Perspektif

Muhammad Syahrur: dari Syari’ah Ayniyya ke Syari’ah Hududiyyah

3 Mins read

Muhammad Syahrur I Pada abad 20 pemikir muslim yaitu David Johnston sudah memiliki karakter dari sebuah paradigma perubahan. Bidang ahli ushul fikih yang menjadi konsennya, dari posisi ortodok klasik di atas Ijma/kesepakatan dan analogi kepada posisi atas alasan sebagai alat untuk menemukan ide umum di balik teks Tuhan.

Kemunculan paradigma baru ini bersamaan dengan ketidakhadiran dari visi satu al-Qur’an dan metode penafsiran di antara Muslim ortodok yang sudah diberi petunjuk dari beberapa pemikir Muslim modern untuk menyusun metodenya dan mengadakan komunitas Islam.

Hal ini dilakukan untuk memperhatikan kemodernitasan sebagai sebuah kesempatan untuk menciptakan kesetaraan sosial yang ditimbulkan oleh al-Qur’an.

Muhammad Syahrur dan Penafsiran Al-Qur’an

Dalam hal ini Muhammad Syahrur sebagai salah seorang pemikir Islam modern, merupakan seorang dari Syiriah yang memberikan berbagai kontribusi untuk penafsiran ulang dari al-Qur’an dan Sunnah (hadis) dalam bagian hukum sebagai sistem komprehensif secara umum.

Muhammad Syahrur mengkaji ulang warisan tradisional kepada pemaknaan literal terhadap al-Qur’an dan mengatasi seluruh warisan Islam sebagai kebenaran untuk semua kepercayaan dalam selamanya. Dan juga modernitas sekuler yang menolak segala jenis warisan Islam yang tercantum dalam al-Qur’an, yang sudah gagal untuk memberikan solusi terhadap dilema dari persoalan modern.

Kemudian kegagalan ini oleh Syahrur diarahkan kepada tujuan metode miliknya sebagai sebuah alternatif ketiga dari permulaan istilah “al Tanzil”.  Seperti halnya mufassir lain, Syahrur menegaskan bahwa al-Qur’an adalah Firman Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi, tetapi ditunjukkan kepada orang-orang dari setiap generasi.

Hal ini dikarenakan Allah ingin menjaga keotentiasan firman-Nya dalam setiap persoalan. Dengan demikian, setiap generasi boleh menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kondisi yang relevan dengan kondisinya terlepas dari penafsiran sebelumnya. Diibaratkan seolah-olah Nabi itu baru saja meninggal dan selesai dalam pewahyuan al-Qur’an bertujuan agar spirit kewahyuan masih utuh.

Baca Juga  Sikap ke Palestina: Biden & Trump Sama Saja?

Namun, hal ini juga bermaksud bahwa Syahrur mengambil posisi dalam menghadapi monopoli dalam penafsiran al-Qur’an oleh para tradisionalis (salaf) yang dia anggap sebagai perusak. Syahrur memposisikan dirinya dalam menghadapi “sakralisasi” dari pengetahuan keagamaan sebelumnya (terdahulu).

***

Marcoutte berkata bahwa yang didukung oleh masalah bahwa kejujuran dari pesan Tuhan itu lebih penting dibanding pembenaran dari sumber otoritas manusia.

Dia menolak penafsiran dua argument yang mencegah seorang dari menggambarkan terhadap tehnik, metode, dan pendekatan dari sumber non-Islam bahwa boleh membawa sebuah wawasan baru untuk memahami teks, sebagai kritik atau pendekatan hermeneutik.

Tentu saja, usaha ini untuk menggabungkan konsep linguistik dengan pengetahuan alam. Sebut saja matematika khusus, dan fisika yang memberikan berbagai kontribusi untuk penafsiran ulang terhadap al-Qur’an. Sebab, apa yang Hallaq disebutkan sebagai perspektif rasionalistik. Hal ini secara rasionalistik dalam paham itu yang menggunakan alasan dengan pokok dari persoalan sistem epistemologi modern.

Isitilah syari’ah hududiyyah itu sendiri sebenarnya diadopsi dari kata mufrad “hudud” dan jamaknya “hadd” yang ditemukan dalam al-Qur’an di Q.S. an-Nisa :13-14, kesepakatan dengan warisan yang muncul dalam perbedaan kata “tilka huddullah dalam an-Nisa:13-14. Kata tersebut selalu muncul dalam bentuk jamak (plural).

Kemudian Syahrur berkesimpulan bahwa tidak terdapat ketetapan dalam hukum Islam. Hal ini mengakibatkan bahwa dapat terjadi berbagai macam kemungkinan dalam penafsiran ayat hukum. Syari’ah hududiyyah merupakan syari’ah yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sedangkan syari’ah ayniyya merupakan karakter dari hukum Tuhan sebelumnya yang dibawa oleh utusan-utusan lainnya.

Syariat Islam bukan Ayniyya, Tapi Hududiyyah

Muhammad Syahrur merupakan cendekiawan yang dilahirkan pada tanggal 11 April 1938 di kota Salihiyya seperempat dari kota Damaskus. Dia sudah mengenyam ilmu dari berbagai pendidikan. Di mulai dari pendidikan dasar, tingkat kedua bertempat di madrasah di al-Midan sebelah selatan Damaskus.

Baca Juga  Islam Kita ini Masih Islam Konten, Belum Islam Kajian!

Dalam sebuah riwayat dia pernah belajar di Madrasah ‘Abdur Rahman al-Kawakibi untuk studi tingkat ibtida’iyyah, I’dadiyyah, dan thanawiyyahnya. Pada tahun 1957, dia dikirim ke Saratow dekat dengan Moskow, Rusia pada umur 19 tahun untuk belajar kemasyarakatan.

Walaupun menolak marxisme, tetapi dia menjadi marxisme. Setelah itu jurnal ini menggambarkan bagaimana latar belakang keilmuan Syahrur sehingga menjadi pemikir modern yang disegani.

Syahrur memiliki prinsip dari dialektik antara al-istiqomah (lurus) dan hanifiyya (lekukan/bengkok) dalam Q.S. al-An’am:79. Dia menemukan bahwa al hanif adalah dasar karakter dari alam yang sering berubah. Dia tidak lurus begitu saja. Seperti halnya bumi, bulan, matahari, dan semua hal yang memiliki pengaruh karakter masing-masing tersebut.

Hubungan antara dialektika antara istiqomah dan janifiyyah bersama-sama dengannya menemukan tentang konsistensi dari sifat dasar manusia dan hukum. Syahrur memberi kesimpulan bahwa syari’at Islam itu bukanlah “ayniyya”, melainkan “hududiyyah”. Baginya, seluruh hukum yang dibawa oleh ayat-ayat dari ummul kitab adalah mewakili batas Allah sampai orang-orang dapat berprilaku/berbuat.

Syari’ah hududiyyah membuktikan bahwa pendekatan ayat hukum al-Qur’an dapat menjadi karakter sebagai sebuah proses pembuka dan penutup dari sosial-politik dan moral. Tetap berpegang kepada analisis tekstual, tapi menggabungkannya dengan perspektif baru. Sebuah pendekatan hududiyyah yang mengatur kesesuaian terhadap teks, waktu, yang cocok dengan ide dan nilai dari kemodernitasan sekaligus humanisme.

Penggabungan dengan teori lain seperti ilmu pengetahuan eksak/alam dapat mengembangkan penafsiran terhadap al-Qur’an, sehingga mampu menjawab segala persoalan masa kini yang lebih praktis. Syari’ah sebagai humanis dan perundang-undangan peradaban yang dijamin oleh Allah.

Editor: Soleh

Roma Wijaya
12 posts

About author
Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang Minat Kajian Tafsir, Hadis, Sejarah, Pemikiran Islam, Gender
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds