Perspektif

Motif Kekuasaan dan Musibah Terberat bagi Rakyat Indonesia

3 Mins read

Ketika orang-orang sedang memperebutkan sesuatu, paling tidak ada tiga jenis motif yang melatar belakanginya. Pertama, karena kepuasan pribadi. Kedua, karena gengsi. Ketiga, karena ingin mengemban tanggung jawab atas apa yang sedang diperebutkan. Dari ketiga jenis motif yang telah disebutkan, ada orang yang hanya memilih satu motif, ada juga yang memilih dua motif, dan ada juga yang memilih ketiga-tiganya. Lalu, bagaimana dengan motif kekuasaan di Indonesia?

Motif Kekuasaan

Orang yang suka mengoleksi kaset-kaset pita lama motifnya lebih cenderung karena kepuasan pribadi. Ia merasa puas karena telah memiliki yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kalaupun niatnya ingin pamer, pamer kepada siapa. Toh, koleksi kaset semacam itu tidak begitu power full untuk dipamerkan kepada orang lain.

Orang yang membeli mobil mahal motifnya lebih cenderung karena gengsi. Toh, Avanza dengan Alphard misalnya, fungsi utamanya sama, yaitu sebagai alat transportasi untuk mempermudah kita menempuh jarak tertentu. Hanya saja, kalau ketemu teman-teman dan mereka tahu ia naik alphard, di hati orang tersebut muncul semacam rasa bangga, merasa dirinya sukses. 

Orang yang memperebutkan posisi sebagai direktur suatu perusahaan, motifnya karena dia ingin bertanggung jawab atas apa yang sudah diraihnya. Ia bekerja dengan sangat bersungguh-sungguh. jika bekerja seenaknya saja, pekerjaan amburadul, tentu saja apa yang akan didapatkannya akan mudah hilang. Jika perusahaan bangkrut, otomatis jabatan itu akan melayang seketika.

Di Indonesia, kita semua pasti sudah mengetahui. Jabatan politik apapun, dimulai dari kepala desa hingga presiden selalu diperebutkan dan menjadi perbincangan yang ramai baik di bilik warung-warung kopi sampai kantor perkantoran elit. Seharusnya, jabatan politik itu cenderung ke jenis motif yang ketiga, yaitu karena ingin mengemban tanggungjawab atas apa yang telah diperebutkan. Seseorang mencalonkan diri jadi kepala desa karena ingin mengelola kawasannya. Dari yang kurang baik menjadi kearah yang lebih baik. 

Baca Juga  Bung Karno: Begawan Politik Muhammadiyah

Kira-kira gambarannya seperti ini. Dia mengusahakan supaya gerakan sosial di desanya tersebut menjadi semarak. Program-programnya berimbas langsung kepada kehidupan masyarakat, baik secara sosial, budaya dan ekonomi. Infrastruktur yang dulunya belum ada dan sangat penting, semaksimal mungkin diupayakan untuk dipenuhi.

Persoalan yang hadir sekarang ini malah jauh dari motif kekuasaan yang seharusnya. Perebutan jabatan politik banyak yang bukan karena jenis motif ketiga, namun lebih cenderung motif pertama atau kedua. Atau bahkan gabungan motif pertama dan kedua. Coba kita simulasikan sekarang dengan jabatan kepala desa.

Simulasi Jabatan

Bayangkan jika ada orang sudah bercita-cita sejak lama ingin menjadi kepala desa. Setelah mencalonkan diri dan akhirnya terpilih jadi kepala desa, kemudian dengan jabatannya ia memilih bekerja dengan prinsip “yang penting asal jalan”. Karena ia menganggap menjadi kepala desa sudah menjadi bagian dari sejarah hidupnya dan ia merasa bangga. Dalam hal ini ia lebih cenderung memilih motif pertama: kepuasaan pribadi.

Kalau ada seseorang terpilih menjadi kepala desa. Dengan jabatannya ia memperkaya diri, alih-alih memajukan desanya. Di mana pun ada acara, ia tampil dengan aksesoris (termasuk mobil) serta bahasa tubuh yang menunjukkan bahwa ia ingin pamer, berarti ia lebih cenderung memilih motif kedua: karena gengsi.

Kalau ada seseorang terpilih menjadi kepala desa. Ia bekerja mati-matian untuk memajukan desanya. Tidak terlena dengan kebanggaan pribadi. Tidak peduli ia akan jadi kaya raya atau tidak. Karena satu-satunya kebahagiaannya adalah ketika desanya maju. Berarti ia lebih cenderung memilih motif ketiga: bertanggung jawab atas apa yang diperebutkan.

Musibah untuk Rakyat

Kita bisa melihat, kebanyakan orang yang terjun di dunia politik dan akhirnya terpilih menempati jabatan tertentu, kira-kira kerjanya bagaimana? Apakah asal jalan? Apakah malah memperkaya diri? Apakah serius ingin mengemban tanggung jawab, berjuang dan mengabdi? Kalau dilihat dari perilaku-perilaku kebanyakan pejabat politik kita, yang kita ketahui melalui media, juga di masyarakat pada umumnya saya kira lebih banyak orang yang cenderung memilih motif pertama atau kedua, bahkan kedua-duanya sekaligus.

Baca Juga  Berakhirnya Era Cebong dan Kampret

Sebenarnya tidak masalah jika seseorang memilih motif pertama dan kedua, asalkan motif ketiga tetap ia pilih dan ia upayakan. Silakan menyikapi jabatan politik sebagai kepuasan pribadi atau untuk meningkatkan gengsi, asalkan tanggung jawab atas jabatan yang diembannya tetap diupayakan dengan sangat serius.

Jujur saja, saya pribadi kesulitan mencari contoh yang memilih motif kekuasaan yang ketiga sebagai prinsipnya dalam melaksanakan tugas atas jabatan politik yang diemban oleh seseorang. Saya kira, inilah musibah terberat bagi rakyat Indonesia.

Sampai kapan pun, jikalau melulu motif pertama atau kedua, bahkan kedua-duanya yang dipilih oleh kebanyakan orang yang terjun di dunia politik, Indonesia tak akan pernah maju. Mau ada pemilu berjuta-juta kali, ketika orang-orang yang mencalonkan diri di dalam pemilu tidak benar-benar serius mau bertanggung jawab ketika dipilih, janji-janji pemilu tak lebih dari isapan jempol belaka.

Editor: Nirwansyah/Nabhan

5 posts

About author
Mahasiswa Administrasi Pembangunan Negara Politeknik STIA LAN Bandung, Ketua Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Jawa Barat Bidang Advokasi
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds