Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Menjelang pertengahan tahun 1905, genaplah usia Muhammad Abduh 55 tahun. Dalam usia selama itu digunakan untuk bekerja giat tanpa istirahat. Manusia yang terdiri daripada darah dan daging adalah terbatas kekuatan jasmaniah dan rohaniahnya. Dirasakan kesehatannya mulai menurun, apalagi setelah mengadakan perjalanan jauh.
Sering ia jatuh sakit yang menurut keterangan dokter akibat terlalu berat bekerja dan berpikir. Maka dinasehatkan kepadanya agar beristirahat, namun nasehat itu kurang diperhatikan hingga penyakitnya bertambah berat. Sejak bulan Juni, Abduh sudah tidak kuasa ke luar rumah dan tetap terbaring di tempat tidur, namun masih tetap bekerja dan berpikir.
Rasyid Ridla menuliskan kata-kata yang keluar dengan lemahnya dari sela-sela bibir yang telah pucat yang disela-selai dengan erang kesakitan. Kata-kata ini ditulisnya, terputus-putus, dirangkaikan menjadi bahan kuliah. Demikianlah Abduh terus bekerja namun penyakitnya pun terus bekerja menggerogoti kekuatan dan dagingnya sehingga bertambah kurus dan lemah. Atas nasehat dokter, dia dibawa ke Iskandariyah agar dapat beristirahat dan mendapat hawa yang nyaman. Di kota itu, dia dirawat di rumah saudara sahabatnya, Muhammad Beik.
Harian yang terbit di Mesir, Iskandariyah dan Sudan hampir setiap hari memuat berita tentang perkembangan penyakitnya. Dan seluruh dunia Islam menanti dengan harap-harap cemas. Selama di Iskandariyah itu murid-muridnya bertekun menungguinya, terutama Rasyid Ridla. Dengan bercucuran air mata ditulisnya catatan yang menggambarkan betapa dalam kecintaan murid-muridnya itu kepada gurunya yang telah sampai di ambang pintu kepergiannya.
Antara lain dapat dibaca dalam catatan Rasyid Ridla: ”Adapun kami, murid dan sahabat terdekat, tiap hari dan tiap saat berjaga bergantian di sekeliling tempat tidurnya dengan hati yang amat susah dan kuatir, terombang-ambing antara harap dan cemas serta tidak putusnya bibir kami bergerak-gerak mengucapkan doa ke hadlirat Allah bagi kesembuhannya. Jika ia kelihatan tenang, maka besarlah harapan kami, tetapi apabila sesudah itu kelihatan gelisah karena sakitnya, aduhai, hancur luluh rasanya harapan kami. Akhirnya, padamlah nyala harapan yang kelap-kelip itu. Kami terpaksa mengerti bahwa telah tiba saatnya Allah Azza wa Jalla yang menciptakan dia dan kita semua, memanggil dan menghadap. Tak ada lagi yang dapat kami lakukan selain harus bersabar dan tawakal, karena semua terjadi atas kehendak dan takdir-Nya. Pada tanggal 8 Jumadil-Ula bertepatan dengan 11 Juli 1905 jam 5 sore, guru dan imam kami, Syaikh Muhammad Abduh yang kami cintai, menutup mata dengan aman dan untuk selama-lamanya menghadap Allah Tuhan Seru sekalian alam setelah bergaul dan membina kami sehingga usia 55 tahun.”
Upacara pemakaman dilakukan secara resmi oleh pemerintah Mesir, sebagai Mufti dan orang besar memang sudah sepatutnya. Dengan kereta api istimewa janazahnya dibawa ke Cairo dan dishalatkan di Masjid Jami Al-Azhar lalu diistirahatkan dalam lingkungan kompleks universitas itu.
Lautan manusia menghormati janazah dan pemakamannya yang belum pernah terjadi peristiwa pemakaman sebesar itu, dan sebanyak itu air mata tertumpah menangisi seorang yang hilang. Mereka datang dari Iskandariyah, Al-Jazair, Tunis serta negara-negara lain. Utusan resmi dari negara-negara Islam berkabung. Lautan manusia itu menundukkan kepala dan berdesah dalam hati, sementara janazah dengan pelan-pelan dikebumikan, hilang dari pandangan ditimbun tanah. (Habis)
Sumber: buku Aliran Pembaharuan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif