Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar teladan, melainkan arsitek mental revolusioner. Kisah pendidikannya mengungkap formula untuk membangun “insinyur perubahan sosial” di era yang memuja konformitas.
Masa kecil Muhammad Darwis di Kauman bukanlah dongeng tentang ketaatan. Ia adalah studi tentang kontradiksi. Ayahnya, K.H. Abu Bakar, adalah khatib keraton, posisi yang melanggengkan status quo. Namun, Darwis juga hidup dalam kultur musyawarah ibunya dan denyut ekonomi batik yang mandiri. Lingkungan ini mengajarkan pelajaran mendasar, bahwa otoritas bisa berkolusi dengan kekuasaan, namun kemandirian ekonomi dan diskursus intelektual adalah alat resistensi.
Observational learning di Kauman bukan sekadar meniru, tetapi mengamati paradoks. Darwis kecil belajar bahwa agama bisa menjadi alat legitimasi sekaligus bahasa pembebasan. Mentalnya terbentuk untuk membongkar kotak keilmuan yang dikerangkeng, bukan menjadi “ulama istana”, tetapi menjadi pembela jalanan bagi mustadafin, pencerah Pendidikan bagi pribumi.
Klaim bahwa keluarga Dahlan memberi “ruang bertanya” perlu dibaca ulang. Di lingkungan ulama keraton, bertanya adalah tindakan subversif. Dengan mendorong anak bertanya, keluarga ini sedang melatih keberanian menantang otoritas.
Pengiriman Darwis ke Makkah pada usia 15 tahun juga bukan sekadar “memperluas wawasan”. Dalam konteks politik Hindia Belanda, ini adalah strategi pendidikan gerakan bawah tanah. Makkah abad ke-19 adalah laboratorium ide Pan-Islamisme di mana pelajar Nusantara membahas resistensi terhadap kolonialisme dan model organisasi modern.
Ketika pulang, Ahmad Dahlan memulai dengan aksi simbolis bermuatan politik. Meluruskan arah kiblat berdasarkan ilmu falak. Ini adalah pernyataan perang terhadap otoritas keagamaan tradisional. Ia menggunakan sains sebagai senjata untuk mendesakralisasi praktik yang membatu.
Spirit juang Ahmad Dahlan muda mengandung prinsip metodologis yang relevan:
- Diagnosis sebelum aksi: setiap gerakan dimulai dengan analisis akar masalah
- Pembentukan institusi tandingan: membangun sekolah dan organisasi sebagai infrastruktur alternatif
- Strategi infiltrasi: bergaul dengan berbagai kalangan untuk memperluas pengaruh
Tantangan anak muda hari ini lebih abstrak tetapi tak kalah berbahaya. Spirit pemberontakan Ahmad Dahlan yang akademis, strategis, dan visioner mestinya menjadi pola gerakan terarah bagi generasi muda masa kini.
Anak muda kini dihadapkan pada problem pelik dan rentan. Kapitalisme perhatian yang menjadikan hidup mereka menjadi komoditas data. Mereka juga dibonsai oleh kultur instan yang merusak kemampuan untuk proses panjang, dan yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah politisasi identitas yang menggantikan perjuangan substansial dengan simbol. Generasi ini sebenarnya bukan “lemah”, tapi dihadapkan pada musuh yang dirancang secara sistematis oleh industri teknologi untuk menciptakan ketergantungan.
Pendidikan jiwa juang ala Ahmad Dahlan muda hari ini, paling tidak memerlukan lima lompatan strategis:
Pertama, literasi teknologi kritis. Ajarkan anak muda membaca kode di balik antarmuka, bagaimana algoritma bekerja, dan dampak psikologis desain media sosial. Jadikan mereka arsitek ruang digital, bukan sekadar penghuni.
Kedua, tanamkan disiplin perhatian sebagai praktik spiritual baru. Di era distraksi, kemampuan memusatkan perhatian menjadi ibadah intelektual. Puasa digital dan mindfulness adalah latihan ketahanan mental melawan industri perhatian.
Ketiga, bangun komunitas sebagai arena deliberasi. Ruang dialog harus menjadi laboratorium demokrasi radikal mini, tempat anak muda belajar berdebat substantif dan mengambil keputusan kolektif.
Keempaat, anak muda butuh eksperimen sosial sebagai metode belajar. Generasi sekarang perlu imersi dalam realitas sosial yang berbeda. Tinggal dengan komunitas marginal atau magang di organisasi advokasi untuk memahami kompleksitas dari dalam. Kadang semua lahan aktualisasi perjuangan sudah dihabiskan oleh generasi tua, sehingga tidak terbuka lahan baru bagi anak muda.
Kelima, perlu pengorganisasian jaringan, bukan aktivisme viral. Ajarkan seni mengorganisir gerakan berkelanjutan. Membangun koalisi, merancang strategi advokasi bertahap, dan menciptakan tekanan sistematis.
Warisan terbesar Ahmad Dahlan adalah metodologi berpikir sebagai agen perubahan. Ia menunjukkan bahwa progresivitas sejati lahir dari penguasaan tradisi, keberanian mendiagnosis kegagalannya, dan kapasitas membangun alternatif. Anak muda progresif hari ini harus menjadi ahli waris yang kritis sekaligus inovator yang berani – mampu memisahkan inti tradisi dari kulitnya yang usang, dan membayangkan bentuk-bentuk baru kelembagaan di era algorithm.
Pendidikan di abad ke-21 harus menghasilkan arsitek peradaban, bukan konsumen ide, tetapi produsen alternatif. Bukan penghuni sistem, tetapi perancang sistem baru. Inilah jihad intelektual era kini. Melawan penyeragaman pikiran dan merajut mimpi kolektif tentang masa depan yang lebih adil.
Anak muda harus memiliki ideologi pemberontakan yang progresif, terstruktur dan berdampak pada aksi nyata seperti Ahmad Dahlan muda yang mampu keluar dari kerangkeng kultur feudal, dan menjadi mujaddid sosial yang sukses.
Editor : Ikrima

