Oleh: Rizqy Anwar Hidayatullah
Tema super hero baru-baru ini menjadi trending dan memberikan nafas baru di jagad perfilman Indonesia. Hal ini ditandai dengan hadirnya live action “Gundala” yang sutradarai oleh Joko Anwar. Ceritanya mengadaptasi dari komik tahun 1969 karya Harya Suraminata (Hasmi) yang berjudul Gundala Putra Petir.
Film tersebut menjadi film pembuka dari BumiLangit Cinematic Universe (BCU), dan akan disusul film-film BCU lainnya. Euforia penikmat film superhero di Indonesia semakin memuncak karena belakangan masih terkagum-kagum oleh film Avengers: End Game dari Marvel Cinematic Universe (MCU). Kemudian ditambah film superhero dari Indonesia yang kualitasnya tak kalah dengan film besutan MCU. Film yang mengambil setting ibukota yang terkesan dystopia (keadaan yang buruk), menjadikan penguat alasan bahwa di negeri itu butuh patriot.
Menjadi Super Hero
Tentu kesempatan ini tidak disia-siakan generasi tua yang dulu sempat membaca komik Gundala dan generasi milenial untuk dapat menikmati live action-nya. Dari beberapa review penonton film ini menyebutkan bahwa tokoh Sancaka, karakter Gundala yang diperankan oleh Abimana Aryasatya sangat menginspirasi penonton. Walaupun, cerita di film berbeda dengan di komik, tetapi masalah yang diangkat sesuai dengan masalah di Indonesia saat ini.
Seorang superhero haruslah menjadi teladan yang baik bagi semua orang. Karena memang misi dari superhero tidak lain adalah menumpas kejahatan. Meskipun tidak semua adegan di film bisa dicontoh di dunia nyata. Tentu perlu mengkaji tentang hal apa yang relevan bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari. Seperti halnya tokoh Gundala yang gagah berani menumpas kejahatan di Indonesia.
Pahlawan tidak harus dari kalangan aparatur keamanan negara yang jelas mereka dibayar (diberi tanggungjawab) untuk menegakkan keadilan atas landasan hukum. Penduduk sipil pun harus menggambil peran yang sama. Kita wajib menjaga keamanan dan berjuang menegakkan keadilan di Indonesia sesuai kapasitas dan bidang kita.
Perang fisik melawan penjahat (perampas keadilan) hanya salah satu aksi menegakkan keadilan yang banyak merugikan salah satu atau keduanya. Sama halnya pertempuran melawan penjajah adalah pilihan terakhir ketika jalan diplomasi gagal untuk mencabut penindasan di daerah terjajah.
Contoh lain yang familiar di kalangan mahasiswa adalah demostrasi (demo), yang merupakan bentuk protes di hadapan umum terhadap kebijakan pemerintah di negara penganut sistem demokrasi. Tidak salah memang aksi ini dilakukan, karena itu merupakan hak masyarakat. Dan tidak ujuk-ujuk (tiba-tiba) melakukan aksi. Perlu ada kajian alasan, tuntutan, dan solusi yang nanti disampaikan saat aksi. Tak jarang mahasiswa juga melakukan riset tentang permasalahan publik yang menjadi bahan tuntutan.
Lebih aktual, saat ini protes dari saudara kita di Papua masih berlangsung. Dampak dari ketidakadilan masyarakat & pemerintah memerangi rasisme di beberapa daerah di Pulau Jawa. Menurut saya, Pemerintah lalai dalam mengawasi ormas-ormas penyebab kasus kegaduhan ini. Ditambah lagi masyarakat sangat mudah terprovokasi di media sosial. Menunjukkan lemahnya etika dan akhlak kebangsaan saat menghadapi isu yang rentan menyebabkan perpecahan sesama Bangsa Indonesia.
Menjadi Gundala di Dunia Nyata
Parahnya, kerusuhan yang terjadi di Papua dimanfaatkan oleh musuh negara sesungguhnya yaitu Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Mereka (KKB) berhasil memperkeruh suasana demontrasi hingga terjadi korban dari pihak demonstran dan aparat dalam insiden tersebut.
Dari berita yang dimuat oleh Tribunnews.com pada 29/8/2019, kerusuhan yang terjadi di Deiyai, Papua. Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo, akibat kejadian tersebut terdapat 6 anggota TNI-Polri menjadi korban. 2 orang dari TNI dan 4 orang dari Polri.
Disusul berita dari cnnindonesia.com pada 31/08/2019, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Papua, Kombes Tony Harsono, menyebut ada 5 orang korban jiwa dari masyarakat sipil di Deiyai, Papua. Namun, jumlah korban tersebut masih belum terhitung keseluruhan karena memang belum ada konferensi pers dari pihak terkait mengenai total jumlah korban saat tulisan ini ditulis.
Miris sekali melihat fakta ini, seakan NKRI dipuncak perpecahan. Sudah tidak adalakah Pahlawan di dunia nyata yang bisa menangani masalah ini? Pemerintah masih terpecah fokusnya disaat masa genting seperti ini dengan dihadapkan rencana pemindahan ibu kota dan perpecahan Bangsa Indonesia di tanah Papua. Korban bangunan dan finansial Masyarakat terus bertambah.
Agar tidak menyebabkan banyak korban lagi dari buntut ketidakadilan dan rasisme di masa yang akan datang, perlu ada solusi efektif untuk masalah ini. Salah satunya menjadi pahlawan keadilan sesuai bidangnya.
Marilah sebagai warga negara yang baik dan sebagai bangsa yang beradab kita berlomba-lomba menjadi pahlawan keadilan sesuai profesi kita. Bijaklah dalam menanggapi isu-isu yang rentan akan menimbulkan perpecahan bangsa. Mari jalin lagi keharmonisan bangsa agar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi damai kembali seperti ending di fim superhero.
***
Jika Gundala gundah dan takut terhadap petir, tapi tetap berupaya gagah berani menghadapi kegundahan itu dan akhirnya mampu mendapatkan kekuatan darinya (petir), maka versi dunia nyatanya adalah kita buat kegundahan akan berjuang melawan ketidakadilan di negri ini. Dengan kekuatan dari kemampuan dan profesi kita untuk memperjuangkan keadilan.
Teringat sebuah kata-kata motivasi di film Gundala, yaitu “Kalau kita diam saja melihat ketidakadilan di depan kita, maka kita bukan manusia lagi”. Jelas sekali makna dari kata-kata tersebut bahwa manusia wajib bertindak melawan ketidakadilan. Bukan hasil melawan ketidakadilan itu yang menjadi tujuan utamanya, tapi seberapa besar usaha kita bertindak melawannya. Sehingga kita semua bisa menjadi Gundala di dunia nyata.