titik terlemah dalam hidupnya. Dengan tidak menyebar foto atau video pasien, berarti kita sudah turut dalam meminimalisir tersebarnya aib pasien, sekaligus menjaga perasaan dari keluarganya.

Saya kira masih ada cara lain untuk sekedar mengedukasi masyarakat tentang bahaya Covid-19, tanpa harus memperlihatkan kondisi jenazah di media sosial. Sekalipun wajahnya tertutup, identitasnya tidak dibocorkan, namanya manusia akan meninggalkan kelemahannya. Kita seakan berdosa mempertontonkan kelemahan makhluk Tuhan yang sudah terbujur kaku tak berdaya.

Jika terpaksa mengambil gambar, baiknya untuk keperluan pihak berwenang. Bisa untuk keperluan penelitian atau pendidikan kedokteran. Tak perlu diunggah di media sosial. Walaupun si fotografer sudah profesional, alangkah baiknya memberi keterangan bahwa foto tersebut sudah mendapatkan izin.

Tokh, dalam keterangan gambar disebutkan “Saya dedikasikan untuk tenaga medis yang tidak kenal pamrih memungkinkan kami untuk terus hidup.” Menunjukkan kelemahan orang untuk mendedikasikan orang lain? Rasanya kurang tepat. Mungkin bisa ganti dengan foto letihnya tenaga medis setelah menangani pasien. Menurut saya itu jauh lebih manusiawi.

Editor: Nirwansyah

Avatar
6 posts

About author
Karyawan Swasta, Esais dari Purwokerto
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds