Perspektif

Muhammadiyah dan NU Hanya Kurang Tepo Sliro: Tanggapan untuk Arif Maftuhin

7 Mins read

Menarik tulisan Arif Maftuhin (Mas Arif) berjudul: “Pura-pura Ukhuwah” yang beredar di banyak Grup WhatsApp. Saya sepenuhnya sepakat dengan isi keseluruhan tulisan Mas Arif. Melalui tulisan ini, saya tak bermaksud untuk mengoreksi secuilpun atas isi tulisan Mas Arif. Tulisan ini hanya sekadar syarah atas matan (tulisan Mas Arif).

Bagi yang pernah nyantri di pesantren tradisional akan mengenal istilah “kitab kuning”. Dalam mengkaji kitab kuning dikenal pula istilah matan dan syarah. Matan dimengerti sebagai karangan tulisan yang merupakan kitab induk. Sementara syarah sebagai karya tulis yang berisi penjelasan, perincian dan penafsiran dari matan. Kebanyakan dalam satu kitab terdiri atas matan sekaligus syarah. Matan biasanya berada pada bagian dalam kitab kuning. Sementara Syarah berada pada bagian pinggir.

Nah, dalam konteks tulisan Mas Arif, tulisan saya hanya sebuah Syarah, penjelasan atau penafsiran.

Tepo Sliro

Kalau menengok sejarah tradisi keilmuan para ulama dulu yang tersebar di banyak kitab klasik, termasuk kitab para imam madzhab, khususnya madzahibul arba’, akan didapati adanya tepo sliro yang luar biasa di antara mereka. Meski mempunyai pendapat yang berbeda, namun mereka tetap tepo sliro, tidak saling menegasikan satu dengan lainnya.

Imam Syafii misalnya sangat menghormati gurunya, Imam Malik yang sering disebut sebagai “ulama hadis”. Imam Syafii sangat menghormati Imam Hanafi, meski Imam Syafii lahir di tahun yang sama dengan wafatnya Imam Hanafi (150 H). Sebagai bentuk penghormatan terhadap Imam Malik dan Imam Hanafi yang sering disebut “ulama ra’yu”, maka pola pikir keagamaan Imam Syafii mencoba mengkombinasikan pandangan Imam Hanafi dan Imam Malik, memadukan nash dan ra’yu.

Begitu juga Imam Hambali sangat menghormati gurunya, Imam Syafii. Imam Hambali merupakan murid istimewa dan tak pernah berpisah hingga kepindahan Imam Syafii ke Mesir. Meski berstatus murid Imam Syafii, namun Imam Hambali “berani beda” dengan gurunya, dengan berpandangan bahwa tak ada ijma selepas periode sahabat. Sementara Imam Syafii menempatkan ijma setelah al-Qur’an dan Hadis.

Tradisi tepo sliro ini mengilhami kalangan ulama besar Indonesia “produk Arab”, sebut saja KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari. Dua ulama besar ini belajar dan menimba ilmu di Arab. Keduanya berada di Arab ketika dunia Islam tengah mengalami degradasi (kemunduran) dalam banyak bidang. Khilafah islamiyah mengalami rongrongan dari internal dan Barat yang memperalat komprador di negeri Muslim.

Lahir gerakan politik yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani yang mencoba memperbaiki khilafah islamiyah dan gelorakan semangat ukhuwah islamiyah melalui Pan Islamisme. Lahir juga gerakan yang mencoba melakukan purifikasi ajaran Islam oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Muncul pula gerakan pembaruan di bidang pendidikan yang dipelopori oleh Muhammad Abduh.

Semangat Pembaruan Dua Kiai

Semangat pembaruan dan pemurnian di tanah Arab menginspirasi para ulama asal tanah Jawi (Jawa) yang menimba ilmu di tanah Arab ini, termasuk oleh Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim. Pembaruan Kiai Dahlan tampak terlihat dari gerakan pembaruan dan purifikasi yang dilakukannya melalui jamiyah Muhammadiyah. Kalau yang cerdas memahami Muhammadiyah, akan terlihat bahwa pembaruan dan purifikasi Muhammadiyah periode awal tak terlalu tertarik masuk wilayah fikih.

Baca Juga  Teruskan Pakai Zoom atau Tidak?

Kiai Dahlan masih memakai pandangan fikih mainstream Imam Syafii. Menyikapi fikih yang berbalut tradisi, Kiai Dahlan hanya mencoba memberikan tawaran pemahaman keagamaan yang “tak memberatkan”, sederhana, dan menggembirakan, seperti dalam menyikapi masalah kenduri atau tradisi keagamaan di seputar kematian yang dinilai memberatkan.

Tak ada tawaran pembaruan ekstrem Kiai Dahlan dalam hal fikih keagamaan. Tawaran ekstrem yang menyebabkan Kiai Dahlan harus ikhlas dikafir-kafirkan justru dilakukan bukan pada wilayah fiqh ubudiyah, namun dalam membumikan gagasan besar yang diusungkan, seperti revolusi pendidikan, yang mencoba memadukan pendidikan pesantren dengan pendidikan umum. Sekarang nyaris tak ada satu pun sekolah yang tidak memadukan pendidikan umum dengan pendidikan agama.

Kemudian meluruskan arah kiblat yang bikin heboh itu. Pada akhirnya, saat ini hampir semua masjid dan mushala meluruskan arah kiblatnya. Dengan berbekal nilai-nilai fundamental dalam QS. al-Ma’un, Kiai Dahlan mendirikan Panti Asuhan dan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem). Memilih “O” sebagai “Oemoem” bukan “Oemat” menggambarkan kebesaran dan watak inklusif Kiai Dahlan.

Kiai Hasyim pun demikian. Wajah pembaruan dan purifikasinya terlihat jelas dalam Qanun Asasi yang buat beliau. Isinya kebanyakan berisikan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis. Semangatnya senada dengan yang digelorakan oleh Kiai Dahlan. Qanun Asasi mengutip QS. Ali Imran 104 dan QS. al-Maidah 2, senafas dengan Muhammadiyah. Kiai Hasyim juga menyinggung sanad keilmuan, bid’ah, dan yang paling mendalam soal persatuan umat Islam dan menghindari perpecahan.

Dakwah Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim

Kiai Hasyim juga tak mau dengan kentongan atau bedug berada di masjid. Banyak riwayat menyebutkan, ketika Kiai Hasyim kunjungan ke banyak pesantren, sebagai bentuk penghormatan kepada Kiai Hasyim, pihak pesantren yang didatanginya menurunkan bedug atau kentongan yang berada di masjid.

Kiai Hasyim juga tak menyukai tradisi haul (peringatan tahunan atas orang yang meninggal). Di lingkup “kiai besar” Jombang, rasanya hanya Kiai Hasyim yang tahun meninggalnya tidak dihauli. Kiai Hasyim tentu mempunyai alasan keagamaan atas sikapnya. Putusan-putusan bahtsul masaail NU periode awal juga sangat dipengaruhi oleh pembaruan dan purifikasi di tanah Arab. Saat itu, selain menghormati Kiai Hasyim dan kuatnya tradisi tepo sliro di kalangan para ulama tradisional, tak ada yang keberatan dan apalagi “melawan” pembaruan dan purifikasi yang dilakukan oleh Kiai Hasyim.

Meski kedua ulama ini sama-sama mempunyai semangat pembaruan dan purifikasi, namun semangat Kiai Dahlan lebih progresif dibanding Kiai Hasyim yang cenderung lunak. Perbedaan ini tampaknya dipengaruhi oleh lahan dakwah.

Kiai Dahlan berdakwah di Yogyakarta dan sekitarnya yang tumbuh subur tradisi klenik, kuatnya animisme dan dinamisme, sehingga pola pembaruan dan purifikasinya pun harus adaptif dengan lahan dakwahnya. Sementara Kiai Hasyim berdakwah di Jombang dan sekitarnya yang karakter masyarakatnya berbeda.

Sesuai namanya, Jombang konon berasal dari kata Ijo (hijau) dan Abang (merah), menggambarkan perpaduan santri dan abangan. Tradisi santrinya kuat, tapi abangannya juga kuat. Menghadapi masyarakat seperti ini tentu model dakwahnya harus adaptif. Kiai Dahlan tentu tidak bisa memakai model dakwah Kiai Hasyim, dan juga sebaliknya.

Baca Juga  Galang Dana Palestina, Ustadz Adi Hidayat Kena Fitnah

Tepo Sliro Dua Kiai

Nyaris tak ada perbedaan mencolok antara model dakwah Kiai Dahlan dengan Kiai Hasyim, sama-sama pro pembaruan dan purifikasi. Tepo sliro di antara keduanya juga sangat tinggi. Disayangkan Kiai Dahlan harus berpulang ke rahmatullah lebih dulu (1923), jauh mendahulu Kiai Hasyim yang baru wafat di tahun 1947. Andai Allah takdirkan hidup lebih lama dan meninggal dalam waktu bersamaan, tentu masa-masa penuh ketegangan di awal 1920-an hingga 1940-an yang disebabkan oleh persoalan fikih keagamaan yang “tak bermutu” bisa teratasi dengan baik.

Menengok tepo sliro yang ditunjukkan oleh Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim, Muhammadiyah dan NU sebenarnya mempunyai bekal yang kuat untuk tepo sliro. Tak hanya itu, Muhammadiyah dan NU juga mempunyai modal lainnya, yaitu dalam penentuan hukum Islam. Muhammadiyah memilih memakai metode Tarjih, tidak memakai pendekatan madzhab, sementara NU memakai pendekatan madzhab.

Meski tak bermadzhab, Muhammadiyah tak mengingkari bahwa para imam madzhab adalah ulama yang sangat mumpuni dan besar jasanya dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, sehingga pendapat-pendapat keagamaannya tak dapat dikesampingkan begitu saja.

Salah satu butir pokok manhaj Tarjih disebutkan bahwa Muhammadiyah tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab. Tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang selaras dengan al-Quran dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.

Dengan metode tarjih, maka selain menggambarkan wajah yang lebih merdeka dalam hal penentuan hukum Islam, juga menjadi modal kuat untuk membiasakan tepo sliro kepada kelompok lainnya. Dalam menentukan hukum, Muhammadiyah juga akan membandingkan dua dalil yang bertentangan dan mengambil yang terkuat di antara keduanya. Cara ini membawa konsekuensi untuk mengkaji secara menyeluruh dan mendalam setiap cabang (furu’) permasalahan yang akan dikajinya.

NU juga mempunyai modal yang sama kuat untuk tepo sliro. Dalam Anggaran Dasar NU Pasal 4 disebutkan bahwa “Nahdlatul Ulama berpedoman kepada al- Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas.” Dan pada Pasal 5 disebutkan juga bahwa “Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi; dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali); dan dalam bidang tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.”

Poin yang menyebut bahwa NU dalam bidang fikih mengikuti salah satu dari Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali) ini sebenarnya pintu masuk yang cukup bagus untuk menumbuhkan tepo sliro. Dengan mengikuti salah satu madzhab, sejatinya juga menuntut untuk mengkaji keseluruhan dari empat madzhab tersebut. Dan dengan mengkajinya, maka akan mengetahui letak perbedaan masing-masing madzhab dalam membahas satu persoalan keagamaan tertentu. Ini pintu yang luar biasa untuk tepo sliro.

Belum lagi di pesantren-pesantren yang berafiliasi ke NU juga dikaji kitab-kitab klasik yang dikaji pula di Muhammadiyah, seperti Bulughul Marom, Riyadusshalihin, dan beragam tafsir al-Qur’an. Dikaji juga kita-kitab yang –seharusnya– mampu menumbuhkan tepo sliro, seperti kitab Rahmatul Ummah fii Ikhtafil Aimmah.

Kesulitan Muhammadiyah dan NU

Meski mempunyai modal yang kuat untuk tepo sliro, kenyataan di lapangan, tepo sliro menjadi sesuatu yang tak mudah dijalankan. Lalu apanya yang salah? Kalau merujuk pada tulisan Mas Arif yang menyebut tiga hal sebagai bukti kepura-puraan ukhuwah antara Muhammadiyah dan NU, yaitu lahir sebagai “musuh” bukan saudara, laten curiga dan insecurity, dan absennya musuh bersama, maka saya hanya menambahkan dua saja.

Baca Juga  IPTEK Makin Maju, Apakah Agama Sudah Tak Relevan Lagi?

Pertama, monodisiplin dan beragama dengan prinsip “pokoknya”. Harus diakui, di lingkup Muhammadiyah masih ada sebagian yang suka menyoal ritual-ritual NU yang bersifat tradisi. Tuduhan ahlul bid’ah kepada Nahdliyyin masih kerap terdengar, meski tidak bisa digeneralisir setiap tuduhan bid’ah berarti datang dari Muhammadiyah. Sebab tuduhan bid’ah justru paling sering keluar dari kalangan salafi.

Kelompok ini sulit diberi pemahaman bahwa bid’ah hendaknya dipahami sebatas ibadah mahdhah. Sudah dijelaskan dengan beragam argumen bahwa ritual seperti tahlilan hanyalah “produk budaya”, karenanya tak ada yang salah untuk menghadirinya, tetap saja tak mau paham. Sekadar mengucapkan sayyidina di luar salat misalnya, dianggap bid’ah oleh jamaah Muhammadiyah yang masih monodisiplin atau Amin Abdullah lebih suka menyebutnya sebagai Mursal (Muhammadiyah rasa Salafi).

Sebaliknya, di kalangan NU tak kalah sinis dalam menyerang jamaah Muhammadiyah sebagai anti-tahlilan, tak mau qunut, kering dalam beribadah, dan sinisme lainnya. Sama kakunya (rigid) dengan jamaah Muhammadiyah yang monodisiplin, di lingkup Nahdliyyin pun demikian. Sulit memberi pemahaman bahwa tahlilan adalah “produk budaya”, sehingga tak juga kalau orang meninggal tidak ditahlili lantas ruhnya melayang-layang (seperti anggapan di masyarakat bawah), atau bahkan tertolak masuk surga.

Namun pemahaman ini tak juga mampu mencerahkan kekakuan pola pikir mereka. Tahlilan tetap dipandang sebagai tradisi keagamaan “wajib” dan pelaksanaannya harus sesuai hitungan hari yang sudah mentradisi pula. Sampai di sini, rasanya Muhammadiyah dan NU sudah diposisikan seperti agama oleh para pengikutnya yang monodisplin dan beragama dengan prinsip “pokoknya”.

Kedua, rendahnya literasi dan kurang tepo sliro. Di lingkup anggota Pleno Muhammadiyah dan jajaran elit NU, terlebih yang duduk di jajaran Rais Syuriah, budaya literasi sudah jamak. Mengkaji masalah keagamaan dengan perspektif interdisiplin sudah khatam. Tapi di lingkup akar rumput, sangat rendah budaya literasi. Kebanyakan mereka bermuhammadiyah atau berNU secara taqlid dan membabi buta. Tak berusaha tepo sliro dengan pandangan keagamaan yang dianut kelompok lain di luar Muhammadiyah atau NU. Selalu merasa diri paling benar.

Padahal kalau budaya literasi mereka kuat dan ada kesadaran bahwa perbedaan pandangan atau pemahaman keagamaan adalah keniscayaan, semestinya tak perlu ada ketegangan antara jamaah Muhammadiyah dan NU, apalagi yang menjadikan tegang hanya urusan remeh temeh terkait persoalan khilafiyah dan furuiyah.

Sementara dalam urusan yang bersinggungan langsung dengan problem keumatan yang hingga kini masih membelenggu, seperti rendahnya sumberdaya manusia, masalah kemiskinan, dan keterbelakangan pendidikan tak pernah membikin ramai atau tegang di antara Muhammadiyah dan NU. Aneh bukan? Sekian.

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds