Perspektif

Milenialisasi Gerakan Mahasiswa Masa Kini

3 Mins read

Selain kampanye politik yang menggunakan kata ini sebagai strategi pemenangan, kata ‘milenial’ seakan menjadi sebuah simbol tentang perubahan radikal yang dialami oleh seluruh sendi kehidupan. Ia merupakan suatu generasi manusia yang terdampak oleh proses mendunianya sistem sosial-ekonomi-politik dan budaya dalam konstelasi https://detik.comthe borderless world’, serta suatu bentuk penyeragaman, dominasi, dan bahkan hegemoni negara-negara barat terhadap negara dunia ketiga (Wahana, 2015).

Dalam Millenials Rising : The Next Great Generation’, Howe dan Straus menjelaskan bahwa generasi milenial lahir pada tahun 1982-2000. Generasi ini banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, atau media sosial seperti facebook, Instagram, dan twitter. Dengan kata lain, generasi Y adalah generasi yang tumbuh pada era internet explosion (Dimmock, 2018).

Milenial memiliki individu dengan karakteristik yang berbeda, tergantung wilayah, dan status sosial. Pola komunikasinya lebih terbuka dengan media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh oleh teknologi. Milenial juga lebih terbuka dengan pandangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi, memiliki perhatian yang lebih terhadap kekayaan (Lyons, 2004). Generasi milenial juga lebih realistis, menghargai perbedaan, pola interaksinya juga lebih egaliter, serta pragmatis ketika memecahkan persoalan.

Milenialisasi Gerakan Mahasiswa

Sebagai suatu elemen penting, mahasiswa dan pergerakannya pun ikut terdampak oleh fenomena ini. Hari ini, gerakan mahasiswa membutuhkan peran teknologi informasi sebagai sarana penting dalam pergerakannya. Tetapi, bila melihat mahasiswa “milenial” hari ini, agak pesimis rasanya untuk memimpikan gerakan mahasiswa yang progresif. Ditambah, salah satu ciri-ciri milenial yang memiliki perhatian lebih pada materi, sehingga kepedulian dan kolektivitas kurang terasa (Lyons, 2004).

Baca Juga  Mengenal Jejak Dakwah Digital Habib Ja'far Al Hadar

Padahal gerakan mahasiswa menjadi penting, sebagai think tank dan social control oleh masyarakat. Hakikat dari gerakan mahasiswa pada umumnya adalah perubahan, menuju pada keidealan. Implikasinya, gerakan mahasiswa sebagai pendorong perubahan sosial dan perubahan politik (Altbach, 1988). Menurut Luthfi Hamzah Husin (2013), mahasiswa menjadi aktor politik yang berada dalam institusi non-formal dan berusaha menekan aktor di institusi formal untuk mempengaruhi kebijakannya.

Bila melihat gerakan mahasiswa Indonesia pasca kemerdekaan, Revolusi 1965-1966 misalnya, mahasiswa memegang peranan penting dalam menumbangkan rezim Soekarno yang semakin otoriter. Masa itu, Soekarno terlalu fokus pada politik luar negeri, hingga menjadikan situasi ekonomi bergejolak, terjadi hyper-inflation atau inflasi besar-besaran. Oleh karenanya, pada 1965, dibentuklah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Aliansi dari gerakan mahasiswa HMI, GMKI, PMKRI, PMII, dan Gemsos, untuk menjatuhkan Soekarno (Husin, 2013).

Setelahnya, gerakan mahasiwa makin menggeliat di bawah rezim Soeharto (Orde Baru). seperti gas dalam suatu ruang, makin besar tekanan maka makin berpeluang meledak, begitu pula mahasiswa. Direpresi dengan Peristiwa Malari, NKK/BKK, dan puncaknya Tragedi Trisakti, akhirnya mahasiswa melahirkan reformasi sebagai buah perjuangannya yang menjadi tonggak awal keruntuhan Orde Baru.

Di beberapa negara, juga terdapat gerakan mahasiswa. Misalkan di Hongkong, terdapat sebuah gerakan mahasiswa “Umbrella’s Movement” yang menuntut demokrasi dan penolakan terhadap aneksasi Hongkong oleh China. Di Iran, 1979, mahasiswa menuntut Syah Reza Pahlavi, Raja yang cukup dekat dengan Amerika Serikat, untuk turun tahta. Menjadi contoh bagus karena gerakan Revolusi Islam Iran 1979, diawali dari universitas-universitas di kota pelajarnya, Qom, dengan pemikir ideologisnya, Ali Syari’ati (Tamara, 2017).

Di Amerika Serikat, gerakan mahasiswa masih eksis sampai hari ini, padai 2018 lalu, setelah penembakan Stoneman Douglas High School, mahasiswa mulai mengorganisir aksi unjuk rasa terhadap kekerasan senjata yang bertajuk ‘March for Our Lives’, dan menuntut undang-undang senjata AS. Dari contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa, walaupun era globalisasi dan milenialisasi, gerakan mahasiswa tetap eksis di banyak negara, tetap juga punya efek yang besar dalam menekan institusi politik formal.

Baca Juga  Bagaimana Cara Memiliki Otoritas Keilmuan?

Gerakan Mahasiswa Post-Reformasi

Pada era Post-Reformasi, terdapat dua periode gerakan mahasiswa. Periode pertama, 1999-2004, merupakan periode pengawalan agenda reformasi, lewat empat kali amandemen UUD 1945. Amandemen ini mengakomodir tuntutan reformasi seperti demokratisasi politik, pembatasan kekuasaan, dan kebebasan berekspresi. Mahasiswa masih solid menjaga ghirah pergerakan. Ditambah lagi, common enemy yang jelas, tiga presiden dalam periode lima tahun (Husin, 2013).

Setelah Presiden dipilih secara langsung, seakan gerakan mahasiswa meredup dan masih mencari jati diri. Fokus gerakan mahasiswa kini cenderung bergeser ke arah kasuistis, seperti protes kenaikan harga BBM, penolakan pelemahan KPK, hingga protes Omnibus Law yang pro-investasi elite. Mahasiswa juga lebih fokus pada kepentingan politik di kampus, yang seringkali ditunggangi oleh aktor politik nasional.

Bentuk Baru Gerakan Mahasiswa ‘Milenial’

Pada periode kedua Post-Reformasi gerakan mahasiswa, juga ditempati oleh para millenials, sehingga berpengaruh pada pola interaksi antar-mahasiswa. Hal ini berimplikasi pada modernisasi gerakan dan alat-alatnya agar sesuai dengan zaman. Bentuknya beragam seperti modernisasi media publikasi, ‘milenialisasi’ fesyen para petinggi gerakan, bahkan wacana pergerakan ikut diperbaharui.

Namun, transformasi ini acapkali menghilangkan identitas dan esensi gerakan itu sendiri. Tak jarang, banyak gerakan mahasiswa seakan mempertahankan status-quo yang makin pragmatis, dengan memfasilitasinya agar gerakan tak sepi. Selain itu, wacana pergerakan juga bergeser kepada isu-isu yang sifatnya horizontal. Akhirnya, terjadi vis a vis antara mahasiswa dengan masyarakat, bukan lagi penguasa, semisal permasalahan LGBT atau kesetaraan gender.

Padahal, di berbagai belahan dunia, isu-isu semacam gender-equality dan rasialisme menjadi wacana pergerkan, dengan agenda perlawanan kepada penguasa, sebagai policy-makers. Berbeda dengan Indonesia, yang menggunakan narasi-narasi yang menyerang budaya ke-timur-an. Alhasil, fenomena ini berimplikasi pada kosongnya peran gerakan sebagai penekan penguasa. Padahal isu-isu korupsi, agraria, pendidikan dan lainnya, menjadi lebih kompleks dibandingkan era pra-reformasi.

Baca Juga  "Quo Vadis Ulil?" (1): Kritik Pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang Lingkungan

Oleh karenanya, kontekstualisasi pergerakan mahasiswa memang amat dibutuhkan dewasa ini, agar peran sebagai kelompok penekan dapat ambil bagian. Berlainan sisi, mahasiswa juga harus memahami esensi dan filosofi gerakan agar tak kehilangan identitas. Karenanya, milenialisasi gerakan bukan hanya mengganti baju usang semata namun tetap menjaga pragmatisme, tetapi juga memperbaharui strategi agar gerakan mahasiswa dapat diterima publik

Editor: Arif

Avatar
3 posts

About author
Alumni Fakultas Hukum UGM, Ketua Umum HMI Komisariat Hukum UGM 2018-2019, Ketua Bidang Pembinaan Aparat Organisasi HMI Cabang Bulaksumur Sleman 2019-2020. Tertarik pada isu-isu dan diskusi-diskusi tentang Hukum, Politik, Pergerakan Mahasiswa, dan Islam Kontemporer
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds