Tajdida

Kiprah Muhammadiyah dalam Pendidikan

3 Mins read

Nama: Ramdan Nugrah*

Saya masih meyakini bahwa pendidikan merupakan salah satu solusi utama dalam upaya mengatasi segala bentuk masalah yang hadir di Indonesia.  Boleh kita tengok pintasan sejarah ketika Muhammadiyah hadir. Melalui gagasan besarnya, Kiai Dahlan menginspirasi santri-santrinya untuk membela kelompok yang termarjinalisasi dalam berbagai aspek kehidupan.

Hal utama yang menjadi konsentrasi Kiai Dahlan saat itu adalah bagaimana anak-anak dari keluarga yang sangat lemah secara finansial, bisa mendapatkan Pendidikan. Pendidikan yang layak dan dapat membantu mereka untuk memliki pola pikir yang lebih rasional.

Kondisi masyarakat saat itu yang masih lebih menghormati tradisi takhayul, hanya menyulitkan kehidupan mereka dengan beragam ritus yang harus dipaksa-adakan. Dengan segala keterbatasan sandang, papan dan pangan. Akhirnya, pelan-pelan bisa diajak untuk mengaktivasi logika sederhana melalui jalan pendidikan.

Kiprah Muhammadiyah dalam Pendidikan

Kyai Dahlan sadar bahwa pendidikan adalah salah satu fokus gerakan yang bisa membawa perubahan signifikan. Yaitu untuk memperbaiki kondisi kehidupan bermasyarakat. Masyarakat kala itu masih berada dalam ketakutan mitos untuk bisa bangkit dan maju menjelma menjadi masyarakat yang lebih beradab dan berdaya. Tentunya melalui terbukanya pola pikir dan luasnya wawasan dengan pelbagai pengetahuan.

Hari ini, dengan adanya lembaga pendidikan mulai Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, dengan tegas telah membuktikan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah gerakan sosial progresif yang memahami dunia pendidikan Indonesia dengan segala episode historis sejak pra-kemerdekaan sampai hari ini.

Faktualitas sejarah ini pula yang kemudian menjadi pertimbangan penting bahwa pendidikan Indonesia, kalau tidak boleh disebut dominan, adalah sebagian dari kontribusi paling besar Muhammadiyah dalam upaya membantu negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Maka wajar kemudian ketika jabatan Menteri Pendidikan beberapa kali dipercayakan kepada kader terbaik Muhammadiyah. Sebut saja Teuku Muhammad Hasan (1948-1949), Abdul Malik Fadjar (2001-2004), Bambang Sudibyo (2004-2009), dan Muhadjir Effendy yang sejak 2016 hingga sekrang.

Baca Juga  Laki-laki Bukanlah Pemimpin Bagi Perempuan

Nama-nama di atas menjadi bukti bahwa Muhammadiyah memiliki kader-kader yang konsisten berjuang bersama anak bangsa lain di seluruh wilayah Indonesia. Dalam upaya menjadikan pendidikan sebagai basis nilai intelektual, moral, dan teknologi yang belakangan hadir cukup dominan.

Sistem Zonasi PPDB

Salah satu nilai perjuangan Muhammadiyah adalah menegakkan keadilan untuk seluruh manusia, khususnya masyarakat Indonesia melalui institusi pendidikan. Tidak boleh ada ketimpangan yang dialami anak bangsa dalam mengenyam pendidikan. Spirit ini bisa kita lihat dari apa yang secara berani telah dieksekusi oleh Prof. Muhadjir Effendy dengan diterapkannya sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Sejak pertamakali zonasi PPDB diterapkan pada 2017, Mendikbud tidak bisa lepas dari protes yang datang dari berbagai kelompok seperti orang tua wali, guru-guru, peserta didik, sampai pada pemerhati pendidikan dan kebijakan. Sebagai sebuah kebijakan baru, tentu protes menjadi konsekwensi logisnya. Banyak kalangan yang belum bisa memahami secara utuh apa tujuan sistem zonasi itu sendiri.

Beberapa kalangan berpendapat bahwa sistem zonasi lahir dengan minus kajian serius. Meskipun anggapan itu adalah aspirasi kritis dalam ruang demokrasi. Namun rasanya begitu naif bila menyatakan bahwa sistem zonasi minus kajian sebelum akhirnya menjadi sebuah regulasi.

Sebenarnya kalau kita mau akui dengan jujur, favoritisme sekolah itu ada dan dianggap biasa. Padahal, bila kita mau berusaha melihat lebih jeli, favoritisme sekolah, disukai atau tidak, menciptakan sebuah kastanisasi pendidikan yang kondisinya sudah cukup memfosil.

Kastanisasi sekolah inilah yang secara tidak sadar menarik mundur pendidikan kita kembali pada zaman colonial. Di mana ada kelompok superior yang menindas mereka yang inferior. Saya, misalnya, adalah subjek hidup yang mengalami kastanisasi tersebut. Saya ingat waktu itu masuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) di kampung. Dengan kondisi sarana dan prasarana yang agak timpang bila dibandingkan dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) favorit yang jaraknya bisa ditempuh sekitar dua kilo dari sekolah saya.

Baca Juga  Pluralitas Indonesia: Harapan atau Ancaman?

Bahwa kualitas guru saya di kampung ternyata mampu mendidik anak-anaknya dan berhasil masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) favorit, menjadi sebuah pengecualian yang kasuistik. Ada lebih banyak teman saya yang harus masuk ke SMP dan SMA yang kurang berdayasaing. Sampai mereka terlibat pada kenakalan remaja seperti tawuran yang menyebabkan mereka mengalami semacam disorientasi pasca lulus sekolah.

Perasaan inferior yang saya rasakan ketika di SD, berbalik menjadi superior ketika saya berada di SMA. Ini disebabkan oleh reputasi SMA tempat saya sekolah merupakan SMA yang boleh dibilang sebagai SMA terbaik se-Kecamatan bahkan sangat bersaing di tingkat Kabupaten.

Ketimpangan dalam Pendidikan

Ada semacam arogansi yang hadir dalam pola pikir saya saat itu. Misalnya, seluruh siswa di SMA saya tidak memiliki waktu untuk tawuran. Karena saking seriusnya kita menyelesaikan PR demi PR dan segudang kegiatan ekstrakurikuler yang lebih dominan menyita waktu dan pikiran.

Ada ketimpangan yang sangat jelas dengan kondisi pendidikan saat itu. Saya membayangkan seandainya kawan-kawan di sekolah lain bisa merasakan betapa mengerikannya bila mereka belum selesai mengerjakan PR Matematika.

Atau perasaan campur aduk takut dan haru ketika mereka bisa menyelesaikan hitungan reaksi oksidasi kimia secara sempurna tanpa kritik sang guru. Saya kira pengalaman semacam itu boleh jadi tidak dialami oleh kawan-kawan di sekolah lain yang tidak terkategori favorit. Sehingga ada kebutuhan untuk mencari aktivitas yang menantang adrenalin mereka. Salah satunya dengan keterlibatan mereka dalam tawuran.

Hal ini yang kemudian menyadarkan saya sebagai salah seorang anak bangsa. Bahwa sistem zonasi adalah jalan keluar yang paling aman dan cepat dalam upaya menghapus kastanisasi sekolah yang sudah tidak relevan. Apalagi dalam alam demokrasi yang sedang sama-sama kita rawat dan isi hari ini.

Baca Juga  Ngaji Bareng Kiai Dahlan: Tadarus Al-Quran Bukan Sekedar Balapan

membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk bisa memberikan pembuktian atas ide besar yang sebenarnya telah lama menjadi impian menteri-menteri pendidikan sebelumnya.

Ini menjadi momentumnya untuk secara berani membongkar bangunan kasta yang tidak lagi relevan, menuju perbaikan sistem pendidikan yang lebih substansial dan memiliki dampak kebaikan yang lebih merata untuk seluruh anak bangsa. Semoga!

 

*Ramdan Nugraha adalah seorang yang tertarik dengan isu pendidikan, politik, demokrasi, teknologi dan studi keislaman. Dia percaya bahwa satu-satunya hal yang abadi di dunia adalah perubahan.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds