Suatu ketika Nabi SAW didatangi oleh seseorang yang menanyakan tentang Iman, Islam dan Ihsan. Hadis ini cukup terkenal dan diriwayatkan oleh banyak perawi dan masuk dalam kategori hadis Sahih. Lalu, apa hubungannya hadis tersebut dengan kritik terhadap ilmu tasawuf?
Kritik Terhadap Ilmu Tasawuf
Nabi SAW kemudian menjawab yang secara garis besar yang jawaban tersebut menjadi landasan pembagian keilmuan Islam menjadi akidah (Iman), syariah/fikih (Islam) dan akhlak/tasawuf (Ihsan). Dua ilmu yang pertama hampir semua mayoritas ulama mengakui eksistensinya tetapi tidak untuk yang terakhir.
Kehadiran Ilmu Tasawuf sebagai salah satu warisan intelektual Islam mengalami perdebatan yang cukup sengit. Perdebatan ini bukanlah berasal dari kalangan eksternal (baca: luar Islam) akan tetapi di dalam internal umat Islam itu sendiri. Setidaknya terdapat dua pokok kritik utama yang dilayangkan untuk tasawuf;
Pertama, salah satu yang menjadi kritikannya adalah mengenai sanad keilmuan tasawuf agak sulit untuk dipertanggungjawabkan. Berbeda seperti ilmu hadis yang dengan mudah para ulama bisa melacaknya maka ilmu tasawuf cenderung masih menyimpan misteri.
Seorang rawi (periwayat) hadis, sebagai contoh, dapat dengan mudah terlacak di dalam ilmu rijal al-hadits (ilmu biografi para periwayat hadis) sehingga hadis-hadis yang diriwayatkan bisa diketahui kualitasnya. Sedangkan dalam tasawuf hal tersebut sulit dilakukan.
Kedua, jika pun tasawuf diakui sebagai sebuah ilmu misalnya, idealnya tasawuf bisa lebih diterima dan tidak eksklusif. Saat ini keilmuan tasawuf cenderung sangat tertutup bagi orang di luar pengamal tasawuf. Berbeda seperti ilmu fikih, ilmu hadis, dan ilmu keislaman lainnya yang dapat dipelajari bahkan didiskusikan oleh orang di luar.
Perbedaan Tasawuf dan Tarekat
Sebelum menjawab kedua kritik terhadap ilmu tasawuf tadi ada baiknya membedakan mana kategori ilmu tasawuf dan mana yang masuk dalam kategori tarekat. Sebagai sebuah ilmu, tasawuf dapat dengan mudah dilacak gagasan dan juga ulama yang concern terhadap ilmu ini.
Ulama-ulama besar yang juga ahli keilmuan Islam lainnya kebanyakan juga mendalami dan mengkonstruksi ilmu tasawuf seperti Al-Ghazali, Ibn Athoillah Al-Sakandary, Syaikh Amin Al-Kurdi, Syaikh Abdul Wahab Al-Sya’rany, dan masih banyak lagi.
Sedangkan tarekat adalah sebagai sebuah organisasi para sufi yang awalnya muncul pada periode abad ke-5 dan ke-6 H. Tujuan dari tarekat ini adalah untuk melembagakan ajaran para sufi agar dapat dengan mudah dipelajari dan dipraktikan oleh para pengikutnya (Riyadi, Agus: 2014). Singkatnya tarekat merupakann ordo/mazhab sufi layaknya ordo/mazhab dalam yurisprudensi Islam (fikih).
Jika dalam mazhab fikih dikenal mazhab empat besar yaitu Hanafiah, Malikiah, Syafiiah, dan Hanabilah. Maka dalam tarekat pun dikenal ordo tarekat muktabarah (terverifikasi) seperti Naqsyabandiyah, Qadariyah, Syatariyah, Rifaiyah, dan masih banyak lagi.
Kritik mengenai keraguan sanad keilmuan dalam tasawuf yang sulit diverifikasi dan juga ekslusivitas pengikutnya bukan merupakan kajian ilmu tasawuf. Sebagai sebuah ilmu, tasawuf dapat dilacak dengan mudah. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa kebanyakan ulama yang mempelajari keilmuan Islam seperti akidah dan syariah maka mempelajari dan mengembangkan ilmu tasawuf.
Selain itu, tasawuf dapat juga dipelajari dan diakses oleh siapa saja yang tertarik mengamalkannya. Seperti kitab Ihya Ulumiddin karya Al-Ghazali, Al-Hikam karya Ibn Athaillah Al-Sakandari, Tanwir Al-Qulub karya Syaikh Amin Al-Kurdi, dll.
Jawaban Atas Kritikan
Syaikh Amin Al-Kurdi memberikan definisi ilmu tasawuf yang mencakup tiga tujuan, yaitu mengetahui keadaan qalbu (sifat baik dan buruk), mengetahui cara membersihkannya, dan melakukan perjalanan menuju Allah SWT (al-Kurdi: 435).
Dari sini terlihat ada syarat khusus untuk mempelajari ilmu tasawuf ini. Sehingga tasawuf sebagai sebuah ilmu tidaklah ekslusif sebagaimana kritikan yang ditujukan kepadanya.
Berikutnya, kritik di atas sebenarnya lebih tepat ditujukan kepada tarekat sebagai sebuah organisasi ordo tasawuf. Layaknya sebuah organisasi yang memiliki syarat dan peraturan maka diperlukan akses masuk ke dalamnya.
Hal ini bukan saja berlaku untuk organisasi sufi akan tetapi organisasi umum pun demikian adanya diperlukan pendaftaran, orientasi dan struktur lainnya. Meskipun demikian, siapapun bisa masuk ke dalam ordo tasawuf asalkan mengikuti persyaratan dan peraturan yang sudah disepakati dalam tarekat tersebut.
Selain itu, sanad keilmuan dalam tarekat pun dapat dipertanggungjawabkan. Sanad ini akan menunjukkan rentetan keguruan seorang mursyid (guru tarekat). Akan tetapi sanad yang dimiliki tarekat tidaklah sama dengan sanad yang dimiliki oleh kelimuan lain seperti ilmu hadis atau ilmu fikih yang sangat bercorak positivistik.
Dalam tarekat sanad kebersambungan tidak hanya mengakui secara positivistik tetapi juga intuitif (rasa). Sehingga kebenaran yang diakui dalam tarekat bersifat intersubjektif (konsensus dalam kelompok tersebut).
Sebagai contoh mengenai kebenaran intersubjektif adalah seorang pecinta kopi akan bisa merasakan dan membedakan mana kopi Arabika, Robusta, atau kopi Aceh yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Meskipun rasa utamanya tetaplah pahit tapi pencinta kopi dapat membedakan mana Arabika, mana Robusta ataupun kopi Aceh.
Beda halnya peminum kopi amatir yang hanya bisa merasakan pahitnya kopi tanpa bisa membedakan kedua jenis kopi tadi. Kemampuan merasakan kopi tadi merupakan skill yang dapat dilatih tentunya dengan metode yang bermacam-macam. Tetapi intinya adalah pengakuan kebenaran sanad dalam taarekat bisa diibaratkan dengan pencinta kopi tadi.
***
Sebagai sebuah ilmu, adalah keniscayaan ketika tasawuf dengan tarekatnya memiliki kekurangan dan mendapat kritikan. Akan tetapi, kritikan yang membangun tentunya dapat berkontribusi bagi pengembangan ilmu ini untuk lebih baik lagi. Banyaknya kritikan yang ditujukan kepadanya bukan berarti harus meninggalkan atau menafikan keberadaannya. Wallahu a’lam.
Editor: Nabhan