Salah satu diskursus kajian studi Islam yang tengah naik daun di tanah air adalah Islam revisionis. Jika mendengar istilah revisionis dalam benak kita akan merujuk pada Mun’im Sirry, salah satu akademisi asal Madura yang berkarir sebagai dosen di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat. Bahkan dalam lawatan akademiknya ke tanah air beberapa waktu yang lalu disambut amat meriah dan mendapat angin segar bagi kesarjanaan di tanah air.
Istilah Islam revisionis bukan dimaksudkan untuk mendegradasi atau menurunkan citra/ marwah Islam sebagai sebuah agama sempurna, melainkan Islam didekati dalam kajian revisionis sebagaimana dilakukan kesarjanaan revisionis, salah satunya Mun’im Sirry. Buku Rekonstruksi Islam Historis tidak lebih merupakan kelanjutan dari proyek ambisiusnya yakni Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis. Buku ini mengintrodusir bagaimana kesarjanaan revisionis mendiskusikan pendekatan skeptik terhadap nilai historis sumber-sumber Muslim yang ditulis pada abad ke-3 H/ 9 M. Sedangkan Rekonstruksi Islam Historis mendiskusikan isu-isu yang sama tetapi pada level yang berbeda.
Kesempurnaan Islam, Apologetik atau Polemik?
Salah satu argumen menarik yang dikembangkan oleh Sirry ialah Islam memang lahir di Hijaz, dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, namun berkembang dan mencapai kematangannya dan menjadi agama yang distingtif di luar tanah Arab. Sepintas argumen ini biasa saja, tetapi Sirry memiliki ‘mazhab’ sendiri dalam memproduksi sekaligus menghidangkan kepada pembaca dengan renyah. Ia memulainya dengan mengetengahkan konteks dua pandangan ekstrim.
Pertama, pandangan apologetik. Menurutnya, di satu sisi pandangan ini menyatakan bahwa Islam sudah lengkap dan sempurna sejak zaman Nabi Saw atas dasar dalil Surah al-Maidah ayat 3, “Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu”. Tidak cukup itu, Sirry melalui pendekatan revisionisnya, ia menilai dalil ini seringkali dipahami oleh kalangan Muslim di luar sejarah. Kedua, pandangan polemik. Di sisi lain, pandangan ini meragukan bahwa Nabi Muhammad itu figur historis, atau dalam bahasa Sirry, Islam tak lebih dari heresi Kristen.
Sebagai muslim, Sirry tahu betul positioning mana yang harus diambil. Ia cukup bijak dalam menempatkan Islam, baik sebagai teologis maupun akademis. Kebijaksanaan itu tercermin dalam penilaiannya atas kedua argumen di atas. Baginya, kedua pandangan itu tidak punya pijakan sejarah dan tampak sensasional. Dengan meletakkan argumen buku ini di antara dua pandangan tersebut dan dalam ranah kajian historis, Sirry berharap – minimal – pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan di awal setiap bab mendorong penelitian lanjutan yang lebih spesifik dan ekstensif.
Kemunculan Islam sebagai Fenomena Historis
Dalam pengantarnya, Sirry menegaskan bahwa argumen buku ini juga dimaksudkan untuk melihat Islam dan kemunculannya sebagai fenomena historis. Artinya, Islam sebagai sebuah agama yang lahir ke ruang sejarah manusia dapat didekati dan dianalisis dengan metode kritik-historis modern. Implikasinya adalah untuk memposisikan Islam “sejajar” dengan agama-agama lain. Dengan kata lain, Islam bukan pengecualian.
Ia mengklaim kemunculan Islam tak lebih melalui proses yang kompleks layaknya agama lain. Umumnya, jika tidak seluruhnya, agama baru muncul dari tradisi keagamaan serupa. Awalnya, muncul sebagai keyakinan minoritas, lalu berkembang dan mengambil bentuknya dari interaksi dengan kultur dominan di zamannya. Dalam konteks itu, Sirry memposisikan kelahiran Islam dalam konteks yang lebih ekspansif dari sekadar kultur Hijaz, yang kerap digambarkan paganistik. Dalam kesarjanaan mutakhir, konteks yang lebih luas itu dikenal dengan late antiquity (zaman antik-akhir) sebagaimana didiskusikan pada bab 1 buku ini.
Lebih jauh, elemen-elemen antik-akhir yang melekat pada Islam digarisbawahi sehingga kontinuitas dan perubahan yang diperkenalkan agama termuda dari “tiga tradisi Ibrahim” ini menjadi tampak jelas. Strategi pembacaan itu, kata Sirry, juga digunakan untuk melihat sejarah Al-Quran, biografi Nabi dan penaklukan serta identitas keagamaan para penakluk.
Pro-Kontra Islam Revisionis
Sebagai sebuah diskursus akademik agaknya tidak meriah jika tidak ada yang pro dan kontra atau bahkan kontroversial, tak terkecuali kajian Mun’im Sirry yang sedikit banyak menyenggol keimanan kalangan Muslim dan berpeluang “memudarkan” Islam sebagai teologis. Di antara yang kontra atau merespons secara kritis adalah Azam Bahtiar.
Misalnya, terkait istilah Muhammad apakah proper name atau fakta historis. Dalam pandangan sejumlah kesarjanaan revisionis, Muhammad bukanlah proper name. Bahtiar mengkritisi pandangan tersebut dengan mengajukan data historis dari inskripsi-inskripsi jahiliyah seperti yang terkompilasi dalam Corpus Inscriptionum Semiticarum yang menyebut kata Muhammad sebagai proper name. beberapa sarjana lain mengungkap bahwa nama Muhammad pernah menjadi nama beberapa pemuka Kristen sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw.
Selain inskripsi tersebut, Bahtiar – menurut Fadhli Lukman – juga mengajukan surat-surat Nabi yang dikompilasi oleh Muhammad Hamidullah dalam disertasi di Universitas Paris. Menurutnya, tidak mungkin dalam surat diplomatis penting tersebut penyebutan kata Muhammad tidak dalam bentuk proper name. Selain itu, Bahtiar juga mempertanyakan sikap Sirry yang sama sekali tidak mempertimbangkan kajian-kajian Muslim non-tradisional yang tak kalah kritisnya.
Selain Bahtiar, Fadhli Lukman, salah satu akademisi bidang tafsir Quran dan Islam Historis menilai ada “kelamin ganda” atau ambiguitas dalam positioning Sirry sebagai penulis: apakah ia seorang sejarawan yang tengah mengkaji sejarah Islam awal, ataukah ia adalah seorang pengamat kesarjanaan revisionis mengenai Al-Quran dan sejarah Islam awal? Lalu Lukman berkesimpulan bahwa di sebagian besar bukunya, Sirry sangat terlihat sekali bahwa ia sebenarnya berada di posisi kedua.
***
Terlepas pro-kontra cara Mun’im Sirry menggeluti kajian dan minat akademiknya, layaknya seorang santri – dan memang santri –, dalam pengantarnya yang layak kita simak, renungi dan teladani,
“sebagai seorang yang masih belajar, pikiran dan kesimpulan saya masih berubah-ubah, dan mungkin selamanya akan terus demikian. Bukan berarti pikiran lama itu salah. Saya terbiasa membiarkan bacaan dan observasi mengarahkan kesimpulan saya, bukan sebaliknya. Dalam beberapa kasus, kesimpulan saya berubah karena temuan data-data baru atau pemahaman baru atas diskusi percakapan intelektual. Saya berharap pembaca memaklumi jika, dalam beberapa hal, buku ini tampak berbeda dari, bahkan mungkin terkesan merevisi ide-ide dalam Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis”.
Bukan bermaksud apa-apa, Sirry menegaskan bahwa berbagai karyanya memang dimaksudkan dam didesain untuk merangsang nalar kritis para pembacanya. Atau dalam istilah Azyumardi Azra, karya Sirry harus dibaca secara substantif-interpretatif, bukan naratif-apologetik.
Judul Buku: Rekonstruksi Islam Historis; Pergumulan Kesarjanaan Mutakhir
Penulis: Mun’im Sirry
Penerbit: Suka Press
Tahun Terbit: 2021
Tebal: 3412
ISBN: 978-623-7816-36-2
Editor: Soleh