Dibandingkan dengan teman-teman yang lain, saya tidak punya pengalaman yang khusus dengan Buya Syafii Maarif. Jangankan pengalaman, foto bersama saja tidak punya.
Meluruskan Kesalahpahaman Tentang Buya Syafii Maarif
Tentu saya sempat bertemu dengan beliau secara langsung. Dalam posisi saya sebagai peserta seminar dan beliau sebagai pengisi seminar.
Pertama adalah saat beliau mengisi Seminar di STKIP Muhammadiyah Bogor. Saya dibonceng senior saya dengan motor dari Darmaga ke Leuwiliang. Di sanalah saya bertemu dengan Buya secara langsung.
Kedua saat acara Maarif Award yang pertama di studio Metro TV Kebon Jeruk. Saya bersama kawan pergi ke sana untuk menyaksikan secara langsung.
Yang mendapatkan award waktu itu adalah Romo Carolus, seorang pastor katolik yang dihormati oleh FPI di Cilacap karena amal sosialnya dan Ahmad Bahruddin Pendiri Komunitas Belajar Qoryah Thoyyibah.
Selain itu saya relatif tidak pernah berjumpa beliau, hanya membaca tulisannya atau menontonnya lewat layar kaca. Untungnya saya cukup mengenal baik orang-orang yang kenal dekat dengan beliau. Sehingga terkadang mendapat informasi yang tidak terekspose di media tentang beliau.
Sudah banyak sekali yang menulis mengenai kebersahajaan, kesalehan dan integritas beliau. Rasanya saya tak perlu lagi membahas perihal tersebut, tentu juga karena saya tak punya bahan yang cukup jika harus menulis soal itu.
Namun ada satu hal yang saya pikir harus saya tulis berkaitan dengan beliau. Yakni terkait dengan masih banyaknya kesalahpahaman masyarakat terhadap beliau, khususnya di internal warga Muhammadiyah sendiri.
Tentu saya berbaik sangka bahwa kesalahpahaman tersebut lahir murni dari kekuranglengkapan informasi yang diterima terkait Buya. Bukan berasal dari sentiment pribadi apalagi kebencian tanpa alasan.
Seperti diketahui, warga Muhammadiyah sibuk beramal saleh dalam kehidupannya. Karena kesibukannya, barangkali tidak sempat untuk melakukan riset terkait informasi yang diterima. Oleh karena itu saya akan berbaik hati untuk menyampaikan hasil penelaahan saya terkait disinformasi soal Buya Syafii Maarif.
Buya Syafii dan Pluralisme
Pluralisme menjadi sebuah kata yang haram setelah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) satu paket dengan sekularisme dan liberalisme. MUI membedakan pluralisme dengan pluralitas, dimana pluralisme berdimensi teologis dan pluralitas berdimensi sosiologis.
Pluralisme teologis ditolak karena menganggap bahwa klaim keselamatan ada dalam semua agama. Sementara pluralisme sosiologis diterima karena merupakan fakta sejarah dan juga punya landasan teologis dalam Al Qur’an.
Buya Syafii tidak sepakat dengan pembagian pluralisme dan pluralitas. Bagi Buya dan beberapa cendekiawan muslim lainnya, pluralisme juga berdimensi sosiologis juga. Tidak hanya teologis. Di sini terjadi khilaf lafzhi antara Buya dan MUI.
Pada Juni 2006, Buya menulis Resonansi di Republika membahas Al Baqarah: 62 dan Al Maidah: 69. Latar belakang tulisan itu adalah seorang polisi yang bertanya ayat tersebut kaitan dengan konflik Poso. Buya kemudian mengutip Tafsir Al Azhar yang menurutnya mendorong kepada pemahaman pluralisme.
Pendapat Buya Syafii ini dibantah oleh Akmal Sjafril yang pada waktu itu mahasiswa Pasca Sarjana UIKA Bogor. Menurut Akmal, Buya telah melakukan framing yang salah terhadap Hamka. Perdebatan soal pluralisme menjadi meluas menjadi soal pemikiran Buya Hamka.
Peristiwa ini kiranya yang mulai membuat Buya Syafii Maarif terkena black campaign oleh sebagian pihak di luar persyarikatan. Namun kampanye negatif ini masuk juga ke warga persyarikatan dan sebagian mengamininya. Namun masih belum terlalu massif.
Penelitian yang lebih serius soal Buya Syafii dan pluralisme dilakukan oleh Muhammad Qorib dalam disertasinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dekan Fakultas Agama Islam UMSU tersebut menyimpulkan bahwa secara teologis, pemikiran Buya Syafii mengenai keselamatan agama lain tetap dalam paradigma ekslusivisme. Bahwa keselamatan hanya terdapat dalam Islam.
Namun Buya Syafii Maarif tetap menghormati keyakinan agama lainnya. Buya juga menggunakan pendekatan empati dalam berinteraksi dengan penganut agama lain, bukan berarti membenarkan keyakinan mereka. Hal ini membuat Buya akrab dengan kelompok non muslim seolah tak ada sekat.
Bisa disimpulkan bahwa pluralisme yang dipromosikan oleh Buya Syafii bukanlah relativisme, namun pluralisme sosiologis dimana kemajemukan dianggap sebagai sesuatu yang positif, bukan sebagai ancaman. Dengan membaca disertasi Muhammad Qorib yang sudah dibukukan diharapkan kesalahpahaman soal pluralisme Buya Syafii bisa terjawab.
Buya Syafii dan Ahok
Momentum Indonesia Lawyer Club dimana Buya Syafii hadir sebagai salah satu pemateri menjadi momentum merebaknya kesalahpahaman terhadap Buya Syafii secara massif. Ada dua poin yang disampaikan oleh Buya pada waktu itu, pertama apa yang dilakukan Ahok bukanlah penistaan agama, kedua Buya menolak politisasi agama untuk kepentingan Pilkada.
Dua pendapat itu kemudian meledak dan membuat banyak pihak menganggap Buya Syafii menyakiti hati umat Islam. Momentum politik pada waktu itu memang sedang panas, sehingga emosi masyarakat gampang tersulut.
Saking panasnya bahkan ada kader muda Muhammadiyah yang nekad berencana mendemo rumah Buya Syafii. Hal ini segera diantisipasi oleh ortom-ortom Muhammadiyah DIY yang terlebih dahulu mendatangi rumah Buya. Di sanalah terjadi percakapan yang lebih intens tentang apa yang sebenarnya Buya pikirkan.
Dalam liputan yang dimuat media online rakyat merdeka, pada dasarnya Buya Syafii menganggap bahwa Ahok tetap salah. Ahok mulutnya tidak bisa dijaga berbicara di luar kapasitasnya. Buya menyayangkan Ahok yang membawa-bawa dalil Al Quran padahal beliau bukan ahli di bidang itu.
Namun menurut Buya, kesalahan Ahok tidak sampai pada level penistaan agama. Di sini perbedaan Buya dengan mayoritas umat Islam. Di sini juga Buya harus melawan arus. Tentu dialektika apakah yang dilakukan Ahok penistaan atau bukan adalah perbedaan penafsiran yang niscaya dalam agama. Bukan bagian dari hal yang mengeluarkan seseorang dari akidah Islam.
Dalam persoalan ini kita tidak harus sepakat dengan Buya, namun setidaknya kita bisa memahami bahwa di sanalah titik tengkar kita dengan Buya.
Pernyataan selanjutnya Buya mengatakan bahwa pernyataan tersebut tidak dalam rangka mendukung Ahok sebagai paslon peserta Pilkada. Buya mengaku tidak ikut campur dengan urusan politik di DKI. Hal ini membantah bahwa Buya adalah pendukung Ahok dalam konteks elektoral. Sayangnya kesalahpahaman ini masih banyak beredar.
Sikap Politik Buya Syafii Maarif
Banyak yang salah paham mengatakan Buya Syafii cebong. Hal ini karena Buya Syafii terlihat kurang galak dalam mengkritik pemerintah bahkan sempat menjadi Wantimpres. Buya juga sempat tergabung dalam BPIP.
Menjawab ini sebenarnya cukup mudah. Silahkan anda googling dengan kata kunci Kritik Syafii Maarif Jokowi. Niscaya akan mudah ditemukan kritik Buya Syafii terhadap Presiden. Misalnya soal pemecatan 57 pegawai KPK karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan. Buya meminta Jokowi tegas.
Itu baru kritik yang terbuka, belum lagi kritik yang dilakukan secara tertutup. Pasti lebih banyak lagi. Sikap-sikap kritis Buya juga dapat kita temukan dalam tulisannya di Resonansi. Sayangnya kita lebih banyak menutup mata soal ini.
Mungkin kita berharap kritik yang disampaikan Buya adalah kritik yang disampaikan buzzer. Menuduh Jokowi PKI. Menuduh Jokowi anti Islam. Tapi Buya bukanlah buzzer. Kritik yang disampaikannya adalah kritik yang otentik. Bukan kritik dengan tujuan kepentingan politik.
Ada sebuah kisah menarik, pada masa Presiden SBY menjabat dengan Wapres Jusuf Kalla, Buya pernah mengkritik bahwa The Real President adalah Jusuf Kalla. Karena JK lebih banyak melakukan gebrakan. Setelah berbicara seperti itu, kabarnya SBY belum mau berbicata lagi dengan Buya Syafii sampai hari ini.
Tentu saja tidak ada manusia yang maksum selain Nabi Muhammad. Sebagai manusia biasa, Buya juga pasti mempunyai khilaf, seperti halnya Pak Amien Rais juga punya, Pak Din Syamsuddin juga punya, dan Pak Haedar juga punya.
Sekiranya jika kita adalah warga Muhammadiyah, maka kita harus menghormati seluruh Ketua Umum kita tanpa membedakan mereka satu sama lain. Hal ini bukan bentuk taklid buta, namun bagian dari etika organisasi.
Kalau anda bukan warga Muhammadiyah, maka hendaknya anda juga menghormati Buya Syafii Maarif sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah sebagai sesama muslim. Terakhir, semoga tulisan ini bisa meluruskan sebagian kesalahpahaman yang beredar. Walau mungkin masih banyak kekurangan.
Editor: Soleh