Menelusuri Jejak Mistis
Penampakan mahluk astral, Dissociative Trance Disorder (DTD), paranormal, mantra atau ritus praktik sihir dan berbagai fenomena menakutkan lainnya hingga era moderen saat ini lazimnya dikaitkan dengan kata mistis.
Etimasi masyarakat dapat dibenarkan, mengingat definisi pengetahuan mistis ialah pengetahuan yang diperoleh tidak melalui indera dan bukan melalui raiso. Pengetahuan ini diperoleh melalui rasa dan hati (Hambali, 2017:76).
Pengetahuan mistis sangat subjektif, sebab mistis didominasi oleh aksidensi supra-natural yang hanya diakses melalui self-awareness atau kesadaran personaliti. Namun apakah benar, mistis hanya terkait dengan hal ihwal irasional menakutkan seperti yang disebutkan sebelumnya? Apakah benar Islam juga mengenai isitilah mistis demikian?
Menurut etymology istilah misits atau misitk merupakan kata kerja Yunani, mystikos yang artinya rahasia. Pada awal penggunaannya di Barat pada abad ke-5 kata mystical menunjukkan suatu corak teologi yang hanya mengindahkan pendekatan yang melampaui akal dan pengalaman manusia (Hambali, 2017: 69).
Di Timur, pengetahuan misitis kerap ditemukan melalui diskursus tasawuf atau sufisme. Sufi dikenal sebagai orang-orang yang memiliki keistimewaan yaitu kedekatan dengan Tuhan.
Nama-nama seperti Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Abu Yazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, hingga tokoh nusantara seperti Siti Jenar mendidikasikan banyak keistimewaan fenomena mistis (karomah) yang irasional. Nash-nash Al-Qur’an juga banyak merawikan mukjizatpara utusan-Nya sebagai atribut kenabian.
Secara parsial, mukjizat, karomah, intuisi, magis juga tidak selalu abstrak. Misalnya saja, teolog besar Islam sunni, Imam Al-Ghazali banyak membenarkan diskursus perihal intuisi, salah satunya dalam kitabnya Risalah Al-Ladunniyyah.
Bahkan Prancis yang populer dengan orientasi rasionalistnya memiliki tokoh seperti Henri Louis Bergson yang menjelaskan secara ilmiah mengenai adanya kemampuan tinggi manusia yang juga disebut intuisi.
Memperoleh Pengetahuan Mistis
Pengetahuan misitis menjadi magnet eksklusif dalam dunia keislaman. Arteri untuk menjangkau pengetahuan tersebut ditempuh, guna berbagai tujuan yang berkedudukan provisional hingga yang infinite.
Namun, memperoleh pengetahuan mistis bagi masyarakat awam bukan merupakan sesuatu yang sederhana. Bukan pula mustahil setiap orang dapat memperoleh pengetahuan tersebut.
Para sufi menjangkau pengetahuan mistis dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah. Berbagai ritual agama yang dilakukan oleh mereka biasa disebut dengan istilah (riyadah) latihan dan (uzlah) menyisihkan diri. Bahkan ada usaha lain yang dilakukan para tokoh mahzab paripatetik muslim di abad ke-9 M, mereka berupaya memperoleh pengetahuan mistik dengan silogisme Aristoteles.
Mistis Bukan Angker
Mistis bukan barang angker, pengetahuan mistis memanifestasikan pencapaian distingtif dalam perspektif Islam.
Para ahli hikmah menyadarai bahwa kekuatan Tuhan baik yang ada dalam diri-Nya atau yang ada dalam firman-Nya dapat digunakan oleh manusia. Ayat-ayat Al-Qur’an atau kitab langit lainnya sering digunakan sebagai perantara untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya, bahkan Asma-asma Tuhan sering digunakan untuk meminta sesuatu (Hambali, 2017:69).
Meski diakui secara universal, dalam masyarakat modern pengetahuan mistis kerap menjadi sesuatu yang disisihkan. Masyarakat modern sudah menganggap science telah mampu merespons variasi fenomena tantangan zaman.
Problematika pengetahuan mistis bagi tren modern terletak pada etimasi bahwa pengetahuan mistis akan menjauhkan manusia dari telaah akali. Padahal penyangkalan terhadap pengetahuan mistis justru akan memperkecil khazanah keilmuan manusia itu sendiri.
Editor: Yahya FR