Islam sebagai agama yang indah, ramah dan santun, harus bisa menjadi sebuah cahaya yang bisa memberikan pancaran ke berbagai arah. Konsepsi yang paling arif dan bijak ketika persinggungan akan sebuah distingsi yang masih saja bergulat menjadi retorika yang bergumul dan dialektika yang mendogma.
Kemenangan yang menjadi titik akhir dan titik temu harusnya bisa diejawantahkan menjadi sebuah ulasan yang melebur ke berbagai arah dan komponen Islam. Seringnya perdebatan yang bisa menimbulkan percikan api pertengkaran ialah prosesi uji pikir dan mental yang keras dan inginnya menang sendiri.
Keilmuan yang harusnya dibantah dengan keilmuan, bukan malah dengan kekerasan dan fisik. Terutama pembahasan kelompok-kelompok Islam yang mempunyai mazhab dan pandangan yang berbeda, itu bisa menimbulkan sebuah metode dasar yang berbeda pula ketika makna arif dan santun tidak tersampaikan. Keawaman tentang Islam dan beberapa keilmuannya, seringkali dibawa kearah yang ekstrim dan eksklusif.
Rekonsiliasi Konsep Dasar Islam
Islam di Indonesia harus bisa menjadi Islam yang wasathiyah dan bisa bermoderasi akan sebuah multikulturalitas dan pluralitas yang ada. Lokus yang komprehensif bukan kebenaran yang diutamakan, tapi diskusi dan pandangan yang berfundamen ialah sebagai rumus berdirinya kesahajaan dan kekuatan negeri ini. Terutama antara agama dan negara masih saja menjadi ulasan abadi yang tak akan ada ujungnya.
Paradigma yang keseringan terlontarkan ialah antara sekular dan Islamis. Konsepsi sistem pemerintahan di Indonesia harus bisa menjadi jalan tengah untuk bisa saling memberikan keadilan satu sama lain, bukan individualitas dan komunalitas yang negatif.
Rekonsiliasi dan reaktualisasi konsepsi dasar keislaman yakni niat ialah kunci utamanya, harus terinterpretasikan menjadi aksi yang ternobatkan oleh diri sebagai ejawantah kondisi.
Negeri ini dengan majemuknya penghuni, bukan kesemena-menaan yang kemudian ditunjukkan. Ketika sistem sekular diterapkan di Indonesia, mana mungkin bisa dengan mayoritas di negeri ini ialah Muslim. Apakah kemudian menggunakan sistem pemerintahan syariah/khilafah, mana mungkin juga dengan melihat bahwa agama di Indonesia ada 6 agama termasuk Islam dan beberapa kepercayaan lokal.
Apakah kemudian bisa menerima kehadiran sistem yang menekankan dari nilai-nilai satu agama, tapi abai akan agama lain dan makna kemaslahatan humanitas di Indonesia?
Harusnya bisa memahami seluruh lapisan dan kelompok yang beringas akan mendirikan sebuah konsep-konsep yang sulit diterima oleh beberapa kalangan masyarakat di Indonesia.
Suatu sistem demokrasi akan terwujud jika didukung oleh ketiga unsur dalam sebuah negara, yakni adanya kemauan politik dari negara (state), adanya komitmen yang kuat dari masyarakat politik (political society) dan adanya masyarakat madani (civil society) yang kuat dan mandiri.
Islam: antara Tekstual dan Kontekstual
Kemudian, keberbedaan sebuah tafsir tekstualis dan kontekstualis menjadi sebuah rujukan agama yang memberikan perdebatan antarkelompok Islam.
Islam di Indonesia hadir dengan beberapa jalan yang pastinya multi, dalam artian banyak kelompok-kelompok Islam yang lahir dengan jargon Islam modern, tradisional, revisionis, universal, dan macam lainnya. Yang hanya sebatas ambivalensi-kultural dan menanggapi realitas dan hanya sekilas pun akan terbias.
Ada beberapa kelompok yang tidak setuju dengan penafsiran menggunakan konsep kontekstual, yakni dengan melihat realitas dan kondisi keadaan masyarakat yang ada. Karena teks pada dasarnya sudah mati dan dihidupkan dengan membawa teks keluar dan mengejawantahkan dengan kondisi, sehingga konsep tersebut disebut kontekstual.
Namun, juga banyak kelompok yang masih tidak setuju, karena pandangan skripturalisnya sudah mengakar dan tidak mau untuk bersinergi, karena dianggap ada sebuah inovasi baru dalam berislam.
Zuhairi menjelaskan bahwa Al-Qur’an sebagai wahyu sering kali dipahami oleh sebagian kalangan sebagai teks yang tidak bisa dikomunikasikan dengan realitas. Selalu ada ketegangan antara yang langit dan yang bumi.
Adonis menerangkan, selalu ada upaya memisahkan antara yang tetap dan yang berubah, yang tetap dianggap final, sedangkan berubah harus mengacu kepada yang tetap, itulah wahyu. (Misrawi, 2017).
Yang Harus Diperhatikan tentang Makna Toleransi
Dalam sisi dan makna toleransi, setidaknya ada dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, mengakui perbedaan dan keragaman. Al-Qur’an banyak menjelaskan tentang hal tersebut secara terang-menderang.
Allah menciptakan manusia ke dalam dua ragam jenis kelamin; laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (QS Al-Hujurat 13: 43). Dari sini saja, kita dapat memahami bahwa sejak awal penciptaan manusia, Allah telah menjadikan karakter yang paling menonjol bagi manusia. Fenomena negara-bangsa dan multikulturalisme telah menjadi perhatian Al-Qur’an.
Tuhan menegaskan, realitas sosial yang akan terjadi bagi umat Islam dan umat agama-agama lain di kemudian hari. Pada waktu ayat tersebut diturunkan, fenomena negara-bangsa dan etnisitas tidak berkembang pesat seperti sekarang ini.
Akan tetapi uniknya, Al-Qur’an sudah menegaskan tentang fenomena tersebut. Di sini perbedaan dan keragaman harus mendapat perhatian khusus sebagai sebuah kesadaran terhadap fenomena sosial makhluk ciptaan Allah.
Dalam konteks agama-agama, yang harus menjadi pijakan adalah kesadaran tentang keragaman syariat. Sebagai jalan menuju Allah, syariat disebutkan dalam Al-Qur’an tidak hanya satu.
Setiap umat mempunyai syariat yang bertujuan untuk menguji mereka dan berpacu dalam kebaikan. Allah sebenarnya mempunyai kekuasaan untuk menjadikan syariat dalam satu bentuk. Tapi, Dia memilih untuk menjadikan aneka ragam syariat agar setiap hamba-hamba-Nya memilih yang sesuai dengan kehendak hati nurani dan akal budinya (QS Al-Maidah 5: 48).
Dari makna ayat al-Maidah tersebut, bahwa akal budi merupakan salah satu anugerah Allah kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya.
Keragaman yang Terdapat di Berbagai Lini
Dalam hal ini keragaman agama, merupakan salah satu ayat Allah yang paling nyata di muka bumi. Setiap umat mempunyai keyakinan dan tata caranya sendiri. Kristen dan Yahudi mempunyai ajaran tentang sembahyang, puasa, dan zakat.
Tapi, perihal tata cara pelaksanaannya berbeda-beda sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi masing-masing. Perbedaan dan keragaman sesugguhnya tidak hanya dalam ranah agama-agama.
Dalam ranah intra-agama pun, terdapat keragaman dan perbedaan yang tidak kalah. Dalam Islam sendiri, tercatat ratusan aliran, gerakan, dan mazhab. Perbedaan dan keragaman tersebut ialah memperkaya khazanah keislaman. Dari sudut pandang positif, keragaman tersebut sebenarnya mempertegas perlunya dialog dan kompetisi dalam konteks kebaikan bukan hujatan.
Di sini, perbedaan dan keragaman merupakan fakta yang harus diterima sebagai sunatullah. Allah menciptakan semua ini dengan hikmah dan maksud yang amat mulia. Bukan hanya itu, dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa Allah menciptakan alam raya ini beranekaragam.
Allah menciptakan bumi dalam bentuk gunung-gunung yang tak tergoyahkan dan sungai-sungai yang jernih (QS. Ar-Ra’d 13: 3). Allah yang menciptakan perbedaan dalam warna kulit dan bahasa (QS. Ar-Rum 30: 20). Perbedaan dan keragaman merupakan sebuah keniscayaan yang telah dititahkan oleh Allah kepada setiap makhluk-Nya.
Tidak hanya sekadar perbedaan antar-agama, intra-agama, tetapi juga perbedaan dan keragaman di hampir semua makhluk di muka bumi: gunung, sungai, buah-buahan, dan lain-lain.
Semua itu, menurut Al-Qur’an agar menjadi ayat-ayat Allah di muka bumi, sehingga setiap manusia yang dikaruniai akal budi dan hari nurani dapat berpikir tentang rahasia di balik semua itu. Selanjutnya, setiap manusia dapat mengembangkan budaya tafsir yang membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia di muka bumi.
Islam: Mengakui dan Menerima Perbedaan
Kedua, mencari titik temu (kalimatun sawa’) dan koeksistensi (al-ta’amul al-silmi). Langkah ini merupakan langkah lanjutan yang mesti menjadi perhatian utama setiap Muslim. Mengakui perbedaan dan keragaman adalah niscaya. Akan tetapi hal tersebut akan kurang sempurna bila tidak dilengkapi dengan upaya mencari titik temu dan koeksistensi.
Allah memerintahkan Nabi Muhammad Saw dalam rangka mengajak ahlul kitab untuk membangun titik temu, terutama dalam rangka menyembah dan menyerahkan diri kepada Allah secara total. Tentu saja penyerahan diri secara total kepada Allah tidak semata-mata dalam rangka teologis, melainkan juga dalam kerangka sosiologis.
Bila titik temu dengan konsep kalimatun sawa’ dalam konteks keindonesiaan, maka akan menemukan momentumnya. Pancasila merupakan kalimatun sawa’ di antara agama-agama yang ada di bumi pertiwi ini. Tatkala semua agama menerima sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai pijakan dalam berbangsa dan bernegara, sesungguhnya semua agama mempunyai komitmen pada ketauhidan yang sama.
Ketauhidan tersebut pada akhirnya diterjemahkan dalam konteks kemanusiaan, persatuan, dan kesatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial (Misrawi, 2017); (Novriantoni, 2004).
Editor: Yahya FR