Fenomena Islamofobia di Eropa, terlebih di dunia merupakan hal yang sudah tidak asing kita jumpai. Bahkan, sentimen-sentimen negatif terhadap Islam yang diperlihatkan oleh para oknum, seperti pembakaran masjid dan lain-lain, menunjukkan umat Islam tidak ditakuti sama sekali. Dr. H. Muhammad Najib mengungkapkan bahwa umat Islam tidak kuat, sehingga masyarakat di dunia meremehkannya.
“Kenapa mereka berani melakukan itu? Karena umat Islam di dunia saat ini tidak dalam keadaan kuat. Tidak ada yang memiliki kekuatan politik, ekonomi, dan militer. Yang mana, ketika mereka berkata, maka akan disegani. Berbeda dengan Rusia, Cina, Amerika yang begitu disegani”, ungkap Dr. H. Muhammad Najib dalam kegiatan Pengajian Umum bertajuk Islam dan Islamofobia yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (11/9/20).
Kegiatan ini dilaksanakan secara daring menggunakan Zoom sekaligus live Youtube di kanal Muhammadiyah Channel dan tvMu.
Selain Dr. H. Muhammad Najib, kegiatan tersebut turut menghadirkan narasumber lain, yakni H. Arief Hafaz Oegroseno, Ph.D, yang merupakan Duta Besar Republik Indonesia untuk Jerman, dan juga Hj. Ai Fatimah Nur Fuad, Ph.D, Wakil Dekan 1 FAI UHAMKA.
Dr. H. Muhammad Najib menjelaskan mengenai fenomena pembakaran Al-Qur’an dan meludahinya. Serta sentimen anti Islam di Scandinavia, yang meliputi Denmark, Swedia, Norwegia, dan sekitarnya, cukup mengejutkan.
Pasalnya, kawasan tersebut dinilai sebagai kawasan yang ideal bagi sebuah negara, terlebih yang memiliki tujuan untuk menyejahterakan rakyatnya. Perbedaan income per kapita sangat kecil dan merupakan kawasan paling makmur di Eropa.
Sejalan dengan keadaan itu, Muhammad Najib juga menggambarkan Islamofobia di kawasan lain, seperti di Amerika. Ia mengambil contoh tragedi September Eleven yang meruntuhkan Twin Tower di New York merupakan fenomena permukaan yang diperdebatkan oleh pengamat politik dan ilmu sosial di Amerika.
Apakah itu memang sesuai dengan versi yang disampaikan oleh Pemerintah? Ada pula yang melihatnya sebagai teori konspirasi. Anehnya, Pemerintah Amerika sangat membatasi pembicaraan mengenai hal tersebut, apalagi untuk membentuk tim pencari fakta.
Fenomena Populisme
Namun, ada persoalan di bawah permukaan yang lebih serius, fenomena populisme yakni sentimen yang dibangun berdasarkan suku, ras, atau agama. Di Indonesia, kita menyebutnya sebagai sara. Sentimen berpengaruh secara masif di masyarakat karena penggunaan sosial media yang luar biasa, sehingga komunikasi masyarakat dari bawah hingga atas tidak ada filter. Kemudian, menimbulkan emosi yang sering tidak terkendali. Hal yang menjadi serius adalah ketika hal ini diekspliotasi oleh para politisi di berbagai tempat.
“Para politisi umumnya terkena rabun jauh. Logikanya, bagaimana target-target personal jangka pendek itu diraih dengan mengabaikan konsekuensi jangka panjang yang harus ditanggung orang banyak. Di Amerika yang mayoritas protestan, muncul fenomena rasisme yang luar biasa, termasuk sentimen anti Islam dan anti kulit putih, dalam pengertian Eropa. Sejak Presiden Donald Trump yang secara terbuka menggunakan narasi yang rasis untuk mendpat dukungan politik”, tambahnya.
Di kalangan Yahudi di Israel, fenomena ini muncul sejak Benjamin Netanyahu menjabat sebagai perdana menteri. Tidak hanya sentimen anti Islam, tetapi juga anti Arab. Padahal, di Palestina juga banyak yang beragama Kristen.
Kalau kita berpikir mereka anti Islam karena beragama yang berbeda, umat Islam harus berhati-hati, karena mereka sekuler, yang mana sejarah menyebutkan bahwa sekuler lahir dengan semangat anti agama.
Pesan Najib kepada Persyarikatan Muhammadiyah
Terakhir, Dr. H. Muhammad Najib berpesan kepada warga di Persyarikatan Muhammadiyah agar tidak terpancing oleh fenomena-fenomena Islamofobia yang tengah marak kali ini.
“Kalau menggunakan istilah politik, maka Muhammadiyah ini melakukan politik dakwah, yang mana tidak punya lawan. Semuanya kawan dan harus dirangkul. Berbeda dengan politik yang dilakukan oleh partai politik, pasti ada kawan dan ada lawan. Dan yang lebih berbahaya, kalau kita menggunakan logika kepartaian, kita akan terperangkap degan target-target jangka pendek dan mengorbankan kepentingan jangka panjang serta kepentingan bersama. Karena itu, saya berharap kita tidak terpancing emosi dan bereaksi secara spontan terhadap perkembangan Islamofobia, tidak hanya di eropa tapi di seluruh dunia”, pungkasnya.