Nafsiyah

Model Pedagogi Kritis Dahlanian

4 Mins read

Masalah falsafah merupakan salah satu masalah perkaderan hari ini. Tapi jangan salah. Bukan karena kita tidak memiliki suatu falsafah yang melandasi dan sinkron dengan keseluruhan bangunan perkaderan, namun lebih tepatnya karena falsafah yang melekat bersifat mekanistik.

Hal itu terjadi karena kita mungkin belum secara seksama melihat unsur relasional guru-murid dalam kelas Dahlan, dan terjebak pada formulasi konten-konten dan keyakinan yang mungkin dimiliki Dahlan. Akibatnya, pendidikan kita terjebak pada pendidikan gaya bank yang berorientasi pada penabungan materi.

Kelas-kelas Kader Kita Sekarang

Kelas-kelas kader menjadi sekedar transfer pengetahuan yang satu arah, kering dan minim refleksi apalagi aksi. Kita diberitahu bahwa Dahlan begini dan Haedar begitu, bahwa Wirsan begini dan Djazman begitu tanpa kesempatan untuk mengkonstruksi secara mandiri pengetahuan melalui data-data otentik.

Pasca itu mungkin ada forum diskusi atau diskusi tanya jawab. Fungsinya bukan untuk mengasah kemandirian berpikir dan ketajaman analisa, tapi lagi-lagi demi memantapkan mitos organisasi dan narasi yang mendominasi. Kalau organisasi minim inovasi jangan salahkan kadernya, toh memang demikian tujuan perkaderan mereka.

Puncaknya kader dikukuhkan dalam sebuah prosesi sebagai tanda mereka telah lulus atau di’wisuda’. Diucapkan sumpah yang dirapal namun sangat jarang merasuk ke dalam hati. Itu harapan yang muluk-muluk pada agenda yang dilakukan kurang dari tiga hari dengan sedikit waktu untuk refleksi.

Jika demikian, apa bedanya perkaderan dengan kelas-kelas formal yang menanamkan paksa kepada kita mengenai perdamaian sedangkan realitanya kekerasan terus digemakan? Pula bagaimana logikanya seseorang diajarkan toleransi namun diskriminasi hukum terjadi disana-sini?

Hasilnya kader jarang bisa menangkap kontradiksi apalagi memberi solusi. Jelasnya karena mereka memang tidak diajarkan untuk itu. Yang ada mereka belajar tentang terma-terma dan istilah-istilah melangit agar pandai berkhotbah atau berorasi, entah tentang ‘trilogi-trikoda’, ‘gerakan pelajar ini-itu’ dan lainnya.

Baca Juga  Sudah 109 Tahun, Sampai Mana Kemuhammadiyahan Kita?

Terbentuklah kecenderungan kader-kader kita yang elitis, yang lantang bicara namun sepi aksi. Yang gagah di mimbar dan forum sendiri, namun mandul menghadapi krisis dehumanisasi. Yang sibuk bicara ideologi sebagai teori namun minim manifestasi.

Pedagogi Kritis Dahlanian

Tergambar dalam sebuah karya visual historis, katakanlah film Sang Pencerah, tampak Dahlan tidak bertindak selaku guru maha tahu yang mencekoki ilmu-ilmu. Sebaliknya, ia hadir laksana rekan belajar yang mengajak santri-santri untuk menyelami khasanah keislaman. Hal itu dilakukan melalui dialog, ketimbang monolog.

Ada banyak cuplikan dari karya itu dimana Dahlan mendidik melalui hikmah, mendekatkan murid dengan realitas, dan bahkan bertindak langsung menyentuh dan mengubah kondisi. Misalnya, ketika seorang murid bertanya, mengapa lagi-lagi Al Maun dikaji dan, “Bukankah banyak surat lain yang juga harus kita mengerti, Kiyai?”

Dahlan segera menjawab bahwa bukan mengerti jika sekedar mengetahui makna pada ayat-ayat Al Maun, namun pengertian baru tercapai jika pengkajian itu telah berbuah aksi. Maka sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Penolong Kesejahteraan Oemat lahir dari situ: kepaduan refleksi dan aksi pada pesan Tuhan untuk membantu sesama.

Jadilah bagi Dahlan ruang kelas bukan sekedar media transfer informasi, melainkan lebih sebagai rumah pemberian teladan dan markas perancangan aksi transformasi. Dahlan memberi contoh bagaimana menjadi intelektual organik yang bekerja bukan hanya untuk mempopulerkan ide-ide utopis gerakan namun secara nyata menciptakan gerakan.

Disini kita bisa amati sebentuk filosofi perkaderan yang mendahului zamannya. Filosofi itu adalah pedagogi kritis. Jika pendidikan dimaknai disini sebagai penyadaran yang mengandung perenungan sekaligus tindakan perubahan maka Dahlan telah mencapai makna itu dengan menjadikan pendidikan sebagai katalisator transformasi.

Demikian itu menunjukkan bahwa pada akarnya, Muhammadiyah memiliki pedagogi kritis. Filosofi itu juga yang melahirkan murid-murid awal Dahlan yang melanjutkan tampuk kepemimpinan sepeninggal Beliau.

Baca Juga  Muhammadiyah Selalu Independen di Tengah Polemik

Mereka ini kemudian yang mengukuhkan pondasi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam berkemajuan yang tak lekang oleh waktu, yang kita nikmati hari ini kebesarannya.

Pedagogi Kritis sebagai Filosofi Perkaderan

Maka ditawarkan sebuah proposal untuk memugar kembali filosofi pedagogi kritis dalam perkaderan. Hal ini didasari oleh uraian sebelumnya, yang menunjukkan bahwa praksis pendidikan pada masa awal Muhammadiyah memiliki ciri kritis itu. Juga pada kenyataan terdapat keresahan karena perkaderan tidak kunjung melahirkan kader ‘paripurna’.

Paling tidak ada tiga prinsip dasar pedagogi kritis yang harus dipertimbangkan dalam memformat perkaderan. Ketiga prinsip itu harus terjalin bersamaan agar derivasi dalam metodologi dan praktik perkaderan betul-betul berada dalam koridor pedagogi kritis.

Pertama, prinsip pemahaman dan pemenuhan fitrah manusia. Pedagogi kritis menyadari manusia sebagai makhluk Tuhan yang sempurna dan unggul karena memiliki akal dan kebebasan dalam menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi.

Suatu perkaderan yang bervisi kritis karenanya akan berusaha untuk memberi ruang bagi penajaman nalar sehingga kader mencapai tingkatan kognisi analisa-sintesa, tidak hanya tahu atau paham. Perkaderan kritis juga harus menciptakan partisipasi atau peran aktif kader sehingga memupuk rasa tanggungjawab dan kepemimpinan mereka.

Kedua, filosofi kritis dalam perkaderan menuntut pembelajaran mencapai refleksi dan aksi sekaligus. Jika hanya bermuara pada refleksi, maka pembelajaran itu tidak akan menemukan makna yang sempurna. Sedangkan jika sekedar aksi tanpa refleksi akan sekedar menjadi keonaran tak terukur.

Pada prinsip ini kelas perkaderan tidak boleh hanya dimaknai secara sempit sebagai ruangan dalam bentuk fisik. Justru, kelas perkaderan itu adalah seluas realitas yang ada. Sejauhmana ada manusia yang mengalami ketertindasan, maka disana adalah kelas bagi kader-kader kritis.

Baca Juga  Menjernihkan Polemik tentang Salafi dan Syiah di Muhammadiyah

Prinsip kedua ini juga menandai bahwa perkaderan belum selesai hanya dengan berakhirnya forum-forum pertemuan rumah Arqam. Bahwa perkaderan adalah proses yang terus terjadi dengan perumusan dan aktualisasi solusi. Jadilah demonstrasi dan berbagai alternatif aksi lain tidak boleh ditangguhkan dalam perkaderan.

Ketiga dan terakhir, pedagogi kritis memposisikan baik guru dan murid dalam posisi sejajar. Guru atau instruktur tidak bertindak sebagai pusat pembelajaran yang menjadi sumber utama pembelajaran. Melainkan murid atau kader itu sendiri yang sama-sama melakukan pencarian dan mendiskusikan temuan mereka dalam forum perkaderan.

Penerjemahan dalam perkaderan dapat dilakukan dengan memberi kesempatan bagi kader untuk menelusuri dan mengolah literatur sesuai tema pembelajaran. Forum kemudian diarahkan kepada penyajian dan pengujian atas hasil belajar kader. Kader akan dinilai dari thesis, argumen, bukti dan proses penalaran yang valid.

Prinsip ini penting sebagai turunan dari keyakinan atas Tauhid; bahwa setiap manusia sejatinya sama dihadapan Tuhan kecuali atas ukuran ketakwaan mereka. Maka prinsip ini sekaligus mengandung proses transendensi manusia dari nafsu keduaniawian untuk menguasai kepada penyataan diri selaku hamba Tuhan yang lemah dihadapan-Nya.

Demikianlah tiga prinsip pedagogi kritis dapat dirangkum menjadi tiga kata berikut: kemanusiaan, kebebasan dan ketuhanan. Atau dalam frasa lain yang digunakan oleh Kuntowijoyo: humanisasi, liberasi dan transendensi.

Editor: Nabhan

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Nafsiyah

Islam: Melebur dalam Seni dan Budaya Indonesia

4 Mins read
Islam Budaya | Indonesia dengan puluhan ribu pulau dari Sabang sampai Merauke memiliki beragam budaya dan adat istiadat. Keragaman budaya itu menghasilkan…
Nafsiyah

Empat Penyebab Intoleransi kepada Minoritas

3 Mins read
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia sering kali dilanda oleh berbagai macam fenomena keagamaan, terutama pada umat Muslim. Intoleransi dan diskriminasi golongan tertentu…
Nafsiyah

Potret Pembelajaran Islam di Rusia

1 Mins read
Dilansir dari World Population Review, jumlah pemeluk agama Islam di muka bumi ini pada tahun 2020 yakni sebanyak 1,91 miliar orang. Dengan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds