Feature

Cerita Hadiah Sepatu dari Pak Karel Steenbrink

4 Mins read

Pada pertengahan tahun 1969, datang seorang mahasiswa dari Nijmegen Universiteit, Belanda, menghadap Pak Zar (KH Imam Zarkasyi), Direktur KMI Pondok Modern Darussalam, Gontor dalam rangka penelitian untuk penulisan desertasi doktornya.

Ia diterima dan disantuni oleh Bapak Kiyai dengan baik. Karena akan melakukan penelitian sambil belajar bahasa Arab, dan akan tinggal di pondok untuk waktu yang cukup lama, maka Karel ditempatkan di Perumahan Dosen (Perdos) no 4, paling barat, yang baru selesai dibangun.

Mengajari Pak Karel Steenbrink Bahasa Arab

Oleh Kiyai Imam Zarkasyi, kami berempat ditugasi untuk menfasilitasi Karel, belajar bahasa Arab: Ustadz Darojat Kadarisman dari Kediri, Ustadz Yazid Abbas dari Banyuwangi, Ustadz Ghozali Mu’thi dari Garut dan saya.

Kami tidak tahu bagaimana cara mengajar seorang kandidat Doktor, yang pernah belajar bahasa Arab di Leiden. Oleh Pak Zar, kami diberi arahan, supaya mengajar Karel seperti kalau mengajar siswa KMI di kelas.

Saya tidak tahu bagaimana kawan-kawan saya mengajar. Karena saya mengajar “muthala’ah”, semacam reading, maka saya memilih beberapa judul untuk saya sajikan. Saya mulai dengan mengajarkan mufradat (baru) kemudian meletakkannya dalam kalimat sempurna “jumlah mufidah” yang ada dalam bacaan.

Kemudian, membaca satu judul bacaan dari buku. Setelah itu, saya berikan tamrinat “exercises”. Sebelum berpisah, saya berikan penugasan, PR, untuk menghafal satu judul bacaan tersebut. Dan besuknya kalai bertemu lagi, supaya sudah hafal.

Pembelajar Rajin yang Menghadiahi Sepasang Sepatu.

Karel menjadi pembelajar yang baik dan rajin, selalu menurut apa yang saya tugaskan. Menghafal mufrodat, membuat kaimat-kalimat yang bermacam-macam dan menghapal satu judul bacaan.

Seingat saya, dia senang menghapal bacaan “al-harieq” (kebakaran). Sama halnya para siswa KMI sendiri, yang masih hapal sampai tua. Karena bacaannya sederhana dan banyak expressions yang menarik.

Baca Juga  Bung Karno adalah Muhammadiyah

Karel dengan cepat belajar bahasa Arab, karena sebelumnya sudah mempelajarinya di Universitas Leiden. Yang diperlukanya adalah latihan praktik berbahasa Arab dan memperbanyak mufrodat.

Maka selama tinggal di Gontor, Karel harus mengikuti disiplin pondok dengan selalu berbahasa Arab bersama kami, guru-gurunya.

Pak Karel Steenbrink

Selain belajar bahasa Arab, Karel sering berdialog dengan Pak Zar, tentang pendidikan, pondok pesantren dan madrasah  juga masalah-masalah sosial pada umumnya. Dengan kami, para guru KMI, Karel jiga sering ngobrol tentang kehidupan dan pendidikan di negeri Belanda, yang sangat menarik bagi kami, yang berumur sekitar 20 th.

Ketika kami menyelenggarakan malam kesenian mahasiswa IPD, pada th 1969, ada acara “poetry reading” puisi-2 bahasa asing, saya membacakan puisi bahasa Belanda yang diberi oleh Karel.

Kami juga mengaji dari Karel tentang “academics life” dan “scholarship traditions”, kebiasaan membaca buku dan jurnal, menterjemahkan, menulis, berdiskusi, penelitian, menerbitkan, membuat experiment dst. Menjadi bekal dalam kehidupan.

Pada akhir masa tinggalnya di Gontor, Karel berbaik hati memberikan hadiah kepada kami empat orang yang pernah membantunya belajar bahasa Arab. Saya dihadiahi sepasang sepatu berwarna coklat dan dasi yang cukup bagus; yang kemudian sering saya pakai mengajar di kelas. Hadiah yang menjadi kenang-2an.

Perpisahan dengan Pak Karel Steenbrink dari 1969-1994

Sejak perpisahan pada tahun 1969 itu, kami tidak saling bertemu. Sesekali Karel mengirim surat kepada Pak Zar mengabarkan perkembangan penelitian dan penulisan desertasinya.

Hubungan Pak Zar dengan Karel sudah seperti Kiyai dengan Santri, atau antara Bapak dengan Anak. Karena pada waktu itu Pak Abdullah Syukri Zarkasyi, putra pertama Pak Zar, masih kuliah di Al Azhar, Kairo.

Ketika saya melakukan training di NOVIB dan ISS Den Haag pada th 1984 dan 1985, saya tidak pernah bertemu Karell. Meskipun saya sempat beberapa kali ke Leiden, Delft, Eindhoven, Frishland, Amsterdam dan beberapa kota universitas.

Baca Juga  Toxic Relationship: Pelurusan Stigma

Tapi saya memang tidak ke Nijmegen, tempatnya mengajar Pak Karel. Saya memang sudah mendengar informasi bahwa Karel sudah menyelesaikan pendidikan Doktoralnya dan kemudian mengajar di Nijmegen, universitas Katolik.

Tetapi karena tidak punya no telponnya, maka saya tidak menelpon. Apa lagi waktu itu belum ada HP. Juga waktu saya menjadi konsultan dan country representative dari NOVIB (the Netherlands Organization for the Development Cooperation), sebuah lembaga donor Eropa yang berkedudukan di 7 Amalia Straat, Den Haag pada th 1985 – 1987. 

Selama di ISS saya tinggal di ISS Dormitory, di Oude Mollen Straat di Centrum, Den Haag. Dan juga selama aktif di INGI dan INFID pada th 1987 sd 1992, yang juga berkantor di NOVIB, Den Haag; yang setiap tahun melakukan kenperensi di Eropa : Amsterdam, Brussel, Scheveningen, Berlin, Paris dll. Tapi tidak pernah bertemu dengan Karel.

Saya mendengar bahwa pada pertengahan tahun 1980-an Karel yang Prof. Dr., megajar di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Tapi pada waktu itu saya sedang sering ada kegiatan di Eropa dan kemudian menjadi Executive Director of IIFTIHAR (the International Islamic Forum on Science, Technology and Human Resources Development) berkantor di BBPT 1, lt 16.

Kemudian di Komnas Ham RI. Jadi tidak pernah bertemu dengan Prof. Dr. Karel. Namun kami turut bersyukur atas prestasi akademik Pak Karel.

Sebagaimana yg dirancang sejak semula, Karel berhasil menulis desertasinya yang bertajuk : “Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht di Katholieke Unversiteit Nijmegen, Belanda.

Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tajuk: “Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern”, yang kemudian diterbitkan pada tahun 1986

Baca Juga  Al-Hanafiyyah Al-Samhah, Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia

Pertemuan Kembali dalam Dialogue on Islam and the West di ISS

Ketika bertemu kembali, Prof. Dr. Karel menyapa saya sambil bercanda: “Wah Pak Habib sekarang necis….”. Sebutan untuk rapih, pada masa saya kecil. Saya memang full-dressed waktu itu.

Pertemuan kembali saya dengan Karel baru terjadi pada bulan Juli 1994 dalam sebuah pertemuan “Dialog on Islam and the West” di Oudpollgeis, tidak jauh dari Leiden. Kami tinggal di sebuah Kastijl Kuno. Dan salah satu pertemuannya di ISS.

Selain Pak Karel Steenbrink, juga hadir pembicara dari Eropa, Amerika, Timur Tengah, Afrika, Prof. Tom Michel, Roma; Dr. Ismail Ballich, Bosnia yang bekerja di Vienna; Fahmi Hawadi, Wakil Pimred harian Al-Ahram, Mesir.

Dari Asia kami berdua, KH Abdurrahman Wahid dan saya. Di saat reformasi, kami berjumpa kembali pada International Seminar tentang Religion, Peace, and Social Reconciliation yang juga dihadiri oleh Prof. Ricklefs, Prof. John Voll dll di hotel Syahid, Jakarta. Saya menjadi steering committeenya, waktu itu. Kami sempat bernostalgia cukup lama.

Terima kasih Pak Karel Steenbrink atas persahabatannya dan juga inspirasi akademiknya. Semoga beristirahat dengan damai.

Editor: Yahya FR

Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *