Tasawuf

Menjadi Sufi yang Kekinian

3 Mins read

Era modern adalah sebuah masa di mana perkembangan kehidupan mengalami perubahan signifikan, salah satunya melaui sektor budaya. Adanya kehidupan yang selalu dinamis, membuat manusia harus selalu aktif beradaptasi dengan segala macam tantangan yang ada di dalamnya. Lalu, apakah di zaman yang sangat dinamis ini kita bisa menjadi sufi kekinian?

Menjadi Sufi Kekinian

Era modern tak hanya dilihat sebagai suatu tatanan mapan dengan segala macam kemewahan infrastuktur yang terkandung di dalamnya, namun juga harus dilihat sebagai suatu tantangan kebudayaan di masa kini dan masa mendatang, di mana hal tersebut belum menjadi tantangan di masa lalu.

Ancaman westernisasi  selalu bersembunyi dibalik indahnya modernisasi. Hal itu menjadi momok bagi setiap orang yang akan mengambil langkah secara progresif, mengikuti perkembangan zaman, karena modernisasi tak dapat diambil secara mentah tanpa adanya penyaringan (filtrasi). Ibarat pepatah mengatakan:

“Jika ingin mengambil bunga mawar, ambillah bunga dan tinggalkan durinya.”

Sama halnya dengan hidup di era modern yang tak lepas dari pengaruh globalisasi. Segala macam hal harus disaring secara selektif, dengan mengambil kebaikan dan meninggalkan keburukan yang ada di dalamnya.

Dewasa ini, pengambilan segala macam hal termasuk kebudayaan tanpa adanya penyaringan yang baik dapat menyebabkan terjadinya degradasi dan dekadensi moral. Tentu, hal itu akan bertentangan dengan spirit yang terkandung dalam nilai-nilai kemodernan.

Karena itu, diperlukan sebuah gerakan spiritual baru yang berlandaskan pada gerakan spiritual lama. Hal ini bisa disebut sebagai “sufi kekinian”. Dengan berpedoman pada kaidah berikut:

المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ

Artinya: “Memelihara hal-hal baik meski lama dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.”

Sufi di Masa Lampau

Modernisasi yang berlebihan akan menyebabkan sebuah individu menjadi lepas kendali dan cenderung melakukan hal-hal bebas tanpa ada kontrol. Karena itu lahir, gerakan sufisme sebagai bentuk perlawanan terhadap hal-hal yang berbau penyimpangan secara moral.

Baca Juga  Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

Kata tasawuf yang salah satunya merupakan akar kata dari shafa (صفا) yang berarti kemurnian merupakan misi utama seorang pengamal ajaran tasawuf agar hati dan jiwa senantiasa murni dari segala macam benih-benih kepalsuan yang dapat merusak keduanya.

Tasawwuf dalam tradisi agama, semula sebagai gerakan refleksi diri dari berbagai pengaruh-pengaruh duniawi yang semu. Maka diantara buah ajaran-ajarannya berupa khauf (rasa takut), mahabbah (cinta), raja (pengharapan), dan lain-lain.

Seorang sufi yang mendalami ajaran tasawuf tentunya tidak akan lepas dari beberapa riyadah (latihan-latihan) untuk menaikkan maqam (tingkatan-tingkatan tertentu dalam ajaran tasawuf), dimulai dari maqam syariat, thariqat, hakikat hingga ma’rifat.

Sufi di Era Modern

Kesemua riyadah dalam ajaran tasawuf tentu membutuhkan waktu dan tenaga ekstra. Menanggapi hal tersebut, maka muncul sebuah pertanyaan:

“Bisakah kita yang hidup di era modern ini menjadi sufi dengan banyaknya tanggungjawab dan amanah, entah itu berupa profesi maupun jabatan sosial di masyarakat tanpa harus melakukan riyadah sufi di masa lampau?”

Adanya pertanyaan demikian karena masyarakat yang hidup saat ini mengalami perbedaan dari segi situasi dan kondisi. Terlebih, keadaan di masa sekarang jauh lebih kompleks ketimbang masa silam.

Merupakan hal absurd jika saat ini, seseorang menjadi sufi dengan meninggalkan pekerjaan yang sudah diamanahkan kepadanya. Terlebih jika ia adalah seorang suami yang harus menafkahi istri dan anak-anaknya.

Tak mungkin pula seorang sufi sibuk menyendiri (uzlah) sedang masyarakat membutuhkan uluran tangannya melalui gerakan sosial keagamaan, tentu hal itu menjadi kontraproduktif dengan esensi dari ajaran tasawuf itu sendiri.

Seharusnya seorang sufi tak hanya sibuk mementingkan diri sendiri dengan melakukan berbagai macam riyadah untuk meningkatkan maqam-nya, tetapi juga senantiasa membimbing masyarakat menuju kebaikan.

Baca Juga  Tarekat Suhrawardiyah (2): Perkembangannya di India

Sufi di masa kini harus bisa beradaptasi  dengan segala tantangan baru tanpa harus kehilangan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sufi juga harus dimaknai secara luas sebagai ajaran moral  guna mendekatkan diri kepada Allah SWT meski beberapa amanah dan tanggungjawab terbalut dalam jiwa-raganya.

Aktualisasi Nilai-Nilai Tasawuf

“Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah cara mengimplementasikan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan sehari-hari?”

Menjadi seorang sufi bukanlah monopoli generasi salaf dengan berbagai ritual dan beberapa riyadah yang mengiringinya. Semua orang bisa menjadi sufi di masa kini dengan mengambil inti dari ajaran-ajaran tasawuf, seperti:

Pertama, menamkan rasa cinta kepada Allah SWT di mana dan kapan pun berada, sehingga apa yang dilakukan akan selalu diniatkan untuk beribadah kepada-Nya.

Kedua, takut akan murka Allah. Seseorang yang takut dengan murka-Nya akan senantiasa menjalankan ajaran-ajaran moral yang terkandung dalam Al Quran dan As Sunnah.

Ketiga, seseorang harus senantiasa berharap kepada Allah bahwa rahmat dan taufiq selalu Dia berikan kepada orang-orang mengikuti jalan-Nya.

Keempat, seseorang bersabar atas segala ujian, baik berupa nikmat maupun musibah.

Kelima, seseorang yang kaya tidak tamak terhadap harta. Justru kekayaan itu digunakan untuk kepentingan umum dan agama, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang sufi ternama, Ibnu Arabi.  

Keenam, berbaik sangka kepada Allah atas segala taqdir yang diberikan oleh-Nya.

Ketujuh, ikhlas dalam menjalankan ibadah, baik mahdoh maupun ghairu mahdoh.

Kesembilan, rendah hati meski memiliki pangkat dan jabatan yang tinggi dalam segala urusan kemanusiaan.

Apabila seseorang mengambil satu dari sembilan ajaran tersebut, maka ia layak atau berpotensi  menjadi seorang sufi.  Sebenarnya, masih banyak lagi ajaran-ajaran tasawuf yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai tameng atas adanya ancaman westernisasi yang bersembunyi di dalam gaung moderniasasi.

Baca Juga  Science dan Modernisasi yang Berkelindan

Setidaknya beberapa contoh di atas dapat membuka pikiran bahwa konsep tentang tasawuf atau sufisme selalu meluas seiring dengan perubahan zaman dan tempat. Apabila tidak dimaknai dengan konsep sufi kekinian, maka maknanya menjadi sempit dan hanya bisa diraih orang-orang tertentu. Wallahu a’lam.

Editor: Nabhan

Avatar
18 posts

About author
Penyuluh Agama Islam
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds