Mayoritas muslim di era sekarang ini memberikan batasan terhadap segala sesuatu yang menggunakan akal, dan hanya mengutamakan satu-satunya kebenaran yang berasal dari wahyu.
Pada dasarnya, akal adalah salah satu anugerah dari Allah yang diberikan kepada manusia. Adanya akal pada manusia ini menjadi unsur paling penting untuk membedakan antara manusia dengan hewan dan makhluk-makhluk lainnya. Akal termasuk sains, dan wahyu termasuk agama. Sains dan agama ini sudah sejak dulu menjadi perbincangan para ilmuwan muslim sampai mejadi perdebatan antartokoh. Sehingga lahirlah tokoh dari ilmu kalam yang mengusung akal dan wahyu sebagai pemikirannya, yaitu Muhammad Abduh.
Biografi Muhammad Abduh
Siapakah Muhammad Abduh? Dia adalah pemikir pembaruan Islam yang sangat berpengaruh. Pada tahun 1849, Muhammad Abduh dilahirkan di Mahallaj Nasr, Mesir. Nama ayah beliau adalah Abduh Khairullah dan Ibunya bernama Junaidah. Ayahnya adalah seorang petani yang hidupnya sangat sederhana, taat beribadah, dan cinta pada ilmu pengetahuan.
Dalam kurun waktu 2 tahun, Abduh belajar dan menghafal Al-Qur’an. Pada tahun 1278 H/1862 M dalam usia 13 tahun, ia meneruskan belajarnya di masjid al-Ahmadi yang terletak di daerah Thantha, suatu pusat studi Islam terbesar yang terletak di Mesir setelah Al-Azhar. Dalam waktu satu setengah tahun belajar, Muhammad Abduh belum memahami tentang apa-apa, sebab pengajar di sana hanya memberikan istilah-istilah dalam tata bahasa Arab dan hukum fikih yang hanya untuk dihafal tanpa dijelaskan arti dari istilah-istilah tersebut (Mesir: Al Manar, 1931).
Kemudian pada tahun 1866 M, ia melanjutkan belajarnya di Al-Azhar, Kairo. Di Al-Azhar, ia belajar tentang filsafat dan logika. Salah satu guru dari Muhammad Abduh adalah Jamaluddin al-Afghani. Abduh lulus di Al-Azhar dengan menyandang predikat Alim.
Sejak 1882, Muhammad Abduh sempat diasingkan dari Mesir selama 6 tahun, dikarenakan adanya pemberontakan Urabi. Di pengasingannya, ia mempunyai banyak kegiatan, di antaranya sebagai guru dan penulis. Ia guru di tiga lembaga pendidikan formal, yaitu Al-Azhar, Darul Ulum, dan sekolah tinggi bahasa Khedevi yang mengajarkan berbagai mata pelajaran, seperti teologi sejarah, ilmu politik, dan kesustraan Arab (Al Manar, Vol VIII: 36).
Dalam keauntetikannya, tidaklah semua pemikiran dan pendapat pembaru saat itu disetujui oleh Pimpinan al-Azhar. Penghambat bakunya yaitu ulama yang memiliki pemikiran statis dan masyarakat umum yang sudah terkena pengaruh dari para ulama tersebut. Kemudian, Khadevi juga ikut menentang pemikiran Abduh, terutama yang berhubungan dengan lembaga wakaf yang melibatkan keuangan. Banyak sekali rintangan yang dialami oleh Abduh, yang menjadikannya sakit dan akhirnya wafat pada 11 Juli 1905 atau 8 Jumadil Awal 1323 H, dimakamkan di Kairo, Mesir.
Pemikir Modernis Islam
Muhammad Abduh merupakan salah satu pemikir modernis Islam yang berjuang menegakkan bentuk Islam dengan meneguhkan bahwa sudah sepatutnya kita memanfaatkan pikiran dengan semestinya. Maka, hasil yang diraih akan sesuai dengan fakta Illahi yang telah diajarkan oleh agama.
Dengan memiliki akal, kita bisa mengetahui keberadaan Tuhan dan keberadaan sesuatu yang berada di balik kehidupan ini. Pendidikan dapat dijadikan suatu alasan, mengapa setiap manusia memiliki kemampuan daya yang berbeda, selebihnya itu terjadi secara alami dan atas kehendak Tuhan.
Oleh sebab itu, manusia diharuskan memakai akalnya untuk berpikir itu bukan semata-mata sebagai ilham dalam dirinya. Namun, itu juga bagian dari ajaran Al-Qur’an yang mewajibkan kita untuk berpikir dan melarang taklid. Muhammad Abduh menyetujui pendapat tersebut. Karena menurutnya, taklid itu menjadi salah satu alasan terjadinya keterbelakangan yang dialami oleh umat Islam saat itu, dan Abduh sangat menyayangkan sikap taklid yang dipergunakan di berbagai aspek kehidupan.
Akal Tak Dapat Mengetahui Segala Hal
Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal itu tak dapat mengetahui segala hal. Maka, di sini dapat kita pahami bahwa akal membutuhkan wahyu. Dengan begitu, bisa kita tarik kesimpulan bahwa wahyu itu menyempurnakan akal. Peran dari wahyu yaitu memberikan informasi mengenai detail hukum dan gaji yang diperuntukkan kepada manusia kelak di akhirat. Wahyu juga muncul menjadi penolong dan memberikan keyakinan kepada akal bahwa apa yang diucapkannya mengenai Tuhan itu benar adanya (Abduh: 1979).
Fungsi dari wahyu sendiri ada dua, yakni konfirmasi dan informasi. Abduh memberikan pengertian bahwa fungsi informasi sebagai pengetahuan yang diperuntukkan kepada manusia, sedangkan fungsi konfirmasi sebagai legislasi terhadap pengetahuan yang diperoleh tadi. Wahyu membantu akal dalam mendampingi masyarakat atas dasar kepercayaan yang dibawa, mengajari manusia untuk hidup tentram, dan menjadikan rahasia cinta sebagai dasarnya. Membaiat syariat sebagai dorongan agar manusia menjalankan kewajibannya, seperti berkata jujur ketika berucap dan lain-lain (Abduh, 2001: 66).
Menurut Abduh, wahyu itu terjalin sebab adanya proses komunikasi secara langsung yang dilakukan oleh Allah dan manusia. Kemudian, sesuatu yang didapatkan itu bisa ditoleransi oleh daya dan akal pikiran, lalu kita memiliki hak berpikir secara bebas. Namun, tetap tidak melebihi garis yang telah ditentukan oleh Allah (Abduh: 1987).
Pendapat Abduh mengenai hubungan antara akal dan wahyu diartikannya sebagai suatu daya yang semata-mata hanya manusia yang memilikinya. Salah satu dari tiang kehidupan manusia adalah akal, sebab akal menjadi dasar dari kelanjutan manifestasinya. Dengan meningkatnya daya akal, maka akan menjadi dasar pengukuhan budi pekerti yang baik dan pangkal kehidupan manusia. Jadi, kesimpulannya adalah manusia dan Tuhan akan saling mengetahui semua perbuatan mereka terhadap satu sama lain.
Editor: Lely N