Perspektif

Menjadi Khalifah Ekologis

4 Mins read
Bersama merawat bumi
Ilustrasi: bmvkatedralbogor.org

Manusia: Khalifah di Bumi

Konflik agraria kembali terjadi. Kini giliran warga Sumberagung Banyuwangi melakukan aksi mengayuh sepeda sejauh 300 km guna menyuarakan aspirasi mereka kepada gubernur Jawa Timur terkait penolakan aksi penambangan oleh sebuah perusahaan.

Tak kunjung ditemui, mereka melakukan aksi mogok makan. Alasan aksi mereka didasarkan pada ancaman kerusakan lingkungan. Di lain pihak, beberapa spesies di Indonesia kini menunggu kiamat spesies mereka akibat perburuan dan kehilangan habitat.

Beberapa spesies seperti Harimau Jawa sudah berpindah tempat dari hutan menuju museum, berpindah dari dunia nyata ke dalam dunia kenangan.

Cerita mengenai konflik agraria bukan cerita usang, tapi segar setiap tahun. Bukannya tidak ada aktivis pembela lingkungan. Banyak. Banyak sekali. Sayang, kuasa uang yang dimainkan oleh korporasi besar membelenggu kerja aparat dan membuat pejabat menutup mata.

Tidak sedikit aktivis lingkungan yang meregang nyawa dengan berbagai macam cara. Mereka syahid membela ibu kita, bumi pertiwi. Ataukah jangan-jangan mereka mati karena kita, kita yang ikut serta merusak bumi?

‘Adik’ yang Durhaka

Di dunia ini, konflik agraria tidak jarang menelan korban. Bukan hanya manusia karena manusia, melainkan hewan dan tumbuhan karena manusia, atau manusia karena hewan yang membalas dendam.

Korban-korban ini adalah tumbal bagi tuhan baru, yaitu hawa nafsu keserakahan atas nama kemajuan dan pertumbuhan ekonomi. Manusia yang dengan bertindak atas doktrin materialisme yang mereka percayai menjadi pihak paling tertuduh atas kerusakan alam.

Di sini kemudian timbul pertanyaan, di manakah posisi agama sebagai doktrin sekaligus pengetahuan untuk menyelamatkan alam? Apakah kondisi ini justru menjadi justifikasi akan kebenaran kiamat sebagai hari penghancuran? Atau secara agak sporadis, apakah Tuhan yang membuat kiamat dengan tangan-Nya atau justru manusia yang membuat kiamat itu sendiri?

Baca Juga  LiteraTour: Membentuk Kader Perdamaian dengan Metode Literation Cycle

Dalam bukunya Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, Yuval N Harari menyindir kita, para manusia Homo sapiens, yang dalam sejarahnya selalu menimbulkan konflik dengan alam. Tiap kali manusia sapiens bermigrasi ke suatu wilayah, hampir dapat dipastikan akan ada spesies-spesies yang punah, bahkan spesies yang pernah menempati puncak rantai makanan ribuan dan jutaan tahun sekalipun.

Bila kita meyakini bahwa Adam as selaku bapak umat manusia yang diciptakan pada hari jumat antara waktu asar dan malam sebagai ciptaan terakhir (HR Muslim, Ahmad, Ibn Khuzaimah, dll) dan diturunkan dari surga, maka kita para manusia Homo sapiens ibarat ‘adik’ yang durhaka dan kejam terhadap para kakak kita, para pendahulu kita, bahkan terhadap ibu kita, bumi pertiwi.

Khalifah-Ekologis

Allah membimbing manusia dengan mengutus para nabi pembawa wahyu untuk kebaikan dunia dan akhirat yang semuanya berintikan tauhid, yakni pengesaan Allah. Dalam Islam, dikenal adanya tauhid rububiyah, di samping tauhid uluhiyah dan asma’ wa sifat.

Tauhid rububiyah berarti bahwa Allah menciptakan, mengatur, dan menjaga segala makhluk agar tetap teratur dalam harmoni. Dialah pemilik kehidupan dan tidak ada sesuatu lain yang menyamai-Nya.

Secara semestinya, khalifah yang bertauhid mampu menjaga alam sesuai dengan yang Allah kehendaki dengan memperhatikan harmoni ekologi dalam rangka meneladani rububiyah Allah. Dan Allah tidak menyukai kerusakan (QS. Al-Baqarah: 205); Allah tidak menyukai orang-orang yan berbuat kerusakan (QS. Al-Maidah: 64; QS. Al-Qashash: 77).

Pemanfaatan alam bukan hal terlarang sejauh harmoni tetap terjaga. Alam ini, sebagaimana yang disebutkan A. Sonny Keraf dalam Filsafat Lingkungan Hidup, adalah sebuah suatu sistem kehidupan yang sistemis-organis, yaitu suatu kesatuan yang menyeluruh dan terkait yang saling menunjang satu sama lain untuk memungkinkan kehidupan di alam semesta terus berkembang.

Baca Juga  Covid-19: Berhenti Meremehkan dan Stay at Home!

Perubahan atau perusakan suatu entitas akan turut mempengaruhi entitas lainnya. Alih-alih didekati dengan akal budi semata yang berujung pada dominasi dan kontrol, sudah selayaknya alam didekati dengan intuisi, sikap hormat, bekerja sama, dan dialog.

Sikap inilah yang seharusnya dijiwai oleh setiap orang yang mengaku dirinya khalifah bertauhid, sekaligus menyebarkannya kepada setiap orang, terlebih individu dan korporasi yang menjadi tiran bagi alam.

Dalam hal ini, pandangan keagamaan antroposentris yang menempatkan manusia di puncak piramida kehidupan agaknya perlu ditinjau ulang. Secara tidak bertanggung jawab, sebagian pihak akan menjustifikasi eksploitasi mereka terhadap alam dengan pemahaman demikian.

Alih-alih memakmurkan bumi, justru korporasi perusak alam mengeruk keuntungan pribadi dengan dalih pertumbuhan ekonomi.

Pandangan keagamaan yang antroposentris harus digeser dengan pandangan keagamaan tauhid ekosentris: Allah menciptakan manusia sebagai penjaga keseimbangan alam agar semua makhluk, baik biotik maupun abiotik, merasakan rahmat Allah melalui tangan-tangan manusia.

***

Konsekuensinya, bertindak sewenang-wenang untuk menghancurkan alam yang telah Dia ciptakan dan merusak tatanan alam berarti mengingkari rububiyah Allah, menyia-nyiakan ciptaan-Nya, dan bahkan bisa jadi melawan Allah sebagai penjaga kehidupan.

Allah menciptakan alam dengan kadarnya atau yang sering disebut dengan hukum alam. Alam senantiasa mencari keseimbangan dan harmoni. Disharmoni yang disengaja akan menimbulkan apa yang sering kita sebut dengan pandangan antroposentris sebagai bencana alam.

Padahal bukankah apa yang kita sebut sebagai bencana alam justru merupakan upaya alam untuk menemukan keseimbangannya  yang telah direnggut secara sengaja maupun tak sengaja? Justru, bencana adalah suatu alarm dari Allah agar kita sadar akan apa yang telah kita perbuat terhadap alam.

 Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Al-Rum: 41)

Patutkah kita merusak alam padahal ia selalu bertasbih kepada Allah yang kita tidak mengetahui tasbih mereka (QS. Al-Isra: 44)? Patutkah kita mengklaim memiliki bumi dan seisinya padahal segalanya adalah milik Allah? Sudah selayaknya kita menjauhkan diri dari sifat serakah dan menuhankan hawa nafsu dengan jalan bersyukur kepada Allah.

Baca Juga  Menyikapi Polemik Konsep Khilafah yang "Diperjuangkan"

Bukan hanya membaca tapi juga dengan langkah konkret: merawat dan melestarikan alam dengan raga dan harta sepenuh jiwa, bukan hanya sebab ia menguntungkan bagi manusia, melainkan alam bernilai dalam dirinya sendiri sebagai ciptaan Allah yang selalu bertasbih kepada-Nya.

Kita kerap baru merasa memiliki setelah ia merasa kehilangan. Barangkali kita sibuk membangun dan lupa berkebun. Saat pohon terakhir ditebang, air terakhir dicemari, dan ikan terakhir mati, kita baru akan sadar bahwa uang tidak bisa dimakan. Atau barangkali, manusia memang menginginkan segera terjadinya kiamat.

Editor: Yahya FR
Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tertarik dengan isu keislaman, kemanusiaan, dan lingkungan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds