Oleh: Ahmad Sholikin*
Peristiwa Pilkada dan Pilpres sering menjadi sebab-musabab pembelahan umat Islam. Tidak jarang, satu dengan yang lainnya berseberangan dalam hal pilihan politik. Hal ini menyebabkan sulit terjadi sebuah kohesi sosial di antara umat Islam itu sendiri. Perbedaan pilihan politik dan kepentingan sesama umat Islam di Indonesia tidak disertai jiwa toleransi yang tinggi. Sehingga mengakibatkan lemahnya kekuatan politik Islam. Sesama umat Islam saling curiga satu dengan yang lainnya terkait siapa yang ekstrem dan radikal. Hal ini bisa menjadi pemicu terjadinya perpecahan umat Islam itu sendiri.
Realitas umat Islam di Indonesia dihadapkan pada berbagai ketertinggalan persoalan keumatan dan kebangsaan. Seperti persoalan ekonomi, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik dan budaya. Hal penting yang perlu dicatat untuk mengejar ketertinggalan itu adalah perlunya energi kolektif yang kuat di antara umat Islam. Hal ini tidak akan tercapai jika ormas dan kelompok umat Islam masih lemah dan berjuang dengan cara sendiri-sendiri. Apalagi yang terjadi ketika berkaitan dengan politik elektoral adalah saling sikut dan saling tending. Maka, harapan energi kolektif itu hanya tinggal dalam angan belaka.
***
Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, kita dikejutkan dengan laporan terbaru dari PUSAKA Foundation Padang yang menyebutkan bahwa ada kasus pelarangan atau penolakan rangkaian perayaan hari Natal 2019 terjadi di empat daerah di Sumatra Barat (Sumbar) tahun ini. Empat daerah tersebut adalah di Kota Bukittinggi, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Dharmasraya, dan Kabupaten Pesisir Selatan. Lebih lanjut hasil survei yang di lakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI terkait indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) menunjukkan bahwa indeks KUB nasional berada pada angka 73,83, sedangkan untuk level daerah terdapat sejumlah provinsi yang berada di bawah rata-rata nasional. Dalam survei tersebut, terdapat beberapa faktor penentu indeks, yang berisi korelasi hubungan antara pendidikan, pendapatan, dan peran Kementerian Agama terhadap sikap rukun di Indonesia pada 2019.
Tetapi Indonesia masih perlu berbahagia, ketika ada sosok Ahmad Syafii Maarif yang selalu memberikan kritik-kritik pedas terhadap kelompok-kelompok “sumbu pendek” (meminjam istilah Buya Syafii) ini. Buya Syafii dalam jumpa pers Maarif Award 2020 di Kantor Maarif Institute, Jakarta, Rabu (18/12) menyebut bahwa hanya kelompok sumbu pendek yang melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru Masehi terhadap koleganya yang berbeda agama. Ucapan tersebut sah-sah saja ketika dilihat dari sisi agama, sebab tak akan merusak akidah seorang muslim yang telah benar-benar memahami ajaran agama Islam.
Islam: Agama, Egaliter, Inklusif, dan Non-Diskrimatif
Tulisan ini secara sengaja dibuat untuk mengurai pesan-pesan keislaman dan kebangsaan Ahmad Syafii Maarif. Karena hanya dengan mengetahui pandangan-pandangan Buya Syafii mengenai keislaman dan kebangsaan, kita bisa menggali narasi besar yang beliau perjuangkan semasa hidupnya. Pemahamam Ahmad Syafii Maarif terkait Islam akan mewarnai spektrum pemikirannya terkait persoalan berbagai tema yang ditekuninya. Singkatnya, pemahamannya tentang Islam mewarnai pemikirannya tentang tema lainnya.
Bagi Ahmad Syafii Maarif, Islam ketika dipahami sebagai agama, secara tegas memberikan tuntunan prinsip-prinsip keseimbangan kepada semua manusia. Tujuan yang hendak dicapai oleh agama Islam adalah tegaknya prinsip-prinsip persamaan, keadilan, persaudaraan, dan toleransi. Pandangan ini didasarkan pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an; Al-Baqarah ayat 256; Al-Hujurât ayat 10, 13, dan 15; An-Nisâ’ ayat 58; An-Nahl ayat 90; Al-Maidah ayat 8; Al-Zumar ayat 18.
Nilai-nilai yang ada pada ayat-ayat di atas, menurut Buya Syafii, telah sirna dari kehidupan umat Islam saat ini. Hingga Islam saat ini dilihat orang tampil dengan wajah menakutkan, jauh dari wajah anggun. Hal ini disebabkan karena dasar etik pemahaman muslim saat ini bukan sepenuhnya berpedoman pada etik Al-Qur’an, tetapi lebih berpedoman kepada etik golongan, suku, bangsa, dan kelompok kepentingan. Hal ini ketika dibiarkan akan membuat pemeluk agama Islam mengalami kemunduran, di saat para pemimpinnya secara sadar membunuh nalar kreativitasnya dalam menanggapi pelbagai tantangan yang menghadangnya.
Prinsip-prinsip Islam yang terbuka dan dinamis yang didasarkan pada etik Al-Qur’an nampak sekali pada perjalanan sejarah Islam di Indonesia. Islam sebagai pendatang baru telah menggeser peran dua agama besar sebelumnya (Budha dan Hindu). Gelombang besar Islamisasi terjadi pada masa Portugis, sebagian besar bangsawan masuk Islam sebagai upaya mereka melawan Kristenisasi zaman Portugis. Buya Syafii menyatakan, “Dalam perkembangan sejarah kemudian, cara-cara pembagian sembako ini tidak pernah efektif, karena pada umumnya iman yang dibeli dengan benda adalah sebuah iman yang berkualitas rendah.” Singkatnya dalam pandangan Syafii Maarif. Menurutnya, Islam adalah agama yang toleran, inklusif, egaliter dan non deskriminatif ketika dipahami berdasarkan etik Al-Qur’an. Tetapi ketika tidak, maka akan menjadikan wajah Islam menjadi brutal, anarkis, dan beku.
Islam Dalam Konteks Kemanusiaan dan Keindonesiaan
Dalam bukunya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah (2015), Buya Syafii mengemukakan empat hal yang menjadi kegalauannya. Pertama, adanya kesenjangan antara ajaran dan praktek kehidupan. Yaitu tiadanya korelasi antara praktik agama dan perbaikan moral. Di satu sisi, orang rajin beribadah, di sisi yang lain, korupsi semakin menggurita dan kekerasan menghancurkan bangsa ini. Kedua, ia tidak rela bila bangsa ini tercabik-cabik oleh politik agama, kepentingan picik, lokal, dan primordialisme. Ketiga, fenomena kemiskinan dan kebodohan menimpa sebagian besar umat Muslim Indonesia. Dan keempat, munculnya penyakit yang sifatnya kultural dan mental.
Ahmad Syafii Maarif mencoba memberikan tawaran praktis terhadap berbagai keresahan yang ia rasakan tersebut. Kata kunci penting yang menjadi benang merah dari pemikirannya adalah soal keterhubungan antara Islam, kemanusiaan, dan keindonesiaan. Penerimaan atas keterkaitan antar ketiganya akan membuka jalan menuju kepada arah Islam yang harus dikembangkan di Indonesia.
Dalam merumuskan pola hubungan yang ideal antara ketiganya, Ahmad Syafii Maarif mengemukakan beberapa asumsi proposisionalnya; pertama, Islam Indonesia haruslah Islam yang damai. Karena demikianlah fakta sejarah awalnya Islam masuk ke Indonesia. Cara damai ini seharusnya mampu memberi corak Islam yang terbuka, meneduhkan, dan memberi kenyamanan kepada kelompok-kelompok agama-agama lain. Kedua, demokrasi tidak bisa dilepaskan dari adanya toleransi dan penerimaan pluralitas. Dalam konteks ini, hingga sekarang orang masih berdebat terkait Pancasila dan Islam. Dan kita semua tau bahwa Muhammadiyah dan NU telah menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Serta meninggalkan Piagam Jakarta dan menolak Khilafah Islamiyah.
Ketiga, para founding father bangsa ini sebagian besar adalah muslim, baik yang berjuang dalam ranah partai atau gerakan nasionalis, secara de facto menerima sistem politik demokrasi, meski demokrasi masih banyak kelemahannya. Keempat, masa depan agama terletak di dalam upaya ijtihad. Agama Islam harus menjadi agama pembebas yang memerangi kebodohan dan kemiskinan sebagian besar umatnya. Selain itu, aspek pendidikan harus diarahkan untuk membantu mengembangkan kemampuan penalaran anak didiknya agar mampu bertanggungjawab atas kata, keyakinan, dan tindakannya.
Catatan Akhir
Pemikiran keislaman dan kebangsaan Ahmad Syafii Maarif menempati ruang tersendiri dalam kancah pemikiran Islam Indonesia. Dengan berusaha memperkenalkan wajah Islam toleran, inklusif, egaliter, dan non deskriminatif yang dipahami dari pemahaman yang utuh terhadap pesan moral dan nilai-nilai universal Al-Qur’an dan sunah Nabi. Syafii Maarif bukanlah seorang intelektual di menara gading karena ia telah menjadi bagian penting dari dinamika perjuangan praktis melalui Muhammadiyah. Buya Syafii adalah manusia dengan “Satu Kata, Satu Perbuatan” yang mencerminkan sebuah konsistensi intelektual dirinya yang menanamkan semangat kenabian di mana kesadaran langit harus bertumbuh dengan fakta-fakta kesejarahan bumi.
Keberadaan tokoh seperti Ahmad Syafii Maarif kini menjadi penting ketika tokoh-tokoh Islam yang dimiliki bangsa Indonesia semakin ‘menghilang’ karena concern dan focus perjuangannya telah bergeser pada wilayah yang pragmatis-politis. Kita semua berharap kepada Guru Bangsa ini, yang senantiasa kritis dan peka terhadap persoalan umat. Ikhtiar membangun Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan dalam satu tarikan napas merupakan kerja dakwah dan kebudayaan yang diharapkan memiliki daya jangkau yang jauh melampaui zamannya.
.
*Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif III (SKK-ASM III) dan Penulis pada ahmadsholikin.web.ugm.ac.id