Tidak berselang lama lepas dilantiknya Listyo Sigit Prabowo sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), beliau berkunjung ke Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, tentu saja ini tepat mengingat Muhammadiyah selalu konsisten dengan wacana dan praktik moderasi.
Dalam konferensi pers usai pertemuan internal itu, Kapolri Listyo mengutarakan komitmennya untuk merubah pendekatan penanganan radikalisme dan terorisme kepada pendekatan yang lebih humanis. Tidak saja itu, beliau juga sampaikan niat baiknnya untuk menggunakan pendekatan moderasi beragama daripada penggunaan pendekatan yang bersifat hard.
Sebagai sebuah idealita tentu saja itu penting, tetapi verifikasi dari niat baik itu sesungguhnya tergambar dari sejauh mana Kepolisian mampu menerapkan tugas dan fungsinya dengan moderat di masa mendatang. Azyumardi Azra pernah menyampaikan, aktualisasi wasatiyyah (moderasi) tak berhenti di tingkat doktrin, namun juga hadir dalam wilayah empiris, sosiologis dan kultural. Ini penting untuk memastikan bahwa wacana moderasi itu tak berhenti sebagai pemeo belaka.
Lalu kita bertanya, bilamana wacana moderasi itu terujar dari lembaga Kepolisian, lalu siapakah yang paling bertanggung jawab untuk menerapkan sikap moderat paling utama? Sangat mudah untuk menjawab ini: Polisi dan Kepolisian itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab institusi kepolisian dalam hal ini rentan pula terpapar radikalisme dalam maknanya yang luas. Dalam soal radikalisme agama misalnya, Kapolri baru tentu masih ingat tentang Bripda Nesti yang turut terpapar radikalisme 2019 silam.
Masalah Kepolisian
Pada pertengahan tahun 2020, YLBHI merilis catatan untuk Polri di hari ulang tahun Bhayangkara. Setidaknya ada 6 permasalahan utama menurut YLBHI yang perlu diperhatikan dan dibenahi oleh Polri kedepan. Pertama, ihwal ketidakjelasan perkara mengenai pelaporan dugaan tindakan penodaan agama.
Kedua, masalah keterlibatan Polri dalam konflik lahan dan perampasan tanah. Ketiga, penggunaan pasal secara serampangan dan dianggap mengembalikan dwi fungsi polisi. Menjadi bagian dalam tanda-tanda otoritarianisme pemerintah. Keempat, tingginya kasus penyiksaan. Kelima, penuh pelanggaran dalam penyelidikan dan penyidikan. Keenam, sandiwara penanganan kasus penyerangan Novel Baswedan.
Seluruh persoalan yang berkelindan ditubuh Kepolisian itu muncul karena sikap radikal! Minimal radikal dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam soal kenegaraan, nasionalisme misalnya sering dipahami secara serampangan sehingga acap berujung pada sikap ultranasionalis. Dapat ditebak hasilnya, atas keberpihakan pada negara, masyarakat ditertibkan secara serampangan.
Radikal dalam penegakan hukum berujung pada ketidakadilan, radikal dalam penertiban sering diakhiri dengan pelanggaran hukum, radikal dalam pelayanan acap berakhir sikap “lembek” kepada masyarakat yang melanggar hukum dan ketertiban.
Masalah diatas, selain daripada masalah lainnya tentu saja harus diselesaikan seturut sejalan dengan moderasi tugas dan fungsi kepolisian. Kita tahu, tugas pokok Kepolisian adalah: 1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, 2) menegakkan hukum, 3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayan kepada masyarakat.
Sementara di wilayah praktikal, tugas dan fungsi ini kerap dijalankan secara terpisah dan diametral. Penegakan hukum kerap justru menimbulkan kerusuhan baru, sementara penertiban sering melanggar hukum. Demikian juga bahwa hukum diselengagrakan alih-alih melayani masyarakat, justru acap sering rakyat “dipukul” atas nama hukum dan ketertiban.
Moderasi Polisi dan Kepolisian
Sikap moderat tak boleh berhenti di wilayah wacana dan slogan belaka. Ia harus termaterialisasi dalam segala laku tindakan kita. Dalam kaitan pembahasan ini, mulanya sikap moderat mesti tercermin dalam tubuh Kepolisian itu sendiri.
Hanya dengan demikian, kunjungan ke Muhammadiyah dapat berguna dalam wilayah implementasi di kehidupan sosial dan kultural. Maka demikain berikut kiranya langkah yang mesti dilakukan kepolisian untuk memoderasi tubuhnya sendiri untuk kemudian secara konsisten menegakkan prinsip moderat di masa mendatang.
Pertama, perlu untuk memahami dengan benar moderasi dari tingkat filosofis hingga wilayah implementatif. Pemahaman ini perlu untuk kemudian memberi arah implementasi. Agar fakta implementasi tak berbenturan dengan wacana yang digulirkan. Pemahaman harus terus dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan keadaan. Tidak serampangan.
Kita tahu, masih banyak tindakan dan sikap yang dilakukan oleh kelompok sosial yang ektrem tetapi didapuk sebagai sikap moderat. Hal ini berasal dari kesalahpahaman mengenai moderasi.
Kedua, kerja sama dengan semua kalangan, khususnya bagi kelompok-kelompok sosial yang selama ini berada di arus pertengahan, tentu bukan untuk memarginalkan kelompok-kelompok yang lain. Kepolisian harus menjadi arus moderat dengan tidak memarginalkan kelompok yang lain lewat penegakan hukum yang timpang.
Ketiga, moderat dalam wacana dan praktik. Wacana dan praktik bisa saja radikal. Radikal dalam wacana adalah ujaran verbalistik yang berpotensi berhenti sekadar demagog. Sementara radikal dalam praktik adalah implementasi yang serampangan yang keluar dari konsep yang dibangun.
Keempat, kepolisian harus tegak pada prinsip kemanusiaan dan nilai-nilai universal sebagai basis values yang mempersatukan manusia dan segala kelompok, khususnya teguh berprinsip pada penegakan hukum untuk keadilan universal.
Kelima, menjaga persatuan dan kesatuan nasional. Kepolisian jangan sampai justru menjadi pisau pembelah kesatuan masyarakat. Perpecahan dan pembelahan masyarakat itu bisa saja terjadi bilamana kepolisian serampangan dalam berucap, semberono dalam bersikap, dan ceroboh dalam bertindak.
Keenam, moderat dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi kehadirannya. Jangan sampai hukum ditegakkan tetapi justru melahirkan kerusuhan baru. Jangan kerusuhan ditertibkan dengan melanggar prinsip-prinsip hukum. Jangan juga hukum dan ketertiban ditegakkan tapi justru melanggar prinsip kemanusiaan.
Simpulnya, semua tugas dan fungsi kepolisian tersebut harus dijalankan secara integral dan terpadu, tak diimplementasikan secara terpisah dan diametral. Bila demikian adanya, akan timbul radikalisme yang baru.
Akhirnya, moderat dan moderasi berpulang kepada sejauh mana niat dan pemahaman kita dapat berwujud dalam laku keseharian. Menghindari segala laku tindakan radikal yang berpotensi menyasar setiap manusia dan kelompok apapun. Semuanya berangkat dari pengetahuan, pemahaman, kesadaran plus tindakan.
Editor: Yusuf