“Sosialisme Islam, mungkinkah diterima?”
Rizal Mallarangeng dalam kumpulan esainya yang berjudul Dari Langit: Kumpulan Esai Tentang Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan menceritakan tentang sosok yang bernama Milovan Djilas. Djilas adalah salah seorang pemimpin komunis Yugoslavia yang kemudian berbalik mengkritik sistem yang diperjuangkannya tersebut. Hal ini karena rasa kecewanya terhadap praktik komunisme yang justru jauh panggang dari api dengan yang dijanjikan.
Menurut Djilas, revolusi komunis adalah sebuah penipuan sejarah. Komunisme menurut Djilas terlalu banyak mengumbar janji namun hanya sedikit yang ditepati. Sistem komunisme juga membuat adanya perang laten antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya. Hal ini menurut Djilas karena kemunculan The New Class.
Komunisme menjanjikan masyarakat tanpa kelas, namun dalam praktiknya justru malah muncul kelas baru, yakni para birokrat kekuasaan komunis yang menindas rakyatnya. Kaum birokrat ini tidak ada yang mengawasi, dan mereka sangat solid. Mereka menikmati kemewahan di atas penderitaan rakyat. Kelas baru ini menghisap rakyat.
Walaupun mengkritik komunisme sebagai suatu praktik, namun bukan berarti Djilas menjadi pendukung ideologi lawannya, yakni kapitalis. Menurutnya, seharusnya komunisme menciptakan sistem demokratis sejak awal berdirinya. Djilas masih meyakini sosialisme sebagai jalan menuju kesejahteraan walaupun mengutuk komunisme. Djilas menyebut dirinya sosial demokrat (sosdem).
Jika komunisme telah terbukti gagal dan membuat kecewa pendukungnya sendiri seperti Djilas, bagaimana dengan sosialisme? Apakah berarti sosialisme yang merupakan bentuk moderat dari komunisme harus ditinggalkan juga? Atau sosialisme masih bisa dipertimbangkan sebagai cara meraih kesejahteraan?
Sosialisme Sebagai Falsafah Pendiri Bangsa
Sosialisme bukanlah hal yang asing dalam kehidupan berbangsa kita. Sila kelima dan pasal 33 UUD 1945 sangat bernuansa sosialis. Sila kelima berbunyi keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3 berbunyi cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tentu bukan kebetulan sila ke-5 dan pasal 33 UUD 1945 itu lahir, namun hal ini menunjukan bahwa sosialisme menjadi pola pikir yang tertanam dalam alam pikiran founding fathers kita. Walaupun kita lebih mengenal mereka sebagai seorang nasionalis dibanding sosialis. Lantas bagaimana pandangan tokoh-tokoh Islam terhadap sosialisme? Apakah positif atau negatif?
Siapa yang tak kenal dengan HOS. Cokroaminoto, seorang pahlawan dan guru bangsa yang berhasil membuat gerakan Islam terbesar sebelum kemerdekaan. Sosok yang dikenal dengan slogan, setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid dan sepintar-pintar siasat adalah sosok kharismatik pemimpin Syarikat Islam. Murid-muridnya berhasil menjadi tokoh dengan ideologi berbeda, ada Semaun yang komunis, Soekarno yang nasionalis dan Kartosuwiryo yang Islamis.
Sosialisme Islam
Pada tahun 1924, HOS Cokroaminoto menerbitkan buku yang berjudul Islam dan Sosialisme. Dalam buku ini, Cokroaminoto ingin agar antara ideologi sosialisme dengan ajaran Islam bisa berjalan beriringan dan tidak saling menafikan. Sosialisme hanya akan berjalan dengan baik jika dilandasi dengan ajaran agama. Sosialisme tanpa dilandasi ajaran agama akan membawa kepada kerusakan, menurut Cokroaminoto.
Dalam bukunya Islam dan Sosialisme, HOS Cokroaminoto menyatakan: “Sosialisme hanyalah bisa menjadi sempurna apabila tiap-tiap manusia tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri saja sebagai binatang atau burung, tetapi hidup untuk keperluan masyarakat bersama, karena segala apa saja yang ada hanyalah berasal atau dijadikan oleh satu kekuatan atau satu kekuasaan, ialah Allah Yang Maha Kuasa” (Tjokroaminoto, 1963: 71).
HOS Cokroaminoto tidak menelan mentah-mentah semua ide Karl Marx. Dia tetap kritis dan menolak bagian-bagian yang bertentangan dengan agama Islam. “Bagi kita orang Islam, tidak ada sosialisme atau rupa-rupa isme yang lain-lainnya yang lebih baik, lebih elok, dan lebih mulia, selain sosialisme yang berdasarkan Islam, itu saja,” demikian Cokroaminoto menyimpulkan.
Cokroaminoto juga berpendapat bahwa sistem sosialisme yang sejati telah diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW 14 abad yang lalu. “Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka negara itu segeralah diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikannya milik negara. Politik yang demikian itu dilanjutkannya, malahan sampai Islam telah melancarkan dirinya ke negeri-negeri luar.”
Membaca Al Quran, Menemukan Sosialisme
Pembahasan Islam dan Sosialisme juga dipikirkan oleh KH. Ahmad Dahlan. Dalam buku karangan KRH. Hadjid berjudul Pelajaran Kiai Ahmad Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Kelompok Ayat Al Quran, terdapat satu bab yang berjudul Islam dan Sosialisme. Bab ini merupakan satu dari 17 kelompok ayat yang dibahas Kiai Dahlan, yakni QS. At Taubah: 34-35.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih; pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka, Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kalian simpan itu.”
Kiai Dahlan menjadikan 2 ayat ini sebagai dalil kesesuaian Islam dengan Sosialisme. Selama ini pemahaman mayoritas muslim, tidak apa-apa menyimpan harta asal sudah menunaikan zakat dan sedekah. Menurut Kiai Dahlan, berdasarkan ayat ini seharusnya seorang muslim memiliki harta sesuai dengan keperluannya saja, sedangkan kelebihannya harus disedekahkan. Kiai Dahlan mengutip pendapat dari sahabat Nabi Abu Dzar Al Ghifari yang berpandangan serupa.
Sosialisme Islam:Gagasan yang Perlu Dikembangkan
Selama ini kita sudah sangat akrab dengan teologi Al Maun dan juga teologi Al Ashr yang belakangan ini mulai digali kembali. Sedangkan pemahaman Kiai Dahlan tentang At Taubah 34-35 ini belum banyak digali, padahal pendapat Kiai Dahlan satu ini sangat radikal dan sangat sosialistik. Tentu Kiai Dahlan tidak hanya berwacana, apa yang diwacanakan dijalankan dalam laku hidup. Kita pernah dengar cerita Kiai Dahlan memukul kentongan untuk melelang perabotan rumahnya guna biaya operasional persyarikatan.
Sosialisme dalam bentuknya yang murni memang berbeda dengan ajaran Islam, terutama dalam aspek epistemologisnya. Sosialisme berasal dari pemahaman akal semata, sementara Islam berasal dari wahyu. Namun dalam perjalanannya, para pemikir umat Islam berhasil menemukan kesamaan-kesamaan yang membuat Islam dan sosialisme berjalan secara beriringan. Walaupun bagian berupa sentimen anti Tuhan dan agama yang dikembangkan sosialisme barat ditolak. Bahkan para pemikir kita berhasil menggali pemikiran sosialisme dari sumber utama ajaran Islam, yakni Al Quran dan Sunnah. Hal ini perlu kita apresiasi dan terus kita kembangkan.