Bulan Maulid bagi masyarakat Cirebon punya makna khusus, baik dalam dimensi spiritual maupun sosial ekonomi. Spiritualitas mendorong masyarakat melakukan ziarah di beberapa pesarean leluhur pendiri Cirebon. Sementara dimensi sosial, mereka merayakan bulan ini dengan mendatangi aneka rupa pawai dan pasar malam bersama. Imbas ekonomi bulan Maulid tidak bisa dikatakan kecil bagi perputaran uang di masyarakat kecil.
Bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw ini telah masuk dalam sistem budaya dan sosial masyarakat. Sebagai pelengkap, artikel singkat ini mengajak memikirkan kembali keterpautan Nabi Muhammad Saw dan Sunan Gunung Jati. Keterpautan keduanya lebih dari sekadar aspek biologis: Sunan Gunung Jati merupakan keturunan Rasulullah. Lebih dari itu, Sunan Gunung Jati meneruskan apa yang menjadi tugas kewahyuan Rasulullah.
Wasiat Sunan Gunung Jati
Bila berziarah ke kompleks makam Sunan Gunung Jati, kita akan mendapati tulisan yang disebut wasiat beliau bagi masyarakat Cirebon secara umum, atau punggawa keraton-pesantren di Cirebon, yaitu Ingsun titip tajug lan fakir miskin (Saya titip masjid/mushola dan fakir miskin). Tulisan ini merefleksikan wasiat ini dengan konteks hidup Rasulullah sendiri untuk mendapati makna tajug dan fakir miskin dalam ketersambungan sejarah Islam di Arab dan Cirebon.
Di antara subkultur Jawa yang lain, hanya di Cirebon yang dipimpin oleh seorang Sunan sekaligus Sultan. Sunan Gunung Jati adalah satria pinandhita. Oleh karena itu, keraton Cirebon tidak hanya menjadi pusat politik pemerintahan, melainkan juga sebuah pusat keagamaan. Banyak ilmuwan menuliskan tradisi tarekat Syattariyah berpusat di Keraton Cirebon, dibawa oleh Sunan Gunung Jati hingga menyebar ke banyak daerah.
Ranggawarsita, begawan dari Mataram Islam, disebut Nancy K. Florida (2021) terlibat begitu dalam tradisi tarekat Syattariyah ini. Ranggawarsita pula yang menyusun ungkapan Satria pinandhita sinisihan wahyu atau seorang pemimpin politik yang dijiwai oleh penghayatan keagamaan sehingga terbimbing oleh wahyu Tuhan dalam melaksanakan tugasnya. Secara sementara, kita bisa mengatakan penulisan ungkapan popular satria pinandhita sinisihan wahyu bersumber dari penghayatan Ranggawarsita terhadap budaya politik yang dipraktikkan oleh Sultan-Sunan Sunan Gunung Jati.
Oleh karena itu, tajug sebagai elemen yang diwasiatkan oleh Sang Sunan tidak bisa dipahami dalam konteks keraton dan pesantren sekarang yang sudah terfragmentasi. Keraton dan pesantren di Cirebon tetap menarik legitimasi historisnya sebagai keturunan Sunan Gunung Jati. Tajug justru bisa dipahami sebagai upaya kultural Sunan Gunung Jati menerjemahkan fungsi dari Masjid Nabawi, di Madinah era Rasulullah hidup.
Rasulullah memfungsikan masjid Nabawi sebagai: (1) pusat ibadah; (2) pusat peradilan; (3) pusat pendidikan; (4) pusat pemberdayaan ekonomi umat (Baitul Mal); dan (5) pusat pemerintahan (Dalmeri, 2014). Singkat kata, Masjid Nabawi adalah pusat peradaban Islam. Tajug yang dititipkan oleh Sunan Gunung Jati berada dalam konstruksi fungsi yang sama. Atau dengan kata lain, Sang Sunan menitipkan peradaban Islam di Cirebon.
Lalu bagaimana posisi fakir miskin di tengah peradaban Islam yang dibangun tersebut? Mengapa kalangan ini mendapat perhatian khusus dari Sunan Gunung Jati?
Pertanyaan ini hanya dapat dijawab dengan melihat kembali riwayat hidup Rasulullah, yang memiliki perhatian lebih kepada umatnya yang fakir miskin. Rasulullah pernah berkurban untuk dirinya sendiri dan siapa saja yang belum pernah berkurban. Fakir miskin yang hanya bisa berjibaku dalam kebutuhan dasar hidup, telah termasuk dalam kategori yang sudah orang-orang yang dirujuk Rasulullah. Kita juga bisa bilang pilihan hidup zuhud Rasulullah meski dapat bergelimang harta agar beliau bisa dijangkau oleh kalangan paling papa sekalipun. Beliau tidak menjadi hanya bagi orang pintar dan kaya. Hidup zuhud membuat Rasulullah secara sosiologis adalah Nabi semua kalangan umat.
Keteladanan budaya politik Rasulullah ini dipraktikkan oleh para penerus dan sahabatnya. Sebagai contoh, Umar bin Khattab justru paling takut ada rakyat yang miskin yang kelaparan atau merasakan ketidakadilan karena tak terjangkau olehnya. Oleh karena itu, ada riwayat Umar yang mendapati seorang ibu dengan anak-anaknya menahan lapar, tetapi hanya bisa bisa dihibur ibunya dengan merebus batu. Umar begitu takut kezaliman yang tidak disadarinya ini terbawa saat menghadap Tuhan kelak. Dia membawa sendiri sekarung gandum untuk diberikan dan memasaknya untuk keluarga tersebut.
Peradaban Islam dibangun justru memberi perhatian lebih terhadap kalangan fakir miskin. Begitu pula, makna wasiat ingsun titip tajug lan fakir miskin dari Sunan Gunung Jati.
Merefleksikan makna demikian di tengah politisasi identitas yang secara vulgar maupun simbolik dipraktikkan oleh politisi menerbitkan gambaran kemerosotan peradaban Islam itu sendiri. Kalangan paling papa hanya diobjektivikasi pada momentum elektoral. Namun, diabaikan ketika mengalami kesengsaraan struktural, entah itu akibat konflik agraria maupun kebijakan politik lainnya.
Editor: Soleh