Tajdida

Muhammadiyah Bukan Gerakan Populisme Islam

3 Mins read

Menguatnya populisme Islam, telah memberi gambaran baru model gerakan Islam Indonesia. Para akademisi menjuluki populisme Islam merujuk pada aksi gelombang besar dimulai sejak protes terhadap penista agama (2016) menjelang pemilihan gubernur (2017) DKI Jakarta, melalui aksi 411 dan 212. Para alumni gerakan ini tergabung dalam gerakan Persaudaraan Alumni 212. Lalu, bagaimana posisi Muhammadiyah?

Populisme Islam

Gerakan Islam populis memiliki karakteristik. Pertama, memiliki masa yang loyal dan fanatis, hal ini dipengaruhi oleh model gerakannya yang berpusat pada sosok tokoh. Mereka mengangkat seseorang sebagai pemimpin umat sebagaimana yang dikenal dengan sebutan Imam Besar Umat Islam. Model gerakan yang demikian itu telah menciptakan ketaat masa yang mengikatkan diri sebagai pejuang dan pembela Islam.

Karakteristik kedua yaitu model pola gerakan ini cenderung mengarah pada bentuk semi perlawanan atau konfrontatif berupa gerakan protes aksi masa, seperti protes terhadap elit kekuasaan, elit politik dan mendeskritditkan pemerintah. Isu yang dibangun seperti pemimpin zalim, penista agama, kriminalisasi ulama, bukan hal yang substantif terhadap penilaian kinerja pemimpin atau lembaga. Menurut catatan sejarah, PA 212 melakukan protes atas tuduhan kecurangan yang sistematik, terstruktur dan masif pada Pemilihan Presiden.

Muhammadiyah Bukan Gerakan Populisme Islam

Di tengah demam akan model gerakan populisme Islam, banyak pihak yang ‘nyinyir’ dan mempertanyakan posisi gerakan keagamaan. Sebagaimana misalnya pihak-pihak yang melakukan sindiran tentang peran gerakan keagamaan seperti Muhammadiyah.

Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan tentu dihadapkan dengan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana proses pergantian kepemimpinan nasional misalnya, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 lalu. Menguatnya dua kutub dalam pemilu yang didukung gelombang gerakan populisme Islam, menuntut kecermatan Muhammadiyah dalam bersikap.

Baca Juga  Ngaji Asyik Fikih Kebangsaan Muhammadiyah

Muhammadiyah di bawah kepemimpinan KH Haedar Nashir mampu memposisikan diri sebagai organisasi masyarakat (ormas) porprosional, sesuai dengan peran ormas. Hal demikian diamini oleh Yudi Latif bahwa ‘Muhammadiyah mampu berperan dan memposisikan diri secara porprosional’.

Berbeda jauh dengan gerakan populisme Islam. Muhammadiyah menampilkan diri sebagai gerakan yang memberi solusi atas problematika yang ada. Model gerakan ini dikenal sebagai jihad lil muwajahah (perjuangan menghadapi sesuatu secara konkret). Sebagaimana misalnya menyediakan rujukan Covid 19 di rumah sakit Muhammadiyah se Indonesia.

Gerakan Muhammadiyah

Meneguhkan pondasi gerakan Muhammadiyah adalah suatu keniscayaan, karena itulah Muhammadiyah dapat tampil secara mandiri dan bermanfaat bagi kehidupan bangsa dan negara dalam jangka waktu yang amat panjang (long term). Setidaknya ada tiga pondasi dasar gerakan Muhammadiyah.

Pertama gerakan Muhammadiyah berbasis ilmu. Ilmu ini menjadi modal awal bagi gerakan Muhammadiyah. Jika menelusuri era KHA Dahlan, gerakan ilmu ini dibangun melalui beragam majelis atau forum-forum keagamaan. Menurut catatan Haji Sudja’ murid KHA Dahlan, didirikanlah pengajian malam jum’at, hal ini terinspirasi dari sidang Boedi Oetomo (BO). Para pemuda islam berpikiran bagaimana jikalau agama Islam diterangkan pada orang banyak dan umum sebagaimana cara BO.

KHA Dahlan juga mendirikan perkumpulan sopo tresno ‘siapa kasih sayang’ bagi kaum wanita di kampung Kauman. Selain forum kajian keagamaan, perkumpulanan ini ditugaskan untuk berkhidmat pada anak-anak yang terlantar secara pendidikan. kemudian Sopo Tresno bertranspormasi menjadi A’isyiyah, sayap dakwah perempuan Muhammadiyah. Tidak sampai disitu, KHA Dahlan menggembleng para kaum wanita agar memiliki kemampuan dan mutu yang tinggi dengan membuat kursus Wal ‘Asri yang langusung di ampu oleh KHA Dahlan.

Menjunjung tinggi keilmuan menjadi karakteristik yang mengantarkan Muhammadiyah menjadi organisasi yang terbuka, dapat berdialog dengan siapapun, tanpa takut dipengaruhi. Maka tidak heran jika Muhammadiyah pernah menerima perwakilan pemimpin wahabi dan Indische Social Democratische Vereeninging (ISDV). Sehingga sangat jelas, basis massa Muhammadiyah itu berilmu, sehingga tidak tunduk pada model kepemimpinan berbasis ketokohan.

Baca Juga  Mau Sampai Kapan Islam Tertidur dan Bermimpi Soal Kejayaan Islam?

Kedua, yang harus digalakkan dalam gerakan Muhammadiyah adalah beramal. Melalui pemahaman surat Al-Ma’un (teologi al-Ma’un) berdiri lebih dari 10.000 institusi pendidikan, lebih dari 457 lembaga kesehatan, dan lebih dari 318 lembaga sosial yang bernaung dalam wujud Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Itulah wujud perjuangan Muhammadiyah secara konkret dan terukur untuk kemajuan kehidupan, berbangsa dan bernegara.

Sikap Kooperatif

Pondasi yang ketiga dalam membangun gerakan Muhammadiyah adalah berprilaku kooperatif. Hal ini terlihat dari proses berdirinya Muhammadiyah di era kolonial Belanda, atas sikap kooperatif KHA Dahlan dengan penguasa, Muhammadiyah mendapat ijin menjadi organisasi keagamaan. sikap kooperatif itu adalah tindakan yang proporsional, mencari keselamatan dan kemaslahatan dalam jangka panjang. Pondasi ini juga membuat Muhammadiyah terbuka dengan siapa saja, baik penguasa atau non-penguasa, dengan tujuan kemaslahatan bangsa dan negara.

Ketiga pondasi inilah yang menjadi kekuatan gerakan Muhammadiyah sekaligus menjadi kritik bagi gerakan yang cenderung konfrontatif, populis dan berpatron pada ketokohan. Gerakan populisme Islam berpusat pada tokoh, tentu akan hilang seiring dengan meredupnya tokoh, sehingga sifatnya terbatas apalagi tidak didukung dengan gerakan amal yang nyata. Lain halnya dengan Muhammadiyah, akan terus tumbuh dan berkembang karena amal nyata, walaupun pimpimpin terus berganti tidak mempengaruhi gerakan amal Muhammadiyah.

Dalam dokumen Pernyataan Muhammadiyah Abad Kedua tertulis bahwa model perjuangan melawan sesuatu (jihad lil mu’aradhah) cenderung bersifat kekerasan, konfrontatif, dan menimbulkan kerusakan harus ditinggalkan. Umat Islam harus bergerak dan berjuang menyelesaikan problem secara konkret (jihal lil muwajahah). Itulah sejatinya gerakan pencerahan Muhammadiyah, membawa ideologi gerakan Islam berkemajuan.

Editor: Nabhan

Ari Susanto
4 posts

About author
Kader Angkatan Muda Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *