Indonesia sebagai adalah negara yang menjadikan pluralitas agama sebagai entitas utama sekaligus pijakan dalam bernegara. Dasar negara berupa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, meneguhkan identitas Indonesia sebagai negara kesatuan dari banyak agama. Bukan negara agama maupun negara sekuler. Karena bukan negara agama dan juga sekuler, tentu tidak boleh ada salah satu agama maupun kelompok agama yang kemudian yang melakukan dominasi di ruang publik.
Akan tetapi, pada faktanya terdapat sebuah kenyataan bahwa ada beberapa kekuatan formalisasi agama di ruang publik. Pada saat yang bersamaan terdapat pola dominasi yang dilakukan oleh salah satu kelompok keagamaan. Hal tersebut didorong oleh gejala reziminitas agama oleh salah satu kelompok yang semakin berderap kencang. Setali tiga uang juga dengan kecenderungan penguasaan makna dan kepentingan kelompok agama berbentuk pandangan serta narasi di ruang publik.
Akuisisi paham agama juga menjadi salah satu dari gejala dominasi paham agama yang bersifat tunggal. Antar kelompok seakan saling melakukan klaim pendapat dan pandangan, serta tidak sedikit memaksakannya terhadap publik. Masyarakat seakan menjadi kambing hitam tarik ulur doktrinasi paham agama antar kelompok keagamaan. Akibatnya terjadi polarisasi dan disintegrasi antar umat beragama yang berujung pada keretakan hubungan umat beragama.
Transaksi politik praktis yang beriringan dengan menguatnya isu agama pada proses politik elektoral. Mengakibatkan beberapa kelompok keagamaan, terbawa arus hingar-bingar politik praktis. Terkadang juga tidak sejalan dengan nilai-nilai agama yang inklusif dan universal. Sutradara dan aktor politik seakan tuli dan buta dengan keadaan masyarakat yang masih puber politik praktis. Hal tersebut mengakibatkan paham agama mudah dibawa oleh kepentingan politik praktis yang niretika.
***
Tokoh agama pun seakan saling berlomba-lomba menarik masyarakat untuk menjadi jamaahnya. Mereka melakukan segala daya upaya untuk menarik simpati masyarakat untuk menjadi bagian dari kelompoknya. Seperti halnya seorang peserta pemilu, mereka mengkampanyekan paham agama yang sudah mereka modifikasi sedemikian rupa. Ditambah lagi, menggunakan alat peraga kampanye paham agama dengan style pakaian maupun kebiasaan tertentu yang dianggap agamis. Mirisnya kondisi tersebut tidak disadari oleh sebagian masyarakat, sebagai sebuah misi paham keagamaan yang tunggal kelompok tertentu. Malah justru sebaliknya, hal-hal tadi malah seakan menjadi pop culture agama dewasa ini.
Menguatnya dominasi paham tunggal tersebut dapat dilihat juga dari beberapa fenomena berikut ini. Pertama, adanya pemaksaan pamahaman agama yang berkolaborasi dengan kekuatan politik. Kedua, mulai banyak kanal media digital yang memunculkan narasi bersifat ekstrem dan cenderung mengunggulkan kelompoknya saja, sekaligus menafikkan kelompok lainnya. Ketiga, adanya pengaruh dari kekuatan oligarki kekuasaan dan otoritas keagamaan. Paham keagamaan tertentu yang kemudian dipaksakan secara sistemik dengan menjadikannya sebagai otoritas dan tafsir tunggal yang bersifat monolitik. Ketiga, kecenderungan dominasi dan sikap monolitik tersebut, tentunya tidak sejalan bagi kehidupan beragama dan bernegara yang berdasarkan pada nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Maka, berangkat dari hal tersebut, perlu adanya peran negara untuk bersikap moderat atau adil dan objektif untuk memposisikan dan memberi ruang bebas bagi seluruh kelompok atau golongan tanpa adanya diskriminasi. Seluruh ormas agama perlu menguatkan paradigma yang wasathiyah Islam yang orisinil. Dengan melakukan upaya moderasi beragama yang tidak dipaksakan dan mendikte negara.
Negara juga perlu menjadi fasilitator bagi seluruh ormas keislaman dan ormas keagamaan agar dapat menjadi mitra negara. Tidak ada pendeskritan antar ormas, apalagi membuat salah satu ormas menjadi anak emas negara. Negara sebagai badan otoritas besar dan mutlak perlu mengontrol kepentingan kekuasaan berbasiskan agama. Tidak boleh ada kepentingan politik sesaat yang menyandera ormas atas nama apapun.
***
Sikap netralitas negara juga perlu dikedepankan. Agar tidak menjadi alat politisasi agama dalam bentuk institusi agama yang dilakukan oleh segelintir kelompok masyarakat. Kedepan harus ada sistem negara yang kemudian memisahkan politik terhadap kepentingan golongan ormas Islam. Yaitu dengan tidak menggunakan isu keagamaan sebagai isu politik meanstream dan nonmainstream.
Semuanya tersebut adalah upaya yang dapat ditempuh oleh kita semua. Hal itu guna menciptakan ruang kebebasan paham agama apapun. Tak boleh ada satupun golongan, organisasi, bahkan badan otoritatif (baca:negara), menyandera paham agama masyarakat. Apalagi menjadi paham agama yang tunggal. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Bahwa negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menjamin kemerdekaan setiap penduduknya, untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Baik mereka yang mengatasnamakan Islam golongan kanan, dan Islam golongan kiri, harus sama-sama dilindungi oleh negara. Selama memang tidak membahayakan kedaulatan dan keamanan agama, mereka wajib diberikan kedaulatan untuk berfikir, berbicara, dan bertindak. Negara perlu menerapkan pluralisme tidak hanya pada jumlah agamanya saja secara kuantitatif. Namun, termasuk juga pada aspek pemahamannya yang bersifat kualitati. Karena justru disini perlu ada fasilitasi dan pengarahan dari negara yang tidak bersifat mengekang. Agar seluruh paham agama mendapatkan ruang aman oleh negara.
Dengan adanya ruang aman tersebut, maka kedepan tak ada lagi upaya-upaya dari pihak manapun yang berusaha mengintervensi dan mendiskriminasi paham agama menjadi tunggal. Paham agama kedepan akan lebih dinamis dan juga tidak ada paksaan untuk memahami salah satu paham agama. Laa Ikrahaa Fiid Diin. Tidak ada paksaan dalam beragama. Termasuk di dalamnya tidak ada paksaan dalam memahami paham agama. Baik yang mengatasnamakan dirinya sebagai Islam golongan Salafis, Islam golongan Fundamentalis, Islam golongan Moderat, Islam golongan Tradisnionalis, dan lainnya. tidak boleh ada yang saling melakukan dominasi paham agama bersifat tunggal. Wallahu’alam Bish Shawwab.