Perspektif

Bolehkah Kita Meragukan Kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan?

2 Mins read

Tulisan ini sedikitnya memuat nasehat untuk siapa saja yang meragukan kepemimpinan (kekhalifahan) Muawiyah bin Abi Sufyan (ra), atau bagi siapa saja yang terlanjur menuduh hal-hal yang tidak seharusnya kepada diri beliau.

Pada beberapa bulan yang lalu, atau lebih tepatnya, pada bulan Muharram yang lalu. Persisnya, bulan Asyura (10 Muharram), sebagian kalangan memperingati peristiwa Karbala. Di tengah momentum itu, sebagian kalangan seperti perlu menggoreng isu lama.

Sentimen kesektean semacam barang wajib dan harus kembali dimunculkan. Muaranya, ideologi takfiri (mengkafirkan sesama muslim) sangat kentara aromanya. Momentum peringatan Asyura semacam refleksitas atas semua peristiwa mengenaskan tersebut. Sesambut dari momentum tersebut, persaudaraan sesama Muslim seperti kembali tercabik.

Sebenarnya hal ini sudah tidak seharusnya dipaparkan kembali. Namun, namun saya rasa tulisan ini perlu untuk dipublikasi. Sebab, ada sebagian teman saya yang masih meragukan keabsahan kepemimpinan beliau, bahkan ada yang menafikan gelar “shahabi” pada diri beliau. Anehnya, mereka bersandar pada karya Imam Al-Suyuthi, yaitu Tarikh al-Khulafa.

Di sini akan saya tulis pernyataan Imam Al-Suyuti sendiri dalam kitab Tarikh al-Khulafa. Justru di dalam kitabnya tersebut beliau menyatakan hal yang sebaliknya, bahwa kekhilafahan sahabat Muawiyah (ra) adalah kekhilafahan yang telah disepakati oleh umat (para sahabat yang lain) pada masa itu.

Berikut ini bisa dilihat dalam Tarikh al-Khulafa, bab Fi Muddah al-Khilafah, halaman 16: “…anna al-nasa ijtamau ala abi bakrin tsumma umara tsumma utsmana tsumma ali ila waqaa amri al hukmina fi shiffin fatusamma muawiyatu yawmaidzin bi al khilafati tsumma ijtamaa al-nasa ala muawiyati inda shulhi al-hasan..” (sesungguhnya umat (para sahabat Nabi) sepakat atas Abu Bakar (ra), lalu Umar (ra), lalu Utsman (ra) kemudian Ali (ra), sehingga terjadi perkara tahkim dalam perang Shiffin, maka Muawiyah pada saat itu menjabat sebagai khalifah. Kemudian umat (para sahabat) menyepakati kekhalifahan Muawiyah tatkala Hasan (ra) lengser).

Baca Juga  Menumbuhkan Secure Attachment di Tengah Pandemi
***

Semakin gencarnya serangan mereka, tak ayal jika banyak kalangan khususnya kaum muda termakan hasudan busuk kaum yang tak berdasar itu. Di antara hasudan busuk itu menyerang para sahabat, khususnya rival Sayidina Ali (ra), yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan (ra). Kita (ahli al-sunah wa al-jama’ah) meyakini bahwa para sahabat Nabi Saw adalah umat terbaik dan teragung setelah Nabi Saw.

Terkait tuduhan busuk yang menyerang sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan (ra), Syekh Abu abdillah al-Dzahabi menulis kitab tersendiri, yaitu Raddu al-Buhtan ‘an Mu’awiyati bin Abi Sufyan sebagai bantahan atas hasudan keji kepada beliau. Di sana (dalam kitab tersebut) diutarakan agar kita berbaik sangka (husnuzan) kepada sahabat-sahabat Nabi Saw, terkhusus kepada beliau, Muawiyah (ra).

Mestinya, kita harus proporsional memahami sosok sahabat Nabi Saw, terkhusus sosok Muawiyah bin Abi Sufyan (ra). Barangkali ini menjadi jawaban atas keraguan kebanyakan orang, khususnya kalangan yang salah faham dan bahkan untuk yang “anti” pada rival Sayidina Ali (ra) di perang Shiffin, yakni kepada Muawiyah bin Abi Sufyan ini.

Ketika Ali (ra) ditanya tentang pasukan Muawiyah (ra), “Apakah mereka musyrik?” Ali (ra) menjawab, “Mereka lari dari kemusyrikan.” “Apakah mereka munafik?” Jawab Ali (ra) lagi, “Orang munafik tidak mengingat Allah.” “Lalu, apa status mereka?” “Mereka adalah orang-orang yang membangkang (baghaw) kepada kita.” kata Ali (ra). Selanjutnya, inilah komentar Ali (ra) terhadap mereka, “Qatlaya wa qatla muawiyati fi al-jannah.” (korban yang terbunuh di pihakku dan di pihak Muawiyah (ra) semua masuk surga). (Lihat, Mu’jamu al-Kabir).

***

Sebenarnya kita tak perlu mengungkit-ungkit lagi masalah itu. Ibnu Abbas (ra) berkata, “Da’hu (utruk al-qawla fi muawiyati wa al inkara alaihi) fainnahu shuhba rasulillah.” (tinggalkan muawiyah (maksudnya, jangan ngomongin beliau apalagi menginkarinya). Sesungguhnya beliau adalah sahabat Rasulillah Saw). (Lihat, Bukhari Masykul). Di dalam kitab yang sama, di bab Fadhailu Ashhabi al-Nabi, dan atau di banyak haditsnya, bahwa Nabi Saw menyebutkan, para sahabat Nabi Saw akan bersama beliau di surga.

Baca Juga  Prinsip Berwirausaha Sesuai Al-Qur'an

Sementara itu, mengomentari kepemimpinan Muawiyah (ra), Syekh Muhamad Nawawi Al-Jawi mengemukakan, “Khilafatuhu shahihatun.” (kekhilafahan Muawiyah (ra) adalah khilafah yang sah). (Lihat, Syarh Tijanu al-Darari). Ibnu Abbas pun ketika ditanya soal kepribadian Muawiyah (ra), beliau menjawab, “Innahu faqihun.” (sesungguhnya Muawiyah (ra) sangat mengusai ilmu fiqih).

Semoga kita dijauhkan dari hati dan lidah yang memiliki kebencian terhadap ahlul bait dan para sahabat Nabi, terkhusus kepada Muawiyah bin Abi Sufyan (ra). Amin.

Editor: Yahya FR

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds