Oleh : Nibros Hassani*
Syahdan, di bawah halimun pagi seorang pemuda yang berasal dari Bukittinggi itu sedang membaca buku yang tebalnya sekian ratus halaman. Dalam benaknya, ia berpikir jauh ke depan akan nasib negara yang ia cintai, Indonesia yang akan berlabuh ke mana.
Pemuda Bukittinggi itu bukan ahli nujum (dan ia juga tidak pernah bersentuhan dengan yang demikian). Tapi, kajian kenegaraannya mampu membawanya kepada prediksi-prediksi yang tidak bisa dijangkau pemuda lain pada masa itu.
Dengan pengetahuan yang ia kuasai, segera ia menulis konsepsi yang akan menyejarah kelak. Konsepsi itu ia dokumentasikan di Jong Sumatera. Harian berpengaruh ketika itu yang memiliki semangat untuk bebas dari ketidakadilan penjajahan.
Persis seperti dirinya.
Memori mengenai pemuda itu kembali menyeruak ketika suatu kali saya berkesempatan untuk mengunjungi bilangan Tanah Kusir di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
TPU Tanah Kusir memang spesial sejak awal karena beberapa orang penting kepunyaan negara juga dimakamkan di sana.
Diantaranya : Sjafruddin Prawiranegara, HAMKA, Siti Raham, A.R. Baswedan, tak terlupa Dr. Mohammad Hatta, wakil presiden pertama RI yang bisa kita lihat jejak pemikiran dan jasanya untuk Indonesia hingga hari ini.
Bila sempat, kita perlu berkunjung ke Tanah Kusir. Di sana, ada Rumah Gadang yang terbangun istimewa tempat Hatta dan Istrinya Siti Rahmiati Hatta dikebumikan.
Mungkin supaya kita tidak kehilangan jejak cemerlang mereka, kemudian bisa membangun kembali ide-ide yang pernah digagas, atau sekedar melepas rindu akan sosok pemimpin yang betul-betul negarawan.
Selanjutnya di permulaan gerbang makam Hatta, kita akan menjumpai batu raksasa bertuliskan:
“Meskipun Bung Hatta telah tiada, Bung Hatta akan tetap hidup dalam hati kami. Cita-cita Bung Hatta akan senantiasa menyinari perjuangan kami”.
Dan pada tanggal 12 Agustus ketika Hatta lahir, narasi dalam batu itu pun menjadi kebenaran hingga hari ini.
Mengenang Hatta sebagai pribadi yang cendekia memang menimbulkan romantisme tertentu terhadap sejarah.
Tapi sebagai pembelajaran, Hatta termasuk pesona objek, yang darinya, tak habis hikmah untuk didapat meski tanpa glorifikasi—sanjungan berlebih.
Mengomparasikan Hatta sebagai pemuda yang ulet membaca buku dan menguasai sekian bahasa dengan pemuda saat ini yang sudah dibekali kecanggihan zaman tentu tidak apple to apple.
Namun, apa salahnya belajar kembali dari tokoh yang tidak akan pernah habis kita baca itu.
Hatta: Pejuang Tanpa Kekerasan yang Mencerahkan Keadaan
Dua hal yang tidak bisa tidak kita ingat dari Hatta, termasuk bagaimana ia merespon keadaan dan bagaimana ia merubah keadaan dengan kapasitas yang ia miliki.
Tatkala Indonesia masih berdarah-darah melawan Belanda, Hatta adalah pejuang tanpa kekerasan, barangkali ia bersepakat dengan konsep milik Gandhi.
Sebagaimana ditulis dalam Seri Buku Tempo: Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman, Hatta lebih mempercayai kekuatan pena dibanding tembakan peluru manapun.
Setelah dikurung di penjara Den Haag, di depan Mahkamah Agung Belanda, Hatta menyampaikan pleidoinya yang ia beri judul Indonesia Vrij, yang kelak juga menyejarah.
“Hanya satu tanah yang dapat disebut Tanah Airku. Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku”, kutip Hatta dari seorang aktivis turunan Flemish-Belanda.
Dengan kajian yang ia miliki, analisisnya mampu menorehkan kemenangan lain untuk Indonesia pada jalur diplomasi.
Gagasannya mengenai politik bebas aktif juga masih dipelajari hingga 71 tahun saat ini, pun masih relevan pada tataran hubungan internasional, kata Wamenlu A.M Fachir dalam suatu diskusi.
Betapa itu menjadi bagian dari bukti bahwa Hatta ikut merubah keadaan dengan apa yang ia miliki.
2019, Kembali Menyimak Hatta
Hatta adalah pembaca banyak referensi, tak heran tatkala intuisi ilmiah (scientific-temper) yang ia miliki, juga analisis yang ia tulis bukan berdasar prejudice tak berdasar.
Sementara kita perlu banyak menyimak dari Hatta. Kita yang sering kali mengonsumsi banyak klik berdasarkan emosi sesaat dan menghindar dari fakta.
Kita yang sulit untuk bisa tergantung dengan buku—yang secara fisik ia ada—berbeda dengan medsos yang sifatnya virtual dan suatu kali tidak bisa kita akses ketika yang punya kuasa memblokir dan akses dibatasi.
Bagi generasi saat ini, memiliki Hatta sebagai seorang role model adalah sebuah keberuntungan. Hari lahir Hatta bertepatan dengan hari pemuda sedunia yang juga jatuh pada 12 Agustus 2019.
Kita tidak boleh lupa akan tantangan yang tidak sederhana kedepannya nanti, seperti Intellectual Curiousity sebagaimana telah disinggung dalam berbagai forum yang membahas Society 5.0.
Mengapa curiosity? Karena memiliki daya eksplorasi dan kemampuan mengolah kuriositas—rasa penasaran hingga menghasilkan jawaban yang tepat guna tentunya memiliki kemanfaatan yang tinggi bagi masyarakat.
Tak hanya canggih dalam memproduksi teknologi, manusia unggul nanti adalah yang juga menguasai soft skill : berpikir kritis, menyelesaikan masalah dari pengetahuan yang dimilikinya, serta kemampuan berkolaborasi.
Tiga hal itu yang kita juga temukan dari diri Hatta—manusia yang melampaui zamannya saat itu meski tanpa dibekali kecanggihan teknologi seperti sekarang.
Hatta juga lah pencari jawaban, eksplorator, penanya hingga menjadi perintis kemerdekaan.
12 Agustus 2019, 117 tahun setelah Hatta lahir, optimisme itu patut untuk dirajut kembali : saat banyak masalah menimpa kaum muda, dan pesimisme mulai bergaung.
Momentum kelahiran Hatta adalah jembatan waktu yang menghubungkan jejak cemerlang masa lalu agar bisa disaksikan dan dibangun kembali hari ini.
Karena, tatkala Wiji Thukul meresahkan “di bumi masalah hidup yang berbondong-bondong datang, memeluk lantas pergi” kitalah yang akan meyakini—Di Timur Matahari Mulai Bercahya.
Bahwa malam tak akan lama, dan segala upaya akan berarti bagi bangsa tercinta, sebagaimana Hatta.
*Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah