Perspektif

Menumbuhkan Secure Attachment di Tengah Pandemi

3 Mins read

“Anakmu bukanlah anakmu, mereka adalah anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri” (Kahlil Gibran)

Pengasuhan Anak

Tidak pernah ada rumus permanen tentang pola asuh yang tepat. Namun, setiap individu yang mengasuh anak, baik orang tua, kakek-nenek, maupun keluarga besar, harus memahami bahwa anak adalah imitator ulung. Tak ada yang luput dari medan observasi anak-anak. Hal tersebut sesuai dengan teori modeling yang dikemukakan oleh Albert Bandura dalam teori pembelajaran sosial. Anak-anak seringkali meniru tingkah laku dari sesuatu yang dilihatnya, bahkan terkadang melakukan hal yang sama persis.

Faktanya, anak cenderung lebih dekat dengan teman sebayanya. Sedangkan kini anak-anak sebagai pengguna aktif internet juga menghabiskan sebagian besar waktunya dalam lingkup relasi sosial tertentu, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Jika seorang anak bersekolah, maka bisa dikatakan hampir lebih dari delapan jam dalam sehari, mereka habiskan waktu bersama teman sebaya.

Padahal, kita tahu bahwa menurut tokoh psikologi perkembangan bernama Piaget, anak yang berada pada fase 8-12 tahun, memang telah mampu berpikir konkret. Namun, hanya benda-benda yang bersifat konkret saja. Sedangkan kegiatan operation belum mampu dicerna oleh anak, karena kegiatan ini memerlukan proses transformasi informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif.

Anak masih dalam proses mencoba-coba dan membuat kesalahan, karena anak belum dapat berpikir dengan menggunakan model “kemungkinan”. Anak belum dapat mengintegrasikan hasil yang telah dicapai dari proses belajar sebelumnya. Oleh karena itu, anak-anak sangat mudah terpengaruh dalam interaksi teman sebaya.

Mengacu pada Jurnal Pemikiran Sosiologi, khususnya dalam artikel “Pengaruh Interaksi dalam Peer Group Terhadap Perilaku Cyberbullying Siswa” yang ditulis oleh Arsa Ilmi Budiarti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara semua variabel penelitian yang digunakan, interaksi dalam peer group menjadi variabel yang paling berpengaruh terhadap perilaku cyberbullying siswa. Hal ini menunjukkan bahwa teman sebaya melalui interaksinya memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam mendukung perilaku cyberbullying siswa.

Baca Juga  Beragama di Era Post-Truth

Oleh karena itu, dengan kehadiran pandemi yang memang tidak pernah kita harapkan, justru mampu menjadi sebuah momen refleksi bersama. Ketika seisi rumah tidak lagi menemukan komunitas masing-masing, tidak bertatap muka dengan peer group, melupakan sejenak rutinitas, terkendala dalam menyalurkan hobi. Di tengah kebersamaan dengan keluarga tersebut, justru muncul distress yang menghambat produktivitas. Banyak dari kita mungkin bertanya-tanya, apakah kita justru merasa lebih lekat dengan komunitas sosial tertentu dibandingkan dengan keluarga?

Pengertian Attachment

Attachment atau kelekatan, merupakan sebuah teori yang awalnya dikemukakan oleh Bowlby pada tahun 1969. Penelitian Bowlby terkait dampak yang terjadi pada bayi yang dipisahkan dengan ibunya secara emosional. Kemudian teori tentang attachment dikembangkan oleh banyak tokoh lain menjadi kelekatan pada pasangan, serta kelekatan dengan figur lekat lain.

Menurut Bowlby sendiri, manusia dilahirkan dengan suatu sifat bawaan (innate psychobiological system) yang mendorong mereka untuk mendekat dengan figur lekat (sifnificant others) pada waktu yang dibutuhkan. Setiap orang sejatinya memiliki figur lekat masing-masing, di mana kita merasa aman ketika bersama dengan orang tersebut. Namun, attachment dalam kadar serta sifat tertentu juga bisa menjadi sebuah penyakit bagi individu, seperti kecemasan berpisah, ketergantungan, dan tidak mandiri.

Menurut Ainsworth (Morrison, 2002) attachment dibagi menjadi tiga jenis, yaitu secure attachment, anxious-insecure attachment, dan ambivalent attachment. Dari ketiga jenis tersebut, orang tua harus berusaha menumbuhkan secure attachment pada anak. Secure attachment sendiri merupakan keterikatan yang aman berupa kasih sayang yang diberikan orang tua pada anak secara konsisten dan responsif dalam menumbuhkan rasa aman dan kasih sayang.

Menumbuhkan secure attachment menjadi bagian yang sangat penting dalam proses kehidupan manusia. Dimana ada keterikatan secara emosional antara orangtua dengan anak. Namun, dalam kadar yang tepat dan bersifat memberikan rasa aman serta menumbuhkan kepercayaan diri.

Baca Juga  Islam Rahmatan lil Alamin: Tiga Pandangan Tokoh Muslim

Tujuh Karakteristik

Adapun karakteristik individu yang memiliki secure attachment adalah: pertama, individu yang memiliki secure attachment mampu menjalin hubungan yang baik. Mereka cenderung lebih ramah dalam berhubungan dengan orang lain, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam konteks yang lebih luas.

Kedua, individu yang secure attachment sangat mandiri karena tidak selalu bergantung pada orang lain. Umumnya, individu yang secure attachment merasa yakin dalam melakukan suatu hal dan dalam pengambilan keputusan. Mereka tidak ragu-ragu dan impulsive, karena mereka percaya pada kemampuan dirinya.

Ketiga, individu yang secure attachment cenderung tidak menjauhi orang lain dan lebih terbuka dengan orang lain. Mereka mampu menjalin relasi serta membangun pola komunikasi positif dengan orang di sekitarnya.

Keempat, individu yang secure attachment biasanya sangat dekat dengan orang yang disayanginya. Dalam konteks anak-anak, tentu orang tua dan keluarganya. Kedekatan tersebut tidak menimbulkan kecemasan yang berlebihan ketika berpisah. Namun, dapat menunjukkan sikap menyayangi dengan cara yang tepat.

Kelima, individu yang secure attachment lebih mampu berempati dengan orang lain. Hal tersebut disebabkan karena mereka memiliki rasa sosial yang tinggi.

Keenam, individu yang secure attachment cenderung lebih percaya terhadap orang yang disayanginya seperti orang tua dan keluarga dekat, karena mereka memiliki pola hubungan yang sangat dekat dan didasari oleh kasih sayang.

Ketujuh, individu yang secure attachment lebih nyaman untuk menghabiskan waktu bersama dengan orang-orang yang disayanginya seperti keluarganya.

Dalam situasi pandemik yang mengharuskan seluruh anggota keluarga berada di rumah, melakukan banyak aktivitas bersama. Tentu kita bisa mengukur sejauh mana rasa aman dan percaya tertanam dalam diri anak, sehingga tercipta secure attachment sebagai dasar perkembangan psikologis pada level kehidupan selanjutnya.

Baca Juga  Berdamai dengan Corona: Menyerah?

Editor: Arif

1 posts

About author
Penulis Buku : Novel Love Story of Gavan (2014), Antologi Cerpen Kereta dan Melodi Melankoli (2015), Novel Perempuan Penjaga Sejarah (2017), PERSONA (2019)
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds