Perspektif

Meraih Kemerdekaan dengan Tiga Kecerdasan

3 Mins read

Beberapa  hari lalu, kita baru saja memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-75. Semoga dengan bertambahnya usia kemerdekaan, negara Indonesia benar-benar merdeka. Tak sekedar merdeka dari cengkraman penjajah Jepang dan Belanda, namun juga merdeka dari kebodohan, kemiskinan, dan permasalahan sosial lain.

Arti Kemerdekaan

Di kalangan cerdik cendikia, arti kemerdekaan yang sejati terus saja digaungkan. Setahu penulis, ada beberapa cerdik cendikia yang mengategorikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka secara fisik (al hurriyah), bukan merdeka secara non-fisik (al istiqlal). Dalam konsep fiqih, terdapat salah satu konsep “kemerdekaan” (sebatas fisik) bagi budak yang terdapat pada kafarat membunuh orang mukmin. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam QS an-Nisa ayat 92:

“…dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…”

Lafaz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah fatahriiru raqabah. Di mana kata fatahriiru merupakan fi’il mudhari’ dan masdarnya merupakan al hurriyah. Dalam konteks ini, kata fatahriiru raqabah mempunyai konsekuensi bahwa kemerdekaan yang dicapai seorang budak hanyalah kemerdekaan dari cengkraman pemiliknya.

Sama halnya dengan Indonesia, kemerdekaan yang dicapai barulah kemerdekaan fisik dari cengkraman tuan penjajah. Indonesia mempunyai tugas berat agar kemerdekaan yang dicapai tak lagi sama dengan kemerdekaan seorang budak atas tuannya

Meski sudah 75 tahun merdeka dari penjajah, namun permasalahan sosial dan moral terus menghantui negeri ini. Merdeka dalam artian al hurriyah sudah usai diperjuangkan oleh para pahlawan pada masa silam. Tugas kita sebagai generasi penerus ialah memperjuangkan kemerdekaan dalam artian al istiqlal.

Menurut penulis, untuk mencapai kemerdekaan secara al istiqlal tidaklah mudah. Setidaknya masing-masing individu aktif mengembangkan kecerdasan melalui bidang pendidikan dan lain sebgainya. Sehingga, mereka akan meraih kecerdasan secara intelektual (Intelligence Quotient/IQ), emosional (Emotional Quotient/EQ), dan spiritual (Spiritual Quotient/SQ). Tiga kecerdasan tersebut merupakan komponen penting untuk mewujudkan kemerdekaan secara al istiqlal.

Kecerdasan Intelektual

Kecerdasan intelektual diperlukan untuk mengembangkan wawasan keilmuan, baik itu ilmu sains maupun sosial. Negara-negara maju seperti di benua Eropa dan Amerika merupakan contoh yang bagus terkait bagaimana mereka peduli dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, daya intelektual mereka jauh di atas rata-rata penduduk benua Afrika dan Asia.

Baca Juga  Katip Çelebi (1609-1659): Ulama dan Intelektual dari Istanbul

Tak dapat dipungkiri bahwa kecerdasan intelektual merupakan komponen penting terhadap maju atau tidaknya suatu negara. Tanpa adanya hal tersebut, bagaimana mungkin sebuah peradaban ilmu pengetahuan akan terwujud? Dalam tataran kehidupan praktis, tanpa adanya intelektual, bagaimana mungkin mengembangkan infrastruktur sebuah negara seperti jalan, jembatan, dan gedung-gedung bertingkat?

Oleh karena itu, kecerdasan akan intelektual harus terus dibangun dengan membumikan gerakan literasi dan melek teknologi. Keduanya akan mempermudah preoses tercapainya kemerdekaan secara al istiqlal.

Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional penting untuk dikembangkan. Emosional berkaitan erat dengan moral dan etika. Betapa banyak negara yang dihuni oleh orang cerdas secara intelektual, namun gagal membangun kesejahteraan ketika berada di puncak tertinggi suatu pemerintahan. Hal itu tak lain karena tidak adanya kecerdasan emosional .

Betapa ironinya, suatu negara kerap kali ditemukan seseorang dengan titel yang banyak di depan maupun di belakang namanya. Namun harus mendekam di penjara karena terbukti melakukan tindak korupsi. Ada pula orang dari kalangan terpelajar tersandung masalah hukum karena melakukan eksploitasi alam, sehingga membahayakan lingkungan.

Adanya sederet permasalahan sosial di atas merupakan beberapa contoh krisis kecerdasan emosi begitu meluluhlantakkan keseimbangan suatu negara. Entah itu negara maju (developed), berkembang (underdevelop), maupun terbelakang (backword). Oleh sebab itu, kecerdasan emosional perlu dibumikan dengan memperhatikan ilmu-ilmu sosial-humaniora, terutama ilmu psikologi.

Kecerdasan Spiritual

Meski lahir belakangan, kecerdasan spiritual juga turut memberikan andil terhadap pembentukan akhlak, moral, dan etika manusia di suatu negara. Konsep-konsep seperti muraqabah (selalu merasa diawasi Tuhan), zuhud (menafikan cinta dunia), qanaah (merasa cukup terhadap segala sesautu), dan lain sebagainya merupakan dimensi realitas yang selalu bersentuhan dengan aspek kemaslahatan masyarakat.

Baca Juga  Tasawuf: Cara Mencegah Krisis dalam Diri Manusia Modern

Semakin baik spiritual individu sebuah negara, semakin berpeluang mencapai kesejahteraan. Secara tersirat, dimensi spiritual memiliki hubungan antar manusia (Hablu-min-an-nas) dan Tuhan (hablu-min-Allah). Dengan kata lain, berbuat baik kepada Tuhan semestinya berimplikasi kebaikan kepada manusia. Begitu pula sebaliknya, berbuat kebajikan kepada manusia, akan membawa kebaikan pada Tuhan.

Mengisi kemerdekaan dengan kecerdasan spiritual merupakan langkah jitu tiap-tiap individu dalam rangka menyiapkan kemerdekaan dalam artian yang lebih hakiki. Bagaimana mungkin sebuah negara akan mengalami kemajuan jika mengalami kemerosotan moral? Hal itu adalah sebuah kemustahilan

Tanpa adanya tiga kecerdasan di atas, kemerdekaan secara al istiqlal akan sulit dicapai meski negara sudah merdeka selama bertahun-tahun. Bagaimana pun juga, mengisi kemerdekaan tidak semata-mata tugas monoton sebuah pemerintahan di suatu negara dengan berbagai programnya, tetapi juga tugas aktif masing-masing individu.

Masing-masing individu harus mampu mengaktifkan semua kecerdasan di atas. Karena, ketiga kecerdasan tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, melainkan harus saling bersinergi dan bersatu padu antara satu dengan yang lain. Layaknya sebuah tubuh, ia tak akan maksimal tanpa adanya kehadiran mata. Mata tak akan bisa bekerja dengan baik tanpa adanya tangan.

Begitu pula dengan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Mereka saling melengkapi demi mewujudkan sebuah kemerdekaan yang relevan diperjuangkan, yaitu kemerdekaan dalam arti al istiqlal.

Wallahu a’lam.

Editor: Nirwansyah

Avatar
18 posts

About author
Penyuluh Agama Islam
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds