“Muhammadiyah Bukan yang Dulu Lagi?”
Sembilan belas tahun lalu (2001), banjir bandang melanda Bantaeng. Kala itu, sebagai aktivis muda Muhammadiyah, kami tak berbuat apa-apa. Hanya meratapi nasib sambil menggerutu, “Pemerintah kerjanya apa?”
Pekan lalu, 12 Juni 2020, Bantaeng kembali dilanda banjir. Muhammadiyah tak diam lagi. Sejak air mulai pasang, kaum muda Muhammadiyah di sana sudah mulai bergerak. Kantor Muhammadiyah disulap menjadi posko pengungsian.
Tak berhenti disitu, anak-anak ideologis Ahmad Dahlan (Bukan Ahmad Dhani lho ya) ini juga menyiapkan makanan, dan pakaian bagi ‘tamu bencana’ yang berlabuh di posko itu.
Sesudah air surut, dan pengungsi balik ke rumah masing-masing. Relawan Muhammadiyah mulai bergerak memperluas radius manfaat. Mereka menggalang donasi secara virtual. Semua jenis medsos dibombardir dengan flyer seruan membantu sesama. Mereka membagi makanan siap santap dan pakaian layak pakai.
Kaum milenial Muhammadiyah ini menyasar pemukiman yang terdampak parah akibat banjir. Mereka bekerja membersihkan fasilitas publik dari lumpur, hingga mencari solusi bagi masyarakat yang sulit memperoleh air bersih. Hingga catatan ini ditulis, entah apa lagi yang sedang dan akan mereka lakukan.
Bukan hanya Muhammadiyah di Bantaeng yang bergerak. Nyaris seluruh elemen Muhammadiyah di Sulawesi Selatan menggalang solidaritas. Pimpinan Muhammadiyah, ortom, Masjid, Kampus dan semua lini gerakan bergerak.
Saya belum tahu, apakah ada yang menghitung berapa jumlah sumbangan yang terkumpul. Dugaan saya, ratusan juta nilainya.
Satu hal yang pasti, saya melihat wajah-wajah relawan penuh semangat berbagi secara tulus, dan wajah sumringah warga yang terpapar kebahagiaan dari para relawan Muhammadiyah.
Pertanyaannya?
Apa bedanya Muhammadiyah 19 tahun lalu itu dengan saat ini? (Ayo siapa yang bisa jawab, ambil sepedanya!)
Apakah dahulu Muhammadiyah tidak aktif? Apakah dahulu Muhammadiyah defisit orang muda yang bisa jadi relawan kemanusiaan?
Muhammadiyah saat itu aktif, sangat aktif! Pengajian bergeliat di semua cabang. Pengaderan Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM, sekarang IPM) juga dilaksanakan berjilid-jilid.
Malah, hampir tiap malam kami nongkrong di Sekretariat IRM (Kompleks Masjid Raya) hingga dini hari. Jangan salah paham! Kami memenuhi syarat begadang seperti lirik lagu Rhoma Irama, “Begadang jangan begadang kalau tiada artinya/ Begadang boleh saja kalau ada perlunya.”
Kami begadang, karena kami menyoal banyak urusan. Mulai soal bagaimana tauhid yang murni, ibadah sesuai tuntunan Rasul, berbagi rumor dan strategi melawan Kristenisasi. Heroik bukan?
Perjuangan yang kami pahami adalah meluruskan akidah umat yang menyimpang. Kami berikhtiar membimbing umat agar beribadah yang benar sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw.
Waktu itu kami belum terpapar gagasan Prof. Din Syamsuddin, “Kader Muhammadiyah jangan hanya sibuk meluruskan tangan dalam takbiratul ihram, tapi abai meluruskan kiblat bangsa”.
Kami lebih asyik membincang perbedaan doa iftitah. Apalagi jika ada kasus, kawan kami yang harus berdebat dengan guru agama di sekolah negeri, karena perbedaan bacaan salat. Wah, bisa menjadi topik diskusi kami hingga jam 2 malam.
Keesokan harinya apa yang terjadi? Kami harus berjuang melawan kantuk saat Adzan Subuh berkumandang, hahaha.
Singkatnya, perjuangan kami adalah ‘menegakkan dan menjunjung tinggi Himpunan Putusan Tarjih agar diamalkan oleh kaum muslimin dan muslimat secara murni dan konsekuen.’
Kembali ke Masa Kini!
Dalam 10 tahun terakhir, saya melihat Muhammadiyah berubah. Keterlibatan Muhammadiyah dalam aktvitas sosial kemanusiaan sangat terasa. Setidaknya, kehadiran Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dan LazisMu menggema ke seantero nusantara.
Patut dicatat, kiprah Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah (MDMC) sudah mendapat pengakuan PBB. Wakil Ketua MDMC Rahmawati Husein ditunjuk menjadi salah satu anggota Kelompok Penasihat untuk Central Emergency Response Fund (CERF), mekanisme pendanaan PBB untuk situasi darurat kemanusiaan. Wow, Muhammadiyah makin mendunia!
Selain itu, gerakan filantropi kembali menjadi etos Muhammadiyah, dengan tingginya ghirah mengaktifkan LazisMu di semua tingkatan kepemimpinan Muhammadiyah. Spirit Ta’awun menggema hingga ke akar rumput Muhammadiyah. Kini LazisMu telah menjadi lembaga filantropi terbesar di republik ini.
Silakan anda sebut, bencana apa yang pernah terjadi di Indonesia. Saya akan tunjukkan link berita, kiprah MDMC dan LazisMu di sana (Semoga tidak ada unsur kesombongan, riya dan ujub dalam kalimat ini, Amin!).
Kini, ketika dunia dilanda Covid-19, Muhammadiyah mendirikan wadah bernama Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC).
Relawan MCCC terjun ke tengah masyarakat, melakukan edukasi dan galang donasi. Mereka menyalurkan bantuan APD bagi tenaga medis. Mereka bergerak berbagi sembako bagi masyarakat yang terdampak secara ekonomi akibat Corona.
Lalu, apa yang membuat Muhammadiyah berubah?
Muhammadiyah Bukan yang Dulu: Sebuah Perubahan
Bikin kopi dulu, ceritanya masih panjang! Menurut saya, kisah ini dimulai ketika anak-anak Muda Muhammadiyah mulai menyelami ajaran Kiai Ahmad Dahlan, seputar kisah Al-Maun.
Supaya kedengaran keren, kami sering menyebutnya ‘Teologi Al-Maun’. Ya setidaknya mengimbangi arus wacana teologi pembebasan, atau teologi kiri, yang sedang booming waktu itu.
Satu lagi, gagasan Prof. Amien Rais, tentang Tauhid Sosial, juga memiliki peran sentral dalam perubahan ini. Tauhid sosial mulai dijadikan salah satu doktrin dalam pengaderan kaum muda Muhammadiyah.
Wacana itu terus digulirkan baik melalui tulisan, mimbar pengajian, hingga forum pengaderan. Apakah setelah rajin membahas gagasan itu, wajah gerakan Muhammadiyah langsung berubah? Tentu tidak, ini baru fase internalisasi!
Setelah internalisasi gagasan, lahirlah pelembagaan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), LazisMu, dan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center). Inilah wujud ‘pelembagaan amal saleh’ yang merupakan salah satu ciri khas Islam Berkemajuan, kata Abdul Mu’ti. Dalam istilah Hajriyanto Tohari, ketiga lembaga ini trisula baru Muhammadiyah Abad Kedua.
Setelah ‘pelembagaan’ inilah, wajah gerakan kemanusiaan Muhammadiyah mulai tampak masif hingga ke akar rumput.
Melawan Ketimpangan Struktural
Muhammadiyah bukan hanya melawan ketimpangan secara kultural. Hal-hal yang bersifat struktural pun menjadi lahan garapan.
Tapi belakangan, banyak yang bilang, pasca ditinggal Bang Din Syamsuddin, Muhammadiyah sudah tidak kritis terhadap kekuasaan. Contohnya, jihad konstitusi sudah mulai kehilangan gaung.
Ada kalangan yang curiga, jangan-jangan Muhammadiyah ‘masuk angin’, karena sudah dapat jatah menteri. Tapi kalau menurut saya seh, Muhammadiyah tetap kritis kok. Apa buktinya?
Muhammadiyah tolak RUU Omnibus law, Muhammadiyah menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila. Muhammadiyah sering kok mengkritik kaum oligarki yang bercokol di lingkaran istana. Kurang apa coba? (Kurang gas mas, masih perlu dikencangkan!)
Tapi, ada yang terlanjur berprasangka buruk. Mentang-mentang karena Muhammadiyah tidak mengeluarkan pernyataan dukungan pada Capres yang diklaim bela umat. Upz, maaf. Tidak bermaksud menguak duka lama. Peace!
Dahlaniyah is Back!
Sebenarnya, kisah Muhammadiyah yang kembali menunjukkan wajah gerakan sosial kemanusiaan, merupakan revitalisasi spirit awal gerakan Muhammadiyah di zaman Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Profesor Najib Burhani (2016) menyebut, bahwa Muhammadiyah zaman Mbah Dahlan memiliki wajah gerakan sosial lebih dominan, dibandingkan gerakan fikih. Majelis Tarjih itu baru lahir 1927, setelah Muhammadiyah berkiprah 15 tahun.
Wajah Muhammadiyah zaman awal adalah feeding, healing, dan schooling. Kira-kira terjemahan bebasnya, Muhammadiyah itu mengenyangkan, menyehatkan, dan mencerdaskan kaum papa. Kini, tiga pondasi yang dibangun Kiai Dahlan diperkuat dengan tiga pilar: pemberdayaan masyarakat, peduli bencana, dan filantropi.
Apakah Muhammadiyah sudah meninggalkan wajah gerakan keagamaan? Tentu tidak. Tapi Muhammadiyah lebih menghadirkan wajah keberagamaan yang fungsional dan solutif bagi tantangan umat di abad-21.
“Muhammadiyah bukan yang dulu lagi” jika rujukannya 19 tahun lampau. Tapi jika referensinya adalah zaman Mbah Dahlan, Muhammadiyah bisa berkata:
“Aku masih seperti yang dulu!”