Perspektif

Menyambut Museum Muhammadiyah

2 Mins read

Senin (14/11) yang lalu menjadi hari yang bersejarah bagi Muhammadiyah karena resmi telah membuka museum yang menyimpan jejak perjalanan sejak berdirinya pada 1912. Museum yang dimulai pembangunannya sejak 2018 ini pun akhirnya dibuka untuk publik setelah sempat tertunda penyelesaiannya karena pandemi, kurang dari sepekan sebelum gelaran Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo.

Hadirnya Museum Muhammadiyah

Kehadiran museum ini bagi Muhammadiyah setidaknya memiliki dua makna penting.

Pertama, museum ini mengukuhkan eksistensi Muhammadiyah yang menjadi pilar penting bagi keistimewaan Yogyakarta. Sri Sultan Hamegkubuwana X pernah menyampaikan bahwa Yogyakarta memiliki empat pilar kesejarahan yang penting yakni Keraton, Universitas Gadjah Mada, Taman Siswa, dan Muhammadiyah. Pernyataan Sultan tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari Yogyakarta.

Yogyakarta tidak sekadar tempat kelahiran Muhammadiyah tetapi saksi torehan gerakan Islam berkemajuan yang dilakukan Muhammadiyah lebih dari satu abad. Di Museum Muhammadiyah terekam jejak ide dan gagasan Muhammadiyah dalam memajukan Indonesia yang dimulai dari Kauman, kampung tempat lahirnya.

Di salah satu diorama Museum Muhammadiyah terdapat replika kapal uap yang mengilustrasikan kapal yang digunakan oleh KH Ahmad Dahlan saat berhaji. Lebih khusus untuk haji yang kedua yang dibantu pembiayaannya oleh Sultan Hamengkubuwana VII, keberangkatan pendiri Muhammadiyah tersebut ke Makkah menjadi pintu awal terbukanya pemikiran beliau untuk memajukan Islam yang saat itu sudah stagnan dan jumud terbenam dalam feodalisme dan ritus agama yang tidak substantif.

***

Kedua, melalui museum ini Muhammadiyah melengkapi keberadaan 40 museum lain yang telah ada di DIY. Jika sejarah Yogyakarta sebagai kota perjuangan diibaratkan sebuah puzzle besar yang disusun dari informasi-informasi dari berbagai museum di DIY, kehadiran Museum Muhammadiyah melengkapi satu bagian penting dari sejarah perjalanan Yogyakarta yang belum tersaji di museum-museum lain yang sudah ada.

Baca Juga  Diaspora Kader Muhammadiyah di Al-Azhar, Mesir: Ikhtiar Atasi Krisis Ulama Ahli Turats di Muhammadiyah

Puzzle penting sejarah Yogyakarta di Museum Muhammadiyah tidak lain adalah foto-foto kegiatan pelayanan sosial Muhammadiyah melalui kegiatan Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dalam bentuk rumah sakit dan rumah yatim yang terletak di diorama lantai dua. Rumah sakit yang dibangun Muhammadiyah adalah rumah sakit milik pribumi pertama yang dirintis sejak 1923. Rumah sakit bagian PKO itu adalah wujud kemandirian pribumi dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang saat itu masih diskriminatif akibat kolonialisme sekaligus perlawanan atas Zending-Misi.

Begitu juga untuk rumah yatim, Muhammadiyah lah yang pertama kali membangun rumah yatim (wees huis) pertama yang fasilitasnya representatif dari kalangan pribumi. Dalam koran Het Nieuws van de Dag voor Nederlandesch-Indie, 7 Oktober 1931 diberitakan betapa luas biasanya peresmian rumah yatim Muhammadiyah di Lowano Yogyakarta yang dihadiri oleh Resident van Djokja, pejabat Binnenland Bestuur, Sultan Hamengkubuwana VIII, dan Adipati Pakualaman.

Kiprah Muhammadiyah dalam memperjuangkan perempuan agar mendapat hak pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki dengan mendirikan ruang-ruang khusus perempuan di Kauman juga menjadi sajian penting di salah satu diorama di museum in.

Travel Pattern Baru Wisata Sejarah

Dalam sambutan peresmian yang disampaikan mewakili Presiden Jokowi, Menko PMK Muhadjir Effendi berharap hadirnya Museum Muhammadiyah bisa diintegrasikan dengan Makam Karangkajen yang merupakan makam dari pendiri, pimpinan, dan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang letaknya tidak jauh dari museum yang berada di komplek Universitas Ahmad Dahlan.

Jika selama ini wisatawan yang meminati sejarah Muhammadiyah hanya berkunjung ke kampung Kauman, Karangkajen dan Kotagede, maka pola perjalanan bisa dihubungkan dengan Museum Muhammadiyah yang diharapkan menjadi menambah panjang durasi waktu untuk menikmati wisata sejarah di Yogyakarta. Dengan durasi waktu yang lebih panjang, diharapkan wisatawan yang berkunjung menikmati sejarah Muhammadiyah di Yogyakarta juga bisa semakin meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Baca Juga  Etos Belajar Muhammadiyah: Menjadi Guru Sekaligus Murid

Editor: Yahya

Avatar
2 posts

About author
Dosen Prodi Bisnis Perjalanan Wisata UGM & Penulis Buku Filantropi Masyarakat Perkotaan
Articles
Related posts
Perspektif

Bulan Puasa dan Gairah Kepedulian Sosial Kita

3 Mins read
Tidak terasa kita telah berada di bulan puasa, bulan yang menurut kepercayaan umat Islam adalah bulan penuh rahmat. Bulan yang memiliki banyak…
Perspektif

Hisab ma’a al-Jami’iyyin: Tanggung Jawab Akademisi Muslim Menurut Al-Faruqi

4 Mins read
Prof. Dr. Ismail Raji Al-Faruqi merupakan guru besar studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Beliau dikenal sebagai cendekiawan muslim dengan ide-idenya…
Perspektif

Rashdul Kiblat Global, Momentum Meluruskan Arah Kiblat

2 Mins read
Menghadap kiblat merupakan salah satu sarat sah salat. Tentu, hal ini berlaku dalam keadaan normal. Karena terdapat keadaan di mana menghadap kiblat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *