Oleh: Aldi Bintang Hanafiah*
Saat ini, manusia hidup di tengah-tengah globalisasi. Bersama kemajuan teknologi yang begitu pesat, seakan-akan dunia berada di dalam genggaman tangan manusia. Bahkan, bisa jadi dunia berada di ujung jari-jemari. Pasalnya dengan sentuhan ujung jari-jemari segala informasi diseluruh penjuru dunia dengan bermodalkan internet dapat diakses dengan mudah dan cepat.
Inilah abad ke 21 dengan segala kemajuan dan kecanggihannya. Manusia tidak hanya dimanjakan dengan eloknya teknologi namun dalam hal ini manusia juga bisa mengusir Tuhan, menggantikan peran Tuhan sebagai pencipta.
Manusia Kehilangan Dominasi
Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, menelaah ke masa depan dan mengeksplorasi bagaimana kekuatan global bergeser. Kekuatan utama evolusi atau seleksi alam akan digantikan oleh teknologi baru tingkat dewa, seperti kecerdasan dan rekayasa genetika. Terbukti oleh seorang bernama David Franklin Hanson sang pengusaha dan juga ahli robotik asal Amerika Serikat. Dengan kejeniusannya ia berhasil menciptakan robot bernama Sophia yang berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intellegence, Al).
Di satu sisi, mungkin ini adalah suatu kemajuan dan peranannya dapat membantu beberapa pekerjaan manusia. Namun, di sisi lain seperti yang disebutkan oleh para pakar seperti Bill Gates dan Stephen Hawking, Artificial Intellegence dapat menjadi lebih cerdas dari manusia. Bahkan dapat menghancurkan dengan cara mengalahkan manusia dalam ragam bidang pekerjaan.
Jika demikian yang terjadi tentu manusia akan kehilangan dominasinya diatas dunia, manusia akan tergantikan oleh mesin-mesin canggih. Mereka yang tidak kuat bersaing dan lemah akan tersingkir dari dunia pekerjaan. Manusia banyak yang mengalami pengangguran dan memungkinkan terjadinya kriminal dimana-mana.
Pada akhirnya manusia akan mengalami seperti yang dikatakan filsuf asal Inggris Thomas Hobbes, “Homo Homini Lupus” Manusia adalah serigala bagi manusia lain. Tak peduli dengan menghalalkan segala cara yang terpenting manusia dapat mempertahankan hidupnya.
Homo Consumense
Menelisik ke dalam realita kehidupan saat ini, kemajuan-kemajuan seperti yang telah diungkapkan sepertinya kering akan nilai-nilai moralitas dan religiusitas. Kaum kapitalistik yang angkuh dan licik memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut untuk terus menumpuk kekayaannya.
Melalui pabrik-pabrik besarnya mereka seolah-olah menekan pengluaran untuk gaji karyawan dengan mengantikan mesin-mesin canggih tersebut. Dengan mesin-mesin canggih tentu pengeluaran untuk karyawan tidak akan banyak. Juga tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk jaminan sosial seperti jaminan pemeliharaan ksehatan, jaminan hari tua, jaminan kematian, dan jaminan kecelakaan kerja.
Selain daripada itu, kaum kapitalis telah memproduksi barang-barang yang dapat membelenggu manusia dan membentuk suatu budaya bernama hedonisme. Di mana manusia menjadi homo consumense (manusia konsumsi).
Mengutip dari tulisan Buya Syafii bila dihubungkan dengan pendapat Erich Fromm dalam bukunya The Revolution of Hope, manusia atau hewan tidak saja telah digantikan oleh energi mesin. Tetapi cara berpikir manusia telah digantikan oleh jalan pikiran mesin, sementara realitas hidup manusia semakin dikendalikan oleh prinsip materialsme hedonistik.
Ditegaskan lebih jauh bahwa manusia telah menjadi homo consumense yang tujuan hidupnya berputar pada “to have more and to use more.” Masyarakat macam ini telah menghasilkan banyak sekali barang-barang tanpa guna (useless things) dan pada batas yang sama juga melahirkan banyak useless people (manusia tanpa guna). Akibat fatalnya adalah kebosanan di mana-mana. Tingkah laku homo consumense digambarkan sebagai orang yang mereguk minuman asin. Semakin diminum semakin menambah rasa dahaga.
Mengusir Tuhan
Budaya semacam itu tentu lama-kelamaan jika melekat di dalam jiwa manusia akan berakibat gersang dan tandusnya hati untuk menerima suatu kebenaran. Nilai-nilai moral transendental tidak lagi menjadi acuan. Dalam hal ini Buya Syafii menggambarkan manusia akan sulit menerima seruan Muhammad. Seruan yang berintikan tauhid dan implikasinya berupa tegaknya keadilan sosial serta keadilan ekonomi, tanpa pilih kasih.
Demikian halnya dengan para elit negeri seperti politisi, yang masyarakat sendiri sebenarnya bosan melihat para pemimpin banyak yang keluar-masuk KPK. Mereka adalah politisi rabun ayam yang hanya mementingkan diri sendiri dan juga kelompoknya untuk kepentingan sesaat. Mereka meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Mirisnya, kebanyakan dari mereka adalah yang mengaku dirinya beriman dan berTuhan.
Kritikan pedas yang ditulis Buya Syafi’i, Al-Qur’an merekam: “Mereka mengenal sisi luar dari kehidupan dunia ini, sedangkan tentang al-akhirah (muara hidup yang sejati) tidak mereka hiraukan.” Keterpukauan terhadap keseronokan duniawi telah menumpulkan nurani mereka untuk berkenalan dengan nilai-nilai hidup yang lebih tinggi.
Mereka telah “mengusir” Tuhan dari kawasan kegiatan dunia mereka. Ketiadaan kepekaan spiritual inilah yang menyebabkan terkuncinya hati seorang untuk menerima cahaya kebenaran. Al-Qur’an dalam surat al-Hajj (Q.S. 22) ayat 46 menyoroti situasi ini: “Maka sesungguhnya yang buta bukan penglihatan (mereka), tetapi adalah hati yang ada dalam dada (mereka).”
*) Aktivis IMM Malang Raya