Al-Amir Syakib Arsalan setelah diminta oleh koleganya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha untuk menjawab surat yang dikirimkan oleh Syaikh Basuni ‘Imran dari Sambas, Borneo, beliau memberikan jawaban yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul “Limadza taakhkharal muslimuna wa limadza taqaddama ghairuhum” (Mengapa kaum muslim terbelakang dan kenapa bangsa-bangsa selainnya malah mengalami kemajuan) (Arsalan, 1992).
Buku tersebut berisi jawaban atas pertanyaan Syaikh Basuni ‘Imran yang mengeluhkan kondisi kemunduran umat Islam yang menggejala hampir di seluruh belahan dunia.
Syakib Arsalan menguraikan berbagai faktor penyebab kemunduran umat Islam, di antaranya adalah kebodohan, pengkhianatan, semangat juang yang rendah, khurafat, masuknya ultra-modernisme ke tubuh Islam dan konservatisme beragama.
Kebodohan dan Rendah Semangat Juang Umat Islam
Ketika umat bodoh, maka mereka akan mudah ditindas dan dieksploitasi. Hingga pada akhirnya mereka akan dijajah oleh bangsa lain. Kebodohan identik dengan sikap anti-nalar kritis. Padahal dengan nalar kritis akan memicu kesadaran seseorang. Kesadaran untuk berbenah, kesadaran untuk maju hingga kesadaran beragama dengan penuh penghayatan.
Syakib Arsalan memandang bahwa umat Islam di masanya terninabobokan oleh agamanya sendiri. Umat Islam kala itu merasa jika mereka sudah menunaikan shalat, kemudian memanjatkan doa meminta kemenangan dilanjutkan dengan tawakal itu sudah cukup. Tanpa ada upaya dan aksi nyata untuk merealisasikan doa-doa yang dipanjatkan tersebut. Hal inilah yang sangat disayangkan oleh Syakib Arsalan. Seakan Arsalan ingin berkata, “apakah mungkin ketika kita meminta diturunkan emas dari langit, lantas tiba-tiba dengan sendirinya emas itu akan turun?”.
Hal lain yang sangat disayangkan oleh Arsalan adalah lemahnya semangat juang yang ada dalam diri umat Islam. Padahal umat Islam terdahulu ketika mereka memiliki semangat juang yang tinggi mereka mampu menjadi pemimpin peradaban dan meraih berbagai kemenangan. Arsalan memandang (mayoritas) umat Islam di zamannya sibuk dengan dirinya sendiri tanpa ada semangat melakukan gerakan perubahan.
Ultra-Modernisme dan Konservatisme di Tubuh Umat Islam
Faktor lain yang sangat berpengaruh menjadi penyebab kemunduran dan rendahnya kesadaran beragama adalah masuknya ultra-modernisme ke dalam tubuh Islam dan kuatnya cara beragama secara konservatif. Ultra-modernisme membawa arus westernisasi yang mendegradasi beberapa nilai dan tradisi Islam dengan anggapan hal tersebut sudah menjadi barang usang. Imbasnya akan banyak nilai dan tradisi Islam yang ditinggalkan karena dianggap sudah tidak relevan dengan kemajuan zaman (laisa shalihan likulli zaman wa makan).
Sedangkan, konservatisme merupakan kebalikan dari ultra-modernisme. Jika ultra-modernisme menerima arus kemajuan dari Barat secara “kebablasan”, maka konservatisme bersikap sebaliknya. Konservatisme menolak segala yang datang dari Barat seperti sains, teknologi, matematika dan filsafat dengan alasan bahwa ilmu-ilmu tersebut bukan produk Islam.
Konservatisme nampaknya bukan barang baru yang menimpa cara beragama umat Islam. Di masa Imam al-Ghazali konservatisme beragama sudah tumbuh dan menggejala di tubuh umat. Beliau menyampaikan di dalam otobiografi intelektualnya, al-munqidz min ad-dlalal:
“Telah muncul sekelompok umat Islam yang merasa paling benar dalam beragama, namun hakikatnya bodoh. Mereka menganggap bahwa agama Islam itu dibela dengan melakukan penolakan terhadap segala produk ilmu pengetahuan dari para filsuf (ilmuwan). Bahkan, hasil kajian para ilmuwan terhadap fenomena gerhana bulan dan matahari pun mereka ingkari. Komunitas ini menuduh bahwa produk-produk pengetahuan yang lahir dari para ilmuwan tersebut bertentangan dengan agama. Apabila sikap semacam ini sampai terdengar oleh para ahli yang mumpuni dalam berbagai penelitian ilmiah yang saintifik dan empirik (burhan al-qathiq), maka akan dianggaplah bahwa agama Islam itu dibangun di atas kebodohan dan penolakan terhadap bukti-bukti ilmiah. Untuk itulah, para ahli tersebut memutuskan lebih cinta terhadap sains dan memilih menjauhi Islam.” (Al-Ghazali, 2015)
Fenomena ini mengingatkan kita terhadap ucapan Syaikh Muhammad Abduh, “al-Islam mahjubun bi al-muslimin” (Keagungan Islam tertutupi oleh perilaku orang-orang Islam sendiri).
Muhammadiyah sebagai Jawaban
Nampaknya tidak berlebihan jika meyebut Muhammadiyah sebagai salah satu jawaban dari kegalauan yang dirisaukan Syakib Arsalan. Bagaimana tidak, penyebab kemunduran umat yang diuraikan panjang lebar oleh Syakib Arsalan menjadi agenda perjuangan Muhammadiyah.
Muhammadiyah di awal berdirinya memiliki agenda mulia untuk mengentaskan kebodohan yang menimpa umat. Perang Muhammadiyah terhadap kebodohan direalisasikan dengan membangun sekolah sebanyak mungkin. Muhammadiyah memandang bahwa kebodohan adalah musuh terbesar umat Islam. Mustahil umat dapat membangun masa depan yang lebih baik jika kebodohan dan keterbelakangan masih melekat dalam diri mereka (Rais, 1997).
Di Yogyakarta, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Sekolah Kiai. Sebuah terobosan baru di bidang pendidikan yang mampu memadukan antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama (al-‘ulum ad-diniyyah) (Darban, 2000). Bisa dibilang institusi semacam Sekolah Kiai di zaman itu masih sangat sedikit, bahkan mungkin belum ada.
Organisasi Muhammadiyah juga mampu mengkolaborasikan antara agama dan modernisme. Penerimaan terhadap modernisme tidak berarti harus meluruhkan nilai-nilai Islam yang wajib dipegang dan diimani. Pengetahuan modern tidak diharamkan oleh Muhammadiyah, bahkan diminta untuk dipelajari demi kemajuan umat. Tak heran jika kemudian Muhammadiyah digelari sebagai gerakan modernisme Islam.
Sebagai organisasi yang mengusung semangat tajdid (modernitas) bisa dipastikan Muhammadiyah tidak mendukung sikap konservatif (jumud) dalam beragama. Konservatisme agama adalah kecenderungan untuk mengembalikan praktik keagamaan pada tradisi masa lampau dengan menolak kemajuan. Konservatisme agama potensial menimbulkan beberapa masalah keagamaan dan kebangsaan seperti kekeliruan identifkasi Islam dengan Arab, kekakuan beragama yang menganggap diri dan kelompoknya paling benar serta ekslusivisme (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2010).
Meskipun di satu sisi label gerakan Islam modern melekat di Muhammadiyah, namun adakalanya Muhammadiyah juga dianggap sebagai gerakan Islam ortodoks (Federspiel, 1970) dan konservatif karena semangat purifikasi agama yang diusungnya.
Hanya saja purifikasi yang dianut oleh Muhammadiyah tidak identik dengan tekstualisasi yang cenderung bersifat kaku, sehingga langkah-langkah purifikasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak dilakukan dengan cara frontal dan radikal melainkan dengan cara persuasif, arif, bijaksana, dan bertahap. Dengan demikian cara tersebut yang sering disebut oleh Muhammadiyah sebagai dakwah kultural (Nur’Aini, 2022).
Menggembirakan Amal Shalih
Terakhir, gerakan Muhammadiyah mengajak untuk gemar beramal shalih. Di antara ajaran Muhammadiyah adalah menggembirakan amal shalih. Amal shalih tidak terbatas pada ibadah mahdlah saja, seperti puasa sunnah, shalat malam, infaq dan sedekah. Namun juga bisa dilakukan dalam skala yang lebih luas lagi (ghair mahdlah).
Tidak mungkin umat bisa membangun peradaban Islam yang maju jika tidak direalisasikan dalam amal nyata seperti membangun universitas, rumah sakit, panti asuhan, pusat industri, lembaga penelitian, sekolah berkualitas dan lembaga pengelola dana umat dan lain-lainnya.
Referensi
Al-Ghazali, M. bin M. (2015) al-Munqiz min ad-Dlalal wal Mufsih al-Ahwal. 1st edn. Jeddah, Saudi Arabia: Daar al-Minhaj.
Arsalan, A. A. S. (1992) Buku Mengapa Kaum Muslimin Mundur. 6th edn. Jakarta: Bulan Bintang.
Darban, A. A. (2000) ‘Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah’. Yogyakarta: Tarawang.
Federspiel, H. M. (1970) ‘The Muhammadijah: A Study of an Orthodox Islamic Movement in Indonesia’, Indonesia, 10, p. 57. doi: 10.2307/3350635.
Nur’Aini, A. D. (2022) Pemahaman Tokoh Muhammadiyah Kota Pasuruan terhadap hadis bid’ah dan ziarah wali. UIN Sunan Ampel.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2010) Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Rais, M. A. (1997) ‘Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah’. Yogyakarta: Lembaga Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Editor: Soleh