Review

Menziarahi Diri, Menziarahi Kemanusiaan

2 Mins read

Ada kisah menarik dari seorang sufi Rabiah Al-Adawiyah. Ketika ia mencari jarum di rumahnya sendiri. Rabiah waktu itu mendapat pertanyaan dari orang-orang yang sedang membantu menemukan jarumnya. “Bisakah kau beritahu di mana persisnya jarum itu jatuh?”. Rabiah pun tertawa terbahak-bahak. “Jangan bertanya, aku malu dengan pertanyaan itu.” Dan orang-orang pun berhenti mencari. “Apa yang terjadi, mengapa kau malu?”.

Rabiah pun menjawab, “Aku malu karena aku kehilangan jarum di dalam rumah, tetapi karena tak ada cahaya di dalam, aku tidak bisa mencarinya. Di luar, di jalanan, ada sedikit cahaya dari matahari yang hampir tenggelam”. Orang-orang pun kesal, dan mengatakan, “Dari dulu kami selalu menduga bahwa kau tidak waras. Sekarang kau benar-benar gila, dan ini menjadi bukti absolut”.  Rabiah pun bertutur pada mereka, “Kalian berpikir aku tidak waras, tetapi kalian melakukan hal sama selama hidup. Apakah kalian waras? Di mana kalian kehilangan diri dan di mana kalian berusaha mencarinya? Kalian kehilangan dunia batin dan mencarinya di luar!”.

Buku Jalan Pulang: Perjalanan Spiritual Sang Penulis

Kisah Rabiah Al-Adawiyah ini dituliskan oleh Maria Hartiningsih di bukunya Jalan Pulang (2017) di halaman 455. Maria Hartiningsih memang dikenal sebagai jurnalis Kompas yang menuliskan liputan perjalanan yang padat, kaya, dan memiliki sentuhan spiritual. Buku Jalan Pulang adalah buku yang berisi perjalanan karir dan spiritualnya. Di buku ini, kita bakal menemui bagaimana sang penulis mengisahkan perjalanan spiritualnya tatkala menziarahi tempat-tempat agung dari berbagai agama. Seperti Santiago de Compostela, Lourdes, Plum Village, dan Oran-Mostaganem.

Apa yang ia dapat ketika menziarahi tempat-tempat suci tersebut? Ia justru mendapati dirinya memanggil buku-buku, referensi, sampai dengan wejangan (nasehat) ibunya berpadu menjadi satu. Karena itulah, liputan yang ia hadirkan menjadi kaya, padat, dan tak kehilangan nuansa batinnya.

Baca Juga  Jejak-jejak Komunitas Yahudi di Hindia Belanda

Kemampuan ini tentu saja tak bisa dilepaskan ketika ia menapaki karir menjadi jurnalis harian Kompas. Mari kita simak penuturan Maria saat mengisahkan pengalaman kerjanya: Di lembaga inilah aku bekerja sampai di batas ujung usia kerja. Dan dalam hubungan yang sifatnya resiprokal. Aku bekerja, menjadi bagian perkembangannya sekaligus sekrup produksinya, tetapi lembaga itu juga bekerja di dalam diriku. Bersama lembaga itu, aku jatuh bangun sampai kakiku kuat menerobos rintangan, tenggelam-timbul sampai siripku kukuh mengarungi lautan keniscayaan dan berulang terempas sampai sayapku kuat menjelajah angkasa kemungkinan (h.166).

Menemukan Kembali Makna Do’a

Cerita Maria Hartiningsih menjelajahi tempat ziarah paling agung yang menempati situs dunia semenjak lampau di Santiago, sampai perjumpaannya dengan kelompok Darwis saat diundang oleh Elizabeth D. Inandiak, membawanya pada dunia yang tak terbatas, tak terperi. Itulah mengapa bagi Maria Hartiningsih, saat melakukan peziarahan itu, ia seperti menemukan kembali makna do’a. Do’a adalah saat aku memberi, menerima dan memaafkan dengan sadar-penuh, mengakui kesalahan dan meminta maaf, mengungkapkan kebenaran yang tidak menyenangkan, mengatakan “tidak tahu” dan berbela rasa. Do’a adalah saat aku mencederai orang lain; menolak menimbun kotoran yang menyumbat cahaya kejernihan di ruang batin. Kuil ibadahku berdiam di dalam hati dan kunyawai dalam kehidupan, kubawa kemanapun pergi” (h.49).

Kita juga bisa menengok bagaimana perasaan batin penulis ketika menuliskan pengalamannya di Camino Santiago. Penziarahan ini menghubungkan lagi diriku dengan begitu banyak pengalaman, namun untuk waktu yang cukup lama, aku kehilangan ketajaman sehingga tumpul melihat sesuatu yang luar biasa dari hal-hal sederhana yang kualami setiap hari (h.148).

Kita tak hendak diajak untuk menjelajahi dunia yang begitu luas, dan jauh. Atau menziarahi tempat-tempat suci semua agama. Penulis hendak mengajak kita pada spiritualitas agama. Bagaimana agama dipraktikkan pada tingkat tertinggi sehingga menciptakan kedamaian. Sebagaimana yang penulis tuturkan setelah melakukan perjalanan jauh keliling dunia. ”Semakin jauh perjalananku, kutahu itu sanepa, metafora. Tentang kesadaran, keheningan, keterjagaan, keberserahan. Tentang upaya menemukan Guru Sejati dan Sejatining Guru. Sangkan Paraning Dumadi, melalui pengalaman hidup menemui suwung; untuk menjumpai asal-muasal keberadaan” (h.460).

Baca Juga  Hadits tentang Usia Nikah Aisyah : Kritik Jonathan Brown terhadap Jasser Auda

Judul buku                                       : JALAN PULANG

Penulis                                              : Maria Hartiningsih

Penerbit                                            : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun                                                : 2017

Halaman                                          : 463 Halaman

ISBN                                                    : 978-6024-242220

***
Editor: Yahya FR
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds