Feature

Merantau dan Perjalanan untuk Hidup yang Baik dan Mulia

4 Mins read

Tentang kemuliaan merantau dan perjalanan, saya teringat momen penting dua belas tahun silam. Saat itu, di akhir bulan Juni, saya merantau ke Jogja untuk mondok. Suatu saat Bapak mengirimkan pesan di Wall Facebook saya—saat itu, medsos semua kalangan adalah Facebook—dan memberikan pesan singkat yang mendalam. Isinya pesan Imam Syafi’i yang berbunyi:

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Merantau dan Perjalanan untuk Hidup yang Lebih Baik

Merantau telah dikenal sebagai istilah yang umum sebagai bagian dari usaha mencari kesejahteraan dalam hidup. Di Indonesia sendiri, beberapa suku dikenal sebagai etnis perantau. Sebut saja suku Minang, suku Sunda, suku Jawa, dan suku Madura.

Karena tradisi perantauan ini, suku Minang dikenal dengan masakan padang, utamanya rendang yang meng-Indonesia bahkan mendunia. Suku Jawa dikenal dengan persebarannya di seluruh pulau seantero Indonesia. Suku Sunda sangat mudah ditemui di Jakarta, khusus perantau dari Garut dikenal sebagai spesialis cukur rambut, orang-orang Kuningan di Jogja menggeluti wirausaha burjoan. Sementara Suku Madura termasyhur sebagai penjual sate di berbagai daerah se-Indonesia.

Selain perantauan antar provinsi, di dalam sebuah provinsi juga terdapat pola-pola perantauan antardaerah dalam provinsi yang khas. Umumnya dari desa ke kota, atau dari daerah yang lebih tertinggal; ke daerah yang lebih sejahtera. Dalam berbagai versinya, perantauan dan perjalanan bertujuan untuk kesejahteraan hidup yang lebih baik.

Meski tidak bisa sepenuhnya dipukul rata, penelitian membuktikan bahwa perantauan (secara umum disebut migrasi) membuka kesempatan lebih tinggi setiap pekerja untuk sejahtera. Data McKinsey Global Institute (2016) menyebutkan perantau hanya mencakup 3,4% dari populasi dunia, namun memiliki kontribusi 10% pada Produk Domestik Bruto (PDB) Dunia.

Baca Juga  Baca Doa Ini dalam Perjalanan Saat Menjelang Subuh

Lebih spesifik lagi Bryan dan Morten (2015) menyebutkan makin jauh orang merantau, maka cenderung makin besar gaji yang didapatkan. Dengan kata lain, perantau sangat mungkin mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik, bukan hanya dibanding warga di daerah asal melainkan juga warga setempat di daerah tujuan. Bahkan, ada pula artikel menarik yang menyebutkan secara umum para perantau di dunia lebih bahagia dibanding sebelum merantau (Hendriks, 2018).

Perjalanan dan Sejarah Manusia

Setiap spesies punya cara tersendiri untuk mempertahankan kelestarian spesiesnya. Cara pertama yang umum adalah adaptasi. Cara selanjutnya adalah migrasi. Semua spesies yang bertahan hingga saat ini bermigrasi, tidak terkecuali manusia.

Ditinjau dari sejarahnya, manusia purba muncul sekitar dua juta tahun lalu di Afrika. Lalu menyebar ke Timur Dekat dan Eropa. Lalu berlanjut ke Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia Timur. Kemudian menyebar hingga ke Asia Tenggara dan Polinesia, termasuk Indonesia. Peradaban kota juga memiliki pola semacam ini, dari beberapa kota, Mohenjo Daro dan Harappa misalnya, lalu muncul kota selanjutnya di wilayah-wilayah sekitarnya seiring dengan perkembangan teknologi pertanian dan kemunculan hubungan perekonomian antar wilayah.

Jadi bisa kita bayangkan, dahulu ada sekelompok kecil manusia yang keluar dari daerah tempat tinggalnya. Menjelajah hutan dan padang rumput baru, menemukan sungai-sungai dan sumber makanan baru, bertanya-tanya ada apa di seberang lautan sana lalu membuat perahu bercadik dan mengarungi samudera hingga menemukan daerah baru.

Jika teori ini benar adanya, maka kita, manusia modern saat ini adalah keturunan dari manusia-manusia penjelajah di masa lalu. Seperti dalam lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut, kita adalah keturunan dari manusia-manusia pemberani yang menjelajah tempat-tempat baru. Merantau dan menjelajah ada dalam DNA kita.

Baca Juga  Umat dan Jumlah Massa

Merantau dan Perjalanan dalam Islam

Dalam kisah-kisah Islam, perantauan dan perjalanan ternyata juga menjadi bagian penting. Bahkan bisa dibilang perjalanan akbar yang biasa disebut sebagai hijrah menjadi kunci dari penyebaran ajaran agama. Kisah-kisah ini dapat kita simak dalam kisah para Rasul.

Nabi Adam dan Hawa, sebagai dua manusia pertama dikisahkan turun dari Surga dalam tempat terpisah yang sangat jauh. Lalu kemudian keduanya berjalan, saling bertemu, beranak-pinak, memulai pertanian dan peternakan, memulai ajaran Tauhid. Ajaran ini lalu yang diturunkan anak-anaknya hingga ke nabi dan rasul setelah Adam.

Nabi Ibrahim dikenal dengan perjalanan bersama Sarah ke Mesir dan bersama Hajar ke Makkah. Di Mesir, dakwah Nabi Ibrahim menemui kegagalan. Di Makkah, Hajar sempat ditinggalkan bersama Ismail kecil. Saat Ismail kehausan, Hajar harus berlari bolak-balik Bukit Safa dan Marwah lalu mata air muncul di bawah hentakan kaki Ismail. Perjalanan ke Makkah ini sukses memunculkan peradaban dan menyebarkan ajaran agama di Jazirah Arab.

Nabi Musa dikisahkan menjadi keturunan Bani Israil yang diangkat sebagai anak oleh Firaun. Saat Musa kecil beranjak dewasa, ia justru menjadi pemberontak kekuasaan absolut Firaun. Membawa segenap rombongan Bani Israil menyeberangi Laut Merah untuk menuju “Tanah yang Dijanjikan”, sekaligus mengakhiri penderitaan akibat rezim Firaun yang teramat kejam.

Nabi Yusuf ingin dibunuh oleh saudara-saudaranya. Namun berakhir dengan ditemukan di sebuah sumur dan dibawa oleh kafilah menuju Mesir. Seiring berjalannya waktu, Yusuf yang terpaksa merantau dapat menyesuaikan diri hingga menjadi kepercayaan raja. Nabi Yusuf bahkan menjadi pengatur keuangan dan pangan negara lalu kemudian menyelamatkan negara dari paceklik panjang.

Nabi Muhammad, rasul penutup penyebar ajaran Islam melakukan perjalanan ke Thaif untuk berdakwah namun gagal. Saat makin terdesak dan kehilangan pelindung di Mekkah, Nabi Muhammad dan sahabat melakukan hijrah ke Yatsrib yang kemudian disebut Madinah. Di Madinah, Nabi Muhammad sukses membangun peradaban, bahkan menjadi kekuatan alternatif di antara kedigdayaan Romawi di Barat dan Persia di Timur. Peristiwa hijrah inilah yang memungkinkan ajaran Islam tetap eksis bahkan berjaya dalam sejarah peradaban dunia abad 8 hingga 13 Masehi.

Baca Juga  Jamaah Tak Perlu Khawatir, Aplikasi Kawal Haji Bakal Menyediakan Seluruh Informasi Haji

***

Baik dari perspektif ekonomi, peradaban manusia, maupun sejarah Islam merantau adalah sebuah tradisi yang mulia. Perantauan terbukti menjaga eksistensi manusia, membantu penyebaran ajaran Islam, bahkan dalam skala mikro juga dapat meningkatkan kesejahteraan individu dan keluarga. Bayangkan apa yang terjadi jika tidak ada manusia purba perantau-penjelajah, apa yang akan terjadi pada spesies manusia? Bayangkan jika Nabi Muhammad tidak hijrah ke Madinah, mungkin Islam tidak akan menyebar hingga dianut oleh 1,8 miliar penduduk Bumi.

Maka merantaulah, dengan merantau kita dapat bertemu banyak orang baru dan belajar tentang dunia yang luas, tidak sebatas apa yang kita alami di lingkungan kita. Dengan mengetahui dunia yang luas, akan bertambah pengalaman dan kebijaksanaan kita. Pengalaman dan kebijaksanaan yang akan mengantarkan kita pada hidup baik yang sejahtera, damai, dan bahagia.

Editor: Soleh

20 posts

About author
Mahasiswa UGM. CEO IBTimes.ID
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds